Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Hindu, (di dalam dan) di luar bali

Acara maha sabba ke-4 parisada hindu dharma di denpasar di hadiri utusan 22 provinsi. acara diselingi ceramah dari menteri agama, mendagri, mensos menko kesra, pangkopkamtib.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK pernah terdengar ada upacara membakar mayat di Jawa. Tidak seperti di Bali, yang terkenal dengan ngaben-nya yang khas. Karena itulah barangkali, orang hampir tidak pernah mengingat Jawa bila bicara tentang agama Hindu. Padahal, sebuah acara besar yang disebut Maha Sabha Parisada Hindu Dharma, yang dibuka 24 September ini di Denpasar, dihadiri oleh utusan 22 provinsi -- termasuk sudah tentu Jawa (Tengah maupun Timur). Dan jangan disangka mereka yang dari Jawa misalnya hanya mewakili orang Bali yang merantau. Maha Sabha, kali ini yang ke-4, adalah acara dewan agama tertinggi yang disebut Parisada Hindu Dharma (PHD) Pusat setiap empat tahun. 400-an orang hadir mewakili provinsi, kabupaten (100 buah) atau Kantor Departemen Agama bagian Hindu. Ditambah sekitar 2,5 ribu pemuka adat, kelihan desa dan kelihan subak di Bali -- khusus untuk acara pembukaan. Dalam sidang empat hari, mereka juga mendengarkan ceramah dari Menteri-menteri Agama, Dalam Negeri, Sosial, Menko Kesra dan Pangkopkamtib. Tidak, sudah tentu tujuan penting bukan membahas masalah bakar mayat. Maha Sabha adalah pertemuan nasional yang lebih banyak membicarakan hal-hal organisatoris. Tapi memang juga disinggung masalah kesatuan tafsir ajaran agama -- yang selama ini sudah diseminarkan enam kali dan terdiri dari 18 materi. Kalangan Kejawen Bahkan, seperti dituturkan drh. Willy Pradnyasurya, direktur pada Ditjen Bimas Hindu & Budha Departemen Agama, hal-hal ritual seperti soal bakar mayat pun bisa muncul. Dicontohkannya upacara bakar mayat bagi anggota ABRI -- yang biasanya dimakamkan di pekuburan yang disebut Taman Makam Pahlawan. Ini tentu merupakan tambahan bagi masalah bakar mayat di Jawa Hindu seperti sudah disebut. Dan masyarakat Hindu di Jawa memang ada -- dan konon cukup besar. Dibia Asmara, Sekretaris Umum PHD Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan memperkirakan umat yang diurusnya sekitar 28 ribu -- sudah termasuk orang Bali yang tinggal di sini lebih lima tahun. Setidak-tidaknya di provinsi berpenduduk sekitar 2,5 juta ini sekarang terdapat enam pura: tiga di Bantul, dua di Sleman dan satu di Gunung Kidul. Belum lagi di luar Yogya dan Jawa Timur. Di Klaten ada sebuah PGAH, Pendidikan Guru Agama Hindu. Juga di Blitar. Di luar Jawa dan Bali, di samping Institut Hindu Dharma di Denpasar dan Akademi Pendidikan Guru Agama Hindu di Singaraja. Tapi berapa jumlah seluruh umat Hindu? Kalangan PHD memperkirakan sekitar 7 - 8 juta. Willy Pradnyasurya, pejabat Departemen Agama tadi, menyebut jumlah 4,6 juta -- dan sekitar 2,1 juta di antaranya bermukim di Bali. Memang, mayoritas orang Hindu di luar Bali diperkirakan orang Bali juga. Misalnya para transmigran -- di Sulawesi Selatan, Lampung atau Kalimantan Tengah. Tetapi di Jawa, potensi Hindu pada penduduk asli sebenarnya cukup besar -- khususnya pada mereka yang kejawen. Apalagi bila tak ada kekhawatiran akan "di-Bali-kan". Sebab, bagai perbedaan tarian Jawa yang diam, dengan tari Bali yang dinamik, Hindu di Jawa memang pernah punya tradisi sendiri -- sebelum tertutup oleh Islam yang merambat lewat pesisir. Dan K.S. Kadi, Ketua I PHD DIY, bisa menuturkan contoh-contoh perbedaan selain soal pembakaran mayat tadi. Orang Jawa misalnya tidak mengenal sesajen yang dibuat begitu njelimet seperti di Bali. Juga upacara potong gigi yang besar-besaran. Struktur desa di Bali, yang tak lepas dari pura tri kanyangan yang menjadi keharusan tiap desa (pura desa, pura puseh dan pura dalem), juga tidak dikenal. Belum lagi soal sembahyangan dan bahasa. (Murdiono, Ketua PHD Bantul, DIY, juga mengisi mimbar agama di TVRI dengan bahasa dan "versi" Jawa). Atau, bisa ditambahkan, soal perhitungan tahun yang di Bali terdiri dari tujuh bulan (210 hari) dan di Jawa 12 bulan. Maka, kata K.S. Kadi: "Kalau hal-ha yang ada di Bali 'dipaksakan' di luar Bali, bisa timbul kesalahpahaman. Memang, orang Hindu mengenal pengertian desa-kala-patra (tempat, waktu dan adat). "Dengan falsafah ini, penyelenggaraan upacara tidak harus seragam," kata Murdiono. Tapi yang jadi masalah: tidak selalu mudah membedakan mana adat dan mana agama dalam Hinduisme -- di samping perbedaan kadang memang bukan hanya karena adar. Kasus Hardjantha Pradjapangarsa, misalnya, tokoh kebatinan yang beberapa tahun lalu memproklamasikan agama Sanata Dharma Majapahit-PancasiIa (Sadhar-Mapan), dan pernah jadi pimpinan PHD Sala, boleh menjadi contoh. Setelah terbentuk PHD, nama Sadhar-Mapan tetap mau dia pertahankan. Ia berkata: agama Hindu janganlah di-Bali-kan. Bahkan, menurut kalangan PHD DIY, Hardjantha dan para pengikut menyatakan nama Sadhar-Mapan baru bisa hilang kalau PHD Pusat dipindahkan dari Bali ke Sala --sebab begitulah menurut penyelidikan Hardjantha terhadap peninggalan masa kejayaan Hindu dahulu. Tak terlaksana, tentu saja, 1972 mereka mengundurkan diri dari PHD. Akan hal umat Hindu selebihnya di Jawa, sudah tentu tak sejauh itu. Mereka, misalnya, tetap memakai buku pedoman PHD Pusat untuk upacara. Murdiono sendiri tetap yakin bahwa PHI) Pusat memang mestinya di Bali -- "benteng terakhir agama Hindu," katanya. Hanya saja ia mengharap di dalamnya diperbanyak unsur non-Bali -- dan "ini bukan karena sukuisme" -- meskipun di PHD DIY orang Jawa mendominir kepengurusan. Harapan itu siapa tahu malah sejalan dengan ucapan Wayan Surpha, Sekjen PHD Pusat di Bali: "Kami tidak mau agama Hindu dijadikan sekte-sekte." Maha Sabha, yang sekarang ini sedang berjalan, memang tidak secara langsung memberi prioritas pada masalah ini -- kecuali bila terbawa oleh pembicaraan tentang hal-hal ritual. Pemillihan pengurus PHD Pusat sendiri sudah diperkirakan akan sedikit "panas". Bukan soal aliran. Wayan Surpha, misalnya, yang juga salah seorang pendiri PHD, masih menganggap perlunya dewan itu "ditegakkan wibawanya". Orang memang melihat, bahwa soal seperti Golkar dan non-Golkar saja, antara lain, pernah ramai di disini. Biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus