ASIA belakangan ini tampak semakin menarik perhatian penerbit
media cetak Barat. Majalah Far Eastern Economic Review
melukiskan minat para penerbit tadi ibarat sekelompok anak kecil
memasuki sebuah toko kembang gula. "Tiba-tiba mereka telah
menemukan Asia yang mempesona potensi pasarnya," tulisnya.
Kini ke toko kembang gula itu masuk lagi seorang anak berotot
kuat. Koran lnternational Herald Tribune, oplah 130 ribu, muncul
dengan edisi Asia sejak l5 September. Tribune (dimiliki bersama
The Washington Post, The New York Times, dan Whitney
Communications Corp) lembaran beritanya dikirim lewat satelit
dari Paris (pusat redaksi) ke suatu percetakan di Hong Kong.
Dengan cara itu, Tribune edisi Asia terbit bersamaan dengan
edisi Eropa (dicetak di Zurich, London, dan Paris). Penerbitnya
berambisi menaikkan oplah koran tersebut di Asia dari 2.000 ke
20.000 dalam tiga tahun. Peningkatan pelayanan itu tampak akan
menarik perhatian pemasang iklan, dan calon pembaca -- sekaligus
merupakan ancaman media cetak regional Asia.
Penerbit The Asian Wall Street Journal sudah menyatakan
kecemasannya. Koran yang muncul tahun 1976 itu, sampai tahun
ketiga penerbitannya menderita kerugian Rp 1,5 milyar (US$ 2,5
juta). Baru tahun ini AWSJ berharap dapat meraih keuntungan.
Oplah AWSJ, kini 21.300 eksemplar.
Ikut terpukul adalah majalah Insight, Asian Business, dan Modern
Asia. Jumlah halaman iklan mereka tidak pernah bertambah antara
1976-79. Kalau toh ada kenaikan dalam pendapatan, itu disebabkan
tarif iklan yang meningkat. Walau demikian Insight (oplah
sekitar 20 ribu) tahun lalu misalnya, masih merugi Rp 6,3 milyar
(US$ 100 juta). Hanya majalah berita mingguan Time (oplah
sekitar 200 ribu) dan Newsweek (oplah sekitar 150 ribu) edisi
Asia dan Pasifik diperkirakan tetap unggul. Tahun lalu
pendapatan iklan Time mencapai Rp 10,5 milyar (US$ 16,7 juta),
dan Newsweek Rp 6,8 milyar (US$ 10,8 juta). Dalam dua tahun
kenaikan pendapatan iklan kedua majalah itu lebih dari 75%.
Tak mengherankan bila pendapatan iklan Time dan Newsweek lebih
besar ketimbang majalah regional Asia. Besarnya oplah, dan ragam
golongan pembaca tetap kedua majalah itu, sangat menentukan
minat seorang pengusaha memasang iklan -- sekalipun ongkosnya
jauh lebih mahal. Misalnya tarif iklan empat halaman berwarna
Time besarnya tujuh kali ketimbang tarif iklan majalah Modern
Asia. Tapi dengan sirkulasi sembilan kali lipat, bila dihitung
biayanya per seribu pembaca, Time ternyata lebih murah.
Video
Tekanan bagi media cetak tampaknya akan semakin bertambah berat
dengan masuknya media video cassette recorder ke banyak rumah
tangga kelompok elit. Mengingat pengusaha mulai menyisipkan
pesan iklannya ke pita video. Tak mustahil video, seperti halnya
televisi dan radio, kata John Meyers, akan menyedot potensi
pasar Asia. Meyers, penerbit Time berbicara di Kongres
Periklanan Asia ke-12 di Singapura, pekan lalu.
Menghadapi itu persaingan berbagai media cetak terpaksa jual
kecap untuk mempengaruhi pemasang iklan serta calon pembaca.
Majalah Asian Money Manager, misalnya, mengaku dibaca oleh dua
Perdana Menteri negara Asia. AWSJ menyebut pembacanya rata-rata
berpenghasilan Rp 39 juta (US$ 62 ribu) setahun. Dan ada juga
majalah yang menempuh strategl pemasaran dengan memperbesar
volume pemberitaan Asia.
Tak semua pemasang iklan tergoda oleh bualan tersebut. Mereka
tetap berpatokan pada besar oplah, dan pembaca penerbitan itu.
"Pemasang iklan juga tak melimpahkan kedermawanannya hanya
karena penerbitan itu ditulis orang Asia untuk Asia," kata Harry
Reid, dari biro iklan Ogilvy and Mather, Hong Kong. "Soalnya
adalah, tunjukkan potensi anda di pasar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini