BUKAN barang baru: halaman koran dan majalah luar negeri,
biasanya yang menulis tentang Indonesia, masih sering dicat
hitam sensur. Pemerintah Indonesia tampak beranggapan
pemberitaan pers asing masih dilakukan secara sepihak. Tapi
bijaksanakah penyensuran ini? Di DPR pekan lalu, anggota Komisi
I Jussac MR Wirosoebroto, yang juga seorang tokoh pers, pemimpih
Pelelopor Yogja mempersoalkannya.
Tapi Soekarno SH, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika,
yang mendampingi Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, memberi
keterangan dengan alasan yang memang sering diperdengarkan
pemerintah Dunia Ketiga.
Ia menuduh pemberitaan pers asing sangat berprasangka dan tidak
mengandung kebenaran. Pers nasional sendiri, kata Soekarno,
sudah banyak mengekang diri dalam pemberitaan. "Jadi bila pers
asing tidak disensur, itu namanya tidak adil," lanjutnya.
Pemerintah juga tampaknya tak hanya menyensur. Rabu pekan lalu,
Paul Zach, 27 tahun, wartawan freelance misalnya, harus
meninggalkan Indonesla karena tidak memperoleh perpanjangan izin
tinggal. Berbagai tulisannya di pers asing, di antaranya di
Washington Post tentang Nyonya Tien Soeharto, dianggap sangat
berprasangka dan berat sebelah.
Sebelum menindak Zach pemerintah sesungguhnya telah mengetatkan
arus pemberitaan dari kantor berita asing. Sejak awal September
mereka (Reuter, AFP, AP, dan UPI) tidak diperkenankan lagi
mengirimkan kembali berita tentang Indonesia yang berasal dari
wartawannya di sini. Suatu alat selektor sudah dipasang di
pesawat teleks penerima perwakilannya di Jakarta.
Latar Belakang
Alasannya, demikian August Marpaung SH, pucuk pimpinan Kantor
Brita Antara, yang mengageni AFP, Reuter, dan UPI, Indonesia
sudah memiliki media massa yang baik untuk menurunkan tulisan
tentang Indonesia. Ia juga menyebut, karena perbedaan latar
belakang dan pengetahuan, cara mereka menulis sering tidak cocok
dengan iklim Indonesia. "Bila dibiarkan, hal itu bisa
menimbulkan guncangan," katanya.
Sebuah sumber di Departemen Penerangan malah mengungkapkan
kecenderungan pers asing mengutip sumber di luar pemerintahan
yang dinilai pihak Deppen "bersuara negatif, dan tidak akurat".
Tuduhan itu tentu saja dibantah pers asing di Jakarta. "Kami
sering menemui kesulitan untuk berwawancara dengan pejabat
pemerintah," kata Guy Sacerdoti, wartawan majalah mingguan Far
Eastern Economic Review.
Sacerdoti Sekretaris Klub Koresponden Asing di Jakarta (JFCC),
beranggota 28 orang, menyesalkan perlakuan pemerintah yang
membedakan wartawan asing dengan wartawan Indonesia. Sering
mereka tak diberi tahu dan diajak serta untuk menghadiri
pertemuan pers. Akibatnya, menurut dia, mereka mendapat sumber
berita dari tangan kedua bukan dari tangan pertama. "Di Malaysia
pelayanan terhadap wartawan asing tidak dibedakan," ungkap
Sacerdoti yang pernah bertugas di sana.
Tidak Mudah
Sikap pemerintah itu dikritik pula oleh Jussac MR Wirosoebroto.
Ia minta kebijaksanaan tersebut ditinjau kembali. Sebab dengan
melakukan sensur, pemerintah tidak akan tahu penilaian pihak
luar. Gafur Fadil, wartawan AP di Indonesia, punya saran lain:
ia usul agar pemerintah melarang saja koran lokal mengutip
berita negatif ketimbang menyensur. Sementara itu Sumono
Mussofa, Pemimpin Redaksi Kantor Berita KNI, menilai penyensuran
tidak tepat, karena "Betapa pun rapi peristiwa buruk ditutupi,
suatu saat akan muncul ke permukaan," katanya.
Tapi bagi pemerintah, soalnya memang tidak mudah. Benturan
dengan pers asing, yang umumnya kuat, tak selalu menghasilkan
buah yang positif. Kini di Departemen Penerangan dibentuk suatu
kelompok lobby dipimpin Juzahar (John) Sirie. Lobby yang
mengkoordinasi kerja lima direktorat di lingkungan Deppen ini,
akan membantu pers asing memperoleh informasi akurat, dan
dipercaya.
Dengan cara itu hubungan pemerintah dengan pers asing diharapkan
akan semakin terbuka. "Jadi tugas kami bukanlah mengatakan
berita ini boleh dimuat, dan itu tidak boleh," kata Sirie.
Beberapa wartawan asing yang bertugas di Jakarta merasa langkah
Deppen ini suatu yang menimbulkan harapan baik -- meskipun
mereka umumnya tahu bahwa para pejabat Indonesia belum setangkas
koleganya di negara Asean lain dalam berhubungan dengan pers,
khususnya pers asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini