Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kejarlah Tangguh Sampai ke Negeri Cina

Indonesia akan menegosiasi ulang kontrak gas Tangguh dengan Cina, yang bisa merugikan negara sekitar Rp 750 triliun. Pemerintah akan mengajukan angka US$ 7 per mmBtu. Kasus ini mulai menjamah ranah politik.

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang tak lazim dalam rapat kabinet paripurna di kantor presiden, Kamis lalu. Biasanya hanya fotografer dan juru kamera yang boleh mengambil gambar presiden dan para menterinya. Itu pun hanya sekitar lima menit, setelah itu diminta keluar. Kali ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan wartawan media elektronik dan cetak masuk ke ruang rapat dan mengajukan beberapa pertanyaan.

Dalam rapat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kesekian kalinya mempersoalkan kontrak penjualan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari Lapangan Tangguh, Papua, ke Provinsi Fujian, Cina. ”Formulanya, mohon maaf, adalah yang terjelek, terparah dalam sejarah perminyakan,” kata Kalla. Kontrak itu merugikan, terutama ketika harga minyak tinggi.

Presiden pada saat itu juga menetapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati memimpin tim renegosiasi kontrak Tangguh. Tim ini diminta merumuskan sasaran harga yang holistik dan mengacu pada kontrak lain. Seakan hendak menyindir, Yudhoyono juga menyelipkan pesan bersayap kepada tim renegosiasi. ”Jangan ada keraguan. Kepentingan strategis tetap di tangan saya karena presiden yang bertanggung jawab.”

Hampir sepekan ini buruknya kontrak penjualan gas Tangguh menjadi pembicaraan publik. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memicunya ketika melawat ke Beijing pekan lalu. Setelah menghadiri penutupan Olimpiade Beijing, Kalla menemui Presiden Cina Hu Jintao dan Wakil Presiden Xi Jinping. Renegosiasi kontrak penjualan gas Tangguh ke Provinsi Fujian, Cina, jadi agenda utama.

Indonesia menginginkan kontrak penjualan gas Tangguh direvisi karena merugikan. Kontrak itu diteken pada 2002, tatkala Presiden Megawati berkuasa. Di Bandung pada Jumat pekan lalu Kalla mengatakan, jika kontrak itu tidak direnegosiasi, Indonesia akan rugi US$ 75 miliar atau sekitar Rp 750 triliun. Dewan Perwakilan Rakyat, kata dia, mestinya menyelidiki kontrak ini. Sebagian anggota Dewan merespons keinginan Kalla. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan sudah berinisiatif akan mengaudit kontrak Tangguh bulan ini.

Kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian didapat secara ”tak sengaja”. Ladang Tangguh yang memiliki cadangan gas 14,4 triliun kaki kubik disiapkan untuk tender penjualan ke Provinsi Guangdong. Tapi Indonesia kalah dalam tender ini. Lobi dansa enam menit Megawati dengan Zhiang Zemin, Presiden Cina saat itu, tak mampu membendung Australia memenangi tender ini. Upaya Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang sebelumnya menyambangi Perdana Menteri Zhu Rongji, juga tak membuahkan hasil. Tapi Cina masih bermurah hati. Indonesia ditawari memasok gas ke Fujian tanpa tender.

Sejak diteken pada 2002, penjualan ke Fujian mengundang kontroversi. Pengamat, pakar, dan juga politikus ramai-ramai mempermasalahkannya. Biang keributannya adalah formulasi harga jual gas. Dalam kontrak dengan pemerintah Cina, harga penjualan gas ditetapkan US$ 2,4 per juta kaki kubik (mmBtu) selama 25 tahun. Harga jual ini tak jelek-jelek amat. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama, Qatar menang tender memasok gas ke Taiwan dengan harga US$ 1,8 per mmBtu.

Permasalahannya ada pada formula harga jual gas Tangguh yang dipatok pada batas atas harga minyak acuan Jepang (Japan crude cocktail) US$ 25 per barel. Artinya, harga jual gas hanya bisa naik sampai harga minyak US$ 25. Indonesia tak akan mendapat tambahan rezeki bila harga si emas hitam melewati angka itu.

Formula itu tak lazim. Galibnya formulasi harga penjualan gas Indonesia selalu mengacu pada naik-turunnya harga minyak tanpa pembatasan harga minyak tertinggi. Rumus baku ini sudah dipakai Pertamina ketika menandatangani penjualan gas Lapangan Arun, Nanggroe Aceh Darussalam; dan Lapangan Badak, Bontang, Kalimantan Timur, dengan Jepang.

Harga jual gas Tangguh semakin bermasalah setelah harga minyak terus merangkak naik menembus US$ 50 per barel. Pada 2006, Jakarta akhirnya meminta negosiasi ulang kontrak penjualannya. Pemerintah Cina setuju menaikkan harga beli gas menjadi US$ 3,35 per mmBtu. Tapi, lagi-lagi, formula harga jualnya tetap dipatok pada batas atas harga minyak. Bedanya kali ini patokan harga minyak dinaikkan maksimal US$ 38 per barel.

Kini harga minyak jauh di atas angka tersebut. Kurang dari setahun, harga komoditas ini terus membubung mendekati US$ 150 per barel. Harga memang sedikit menurun, tapi masih cukup tinggi, US$ 115,59 per barel hingga akhir pekan lalu. Tak mengherankan bila desakan agar pemerintah merenegosiasi kontrak penjualan gas Tangguh semakin nyaring. Klimaksnya terjadi setelah Kalla mengunjungi Beijing.

Menurut pengamat energi Kurtubi, negosiasi ulang kontrak Tangguh menunjukkan pemerintah telah mengakui formula penetapan harga jual gas alam tersebut merugikan republik ini. Sebab, harga jual gas dibelenggu oleh batas atas harga minyak dunia sebesar US$ 38 per barel. Selama 25 tahun, harga jual gas Tangguh ke Fujian tak akan jauh dari kisaran US$ 3,35 per mmBtu, kendati harga minyak naik hingga ujung langit sekalipun. ”Itu dosa pemerintah,” katanya.

Dengan harga minyak saat ini US$ 115 per barel, harga gas di pasar internasional kini mendekati US$ 20 per mmBtu. Harga jual ke Fujian dengan harga internasional ibarat langit dan bumi. Dibanding kontrak penjualan gas Badak juga masih kalah jauh. Kini harga jual gas Badak sudah menembus US$ 17 per mmBtu. ”Jika formula lama Tangguh dipertahankan, Indonesia rugi US$ 3 miliar (Rp 30 triliun) per tahun,” kata Kurtubi.

Doktor ekonomi energi dari Colorado School of Mine, Amerika Serikat, ini heran mengapa tim negosiator penjualan gas Tangguh menerima formula yang diajukan Cina. Pada 2002, harga minyak dan gas memang sedang turun. Tapi itu fenomena sementara. Harga jual gas dan minyak pasti akan naik lagi.

Berdasarkan data indeks harga energi primer, menurut dia, harga minyak, gas, dan batu bara berkorelasi positif. Ketika harga minyak naik, harga gas juga akan naik. Begitu sebaliknya. Jadi, kata dia, tim negosiator melawan hukum alam karena menerima pembatasan harga minyak US$ 38 per barel. ”Seolah-olah harga gas tidak akan pernah naik dalam waktu 25 tahun ke depan.”

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, yang pada zaman Megawati menjabat Menteri Energi, berkilah harga gas ke Fujian adalah hasil dari tender di Guangdong. Formulanya yang mematok harga minyak tercantum dalam undangan penawaran (invitation to bid).

Kurang optimalnya harga jual juga tak lepas dari rendahnya harga gas alam cair di pasar internasional saat itu. ”Penjualnya banyak, produsen gasnya juga banyak,” ujarnya setelah menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi pekan lalu. Padahal, kata dia, sebelumnya Indonesia juga telah kalah tender di Taiwan dan Korea.

Sadar kontrak Tangguh merugikan, pemerintah berjanji menegosiasi ulang. ”Ini jalan untuk mengubah kontrak gas lainnya,” ujar Purnomo. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Herawati Legowo menambahkan, Departemen Energi sedang mengupayakan agar formula penjualan harga gas Tangguh mengacu pada harga minyak dunia, tanpa pembatasan. Jika masih ada pembatasan atau pematokan, katanya, cantolan harga minyak dinaikkan melebihi US$ 38 per barel.

Menurut Kalla, pemerintahan Beijing bersedia mengubah kontrak perjanjian. Indikasinya sudah terlihat, ada usul tentang perubahan harga menjadi US$ 3,6 per mmBtu dari saat ini US$ 3,35 per mmBtu. Kalla sendiri tak mau menyebut harga yang diinginkan Indonesia. Tapi, membaca hitung-hitungan Kalla ketika mengungkapkan kerugian, Indonesia tampaknya akan mengambil posisi di angka US$ 7 per mmBtu.

Sumber Tempo di pemerintahan punya cerita lain. Untuk merevisi kontrak Tangguh, kata dia, pemerintah sudah melakukan beberapa kali pertemuan dengan pemerintah Cina di Beijing. Tapi mengubah perjanjian kontrak untuk kedua kalinya ternyata tak mudah. ”Negosiasi berjalan alot. Bahkan mereka sudah mengirim surat penolakan,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta.

Sikap Beijing itulah yang mendorong Wakil Presiden Kalla menemui Hu Jintao pada 25 Agustus lalu. Tadinya, kata dia, ”Pertemuan akan dilanjutkan pada 8 September, tapi ditunda karena tiba-tiba Presiden Yudhoyono membentuk tim baru.” Xie Yonghui, press officer Kedutaan Besar Cina di Indonesia, tak bersedia memberikan pernyataan resmi tentang hal itu.

Kurtubi mengingatkan negosiasi ulang Indonesia-Cina belum tentu mendapatkan hasil optimal. Sebab, dalam jual-beli gas alam cair Tangguh ada benturan kepentingan pada China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Badan usaha milik pemerintah Cina itu merupakan pembeli gas sekaligus penjual gas. Raksasa minyak Cina ini menguasai 17 persen working interest blok Tangguh setelah mengakuisisi sebagian milik BP Plc. pada 2003. ”Bagaimanapun, Cina ingin harga lebih murah,” katanya.

Selain itu, Kurtubi meminta, jika formula harga jual gas Tangguh masih juga dipatok seperti pola lama, sebaiknya pemerintah membatalkan kontrak saja. ”Alihkan ke Jepang saja. Mereka sangat membutuhkan gas.”

Menurut dia, pembatalan kontrak sangat memungkinkan karena itu diatur dalam klausul perjanjian. Memang ada risikonya. Tapi tak seberapa besar dibandingkan dengan kerugian yang harus ditanggung negara. Khusus untuk kontrak Fujian, kata Kurtubi, Indonesia cuma akan kena penalti US$ 300 juta (sekitar Rp 2,8 triliun) jika tak memasok gas ke sana. Tapi, jika kontrak dibatalkan, Indonesia minimal bisa mendapatkan tambahan pendapatan US$ 3 miliar per tahun.

Cina, kata Kurtubi, bisa saja mengadukan Indonesia ke arbitrase internasional. Tapi diyakini negara itu tak akan berani melakukannya. ”Penduduk kita ini terlalu penting bagi pasar produk Cina,” imbuh Kurtubi.

lll

Ribut-ribut soal kontrak Tangguh pada akhirnya tak cuma urusan ekonomi. Kini masalah tersebut sudah masuk ke ranah politik. Sumber Tempo yang ikut rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Beijing mengungkapkan, kontrak Tangguh akan dijadikan amunisi jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mempermasalahkan hak angket bahan bakar minyak.

Rapat Paripurna Dewan pada 24 Juni lalu memang telah meloloskan hak angket atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Bersama sejumlah partai, PDI Perjuangan merupakan salah satu partai yang menyokong kuat hak Dewan menginvestigasi masalah itu. Selain soal kebijakan kenaikan harga, hal lain yang akan disorot adalah masalah dugaan mafia impor minyak.

Anggota Dewan dari Fraksi Amanat Nasional, Alvin Lie, mengakui isu Tangguh bisa menjadi titik politis Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, untuk menembak Megawati. ”Bisa menjadi posisi tawar-menawar yang efektif.” Tak mengherankan, kata dia, bila politikus partai banteng bermoncong putih di Senayan gerah terhadap langkah JK—sebutan populer Kalla.

Kebagusan—markas PDI Perjuangan—tentu saja menolak politisasi kontrak Tangguh ini. Taufiq Kiemas, yang ditemui Tempo ketika menghadiri Mega Dzikir di Jakarta pekan lalu, menegaskan bahwa perjanjian kontrak Tangguh merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan orang per orang. ”Tak bisa dong dikaitkan dengan partai (PDI Perjuangan),” ujarnya.

Segendang sepenarian, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung menegaskan, kontrak Tangguh tak berkaitan dengan partainya. Penandatanganan kontrak bisnis itu merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan pribadi Megawati. Jika mau dipersoalkan, kata dia, Yudhoyono dan Kalla juga terlibat, karena mereka adalah pembantu presiden ketika itu. Alumnus Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung ini pun mengimbau duet Yudhoyono-Kalla tidak mencari-cari kesalahan pemerintah sebelumnya.

Tak mau kalah, staf khusus Wakil Presiden Muchlis Hasyim meyakinkan bahwa tak ada motif politis dari keinginan Kalla meminta negosiasi ulang kontrak gas Lapangan Tangguh. ”Motifnya hanya ekonomi dan kepentingan negara, karena nilai ladang Tangguh sangat besar,” kata Muchlis kepada Tempo.

Bukan tidak mungkin persoalan ini bakal menjadi bola salju. Selain pertarungan dalam soal hak angket, pemilihan umum sudah di depan mata. Bisa jadi, persoalan ini akan menjadi salah satu amunisi Golkar maupun Demokrat untuk menghantam PDI Perjuangan. Dan pada akhirnya pertarungan bakal mengerucut pada pemilihan presiden antara Yudhoyono dan Megawati.

Padjar Iswara, Bunga Manggiasih, Amandra Mustika Megarani, Ninin Damayanti, Anton Aprianto

Perbandingan Kontrak Gas Alam Indonesia

Ladang LNG Tangguh  
PembeliMasa KontrakHarga *
Fujian (Cina)25 tahun3,35
SK Power (Korea)20 tahun3,5
SK Posco (Korea)20 tahun3,36
West Coast (AS)20 tahun5,94
LNG Arun  
Jepang40 tahun16
LNG Badak  
Jepang20 tahun17

*US$/mmBtu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus