Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merugikan tapi Diperpanjang

Pemerintah memperpanjang kontrak bagi hasil minyak dan gas BP Tangguh hingga tahun 2034. Kontrak ini merugikan.

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Wakil Presiden Cina Xi Jinping di Great Hall of the People, Beijing, Ahad pekan lalu tak sia-sia. Pemerintah Negeri Panda bersedia merenegosiasi kontrak penjualan gas alam cair dari Tangguh, Papua, ke Provinsi Fujian.

Proyek Tangguh memang berkali-kali diributkan. Pemicunya, harga kontrak penjualan gas ke Fujian dinilai terlalu murah. Selain itu, kontrak penjualan gas ini tidak dikaitkan dengan harga minyak. Akibatnya, ketika harga minyak melonjak hingga di atas US$ 115 per barel dan harga gas rata-rata berada di kisaran US$ 20 per mmBtu, harga kontrak Fujian yang cuma US$ 3,3 jadi terlalu murah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan. Pekan lalu, ia menunjuk Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati untuk memimpin renegosiasi kontrak. Wakil Presiden Jusuf Kalla akan menjadi supervisor renegosiasi. ”Insya Allah ada celah, sebesar apa pun akan kita perjuangkan untuk perbaikan kontrak itu,” kata Presiden Yudhoyono seperti dikutip Ninin Damayanti dari Tempo.

Pembangunan kilang liquefied natural gas ketiga di Indonesia itu dimotori BP. Raksasa minyak dan gas dunia yang berbasis di London, Inggris, ini meneken kontrak bagi hasil Tangguh dengan pemerintah Indonesia—saat itu diwakili Pertamina—pada 1997.

Sebenarnya, ladang gas Tangguh meliputi tiga blok, yakni Wiriagar, yang masa kontraknya akan berakhir pada 2023, serta Blok Berau dan Muturi, yang akan kedaluwarsa setelah 2017 dan 2022. Belum juga perjanjian kerja sama expired, BP sudah minta perpanjangan. Alasannya, kontrak penjualan gas akan berlangsung hingga 2034. Eh, pemerintah mengabulkan.

Perundingan pun digeber lagi pada akhir 2004, membahas perpanjangan kontrak. Nah, saat inilah persoalan muncul lantaran BP terlalu banyak meminta fasilitas. ”Mereka minta macam-macam,” kata sumber Tempo yang mengetahui proses negosiasi saat itu, pekan lalu. Misalnya soal government act. Kontraktor minta pemerintah membayar penalti jika ada kebijakan yang bisa mengganggu pengiriman gas kepada pembeli. Nilainya maksimal US$ 300 juta.

Menurut sumber tadi, apa yang akan dihadapi oleh BP bukan force majeure, melainkan hardship atau kesulitan mengirim gas. Bedanya, force majeure adalah kejadian yang di luar kendali, seperti gempa bumi. Bila kegagalan mengekspor gas dinyatakan sebagai force majeure, BP akan terbebas dari segala hak dan kewajiban. ”Kalau begitu, enak betul, dia enggak bayar apa-apa nanti.”

Tim negosiator pemerintah, sumber itu menambahkan, sempat sepakat dan lantas menuangkannya dalam principles of agreement. Tapi Menteri Keuangan Jusuf Anwar menolaknya. Sebab, pengertian government act sangat luas, mencakup semua kebijakan di level eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Penolakan Departemen Keuangan itu memicu reaksi keras dari kantor pusat BP di London. Ketika Presiden BP Gerald Peereboom berkunjung ke Indonesia pada November 2004 dan menemui Presiden Yudhoyono, berembus kabar ada desakan agar proyek Tangguh bisa segera direalisasi.

Senior Vice President Tangguh LNG, saat itu Lukman Mahfoedz, pernah memberikan konfirmasi bahwa kedatangan Peereboom hanya kunjungan biasa, tanpa agenda khusus. Toh, Peereboom menegaskan pihaknya ingin negosiasi Tangguh tidak berlarut-larut agar tahap konstruksi tidak tertunda lagi.

Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan klausul government act itu tidak lumrah. Dalam kontrak kerja sama minyak dan gas lain yang ada di Indonesia tidak ada term seperti itu. Misalnya kontrak bagi hasil ExxonMobil Oil di Arun, Aceh. Vice President Public Affair Exxon Indonesia Maman Budiman membenarkan hal itu. ”Tidak ada klausul government act,” kata Maman.

Meskipun demikian, akhirnya negosiasi berujung win-win. Cakupan atau pengertian government act dipersempit, yakni meliputi keputusan presiden dan satu tingkat di bawahnya, yaitu keputusan menteri. Alasannya, keputusan yang kontra dengan undang-undang nyaris mustahil.

Mantan Direktur Manajemen Production Sharing Pertamina Effendi Situmorang menilai hal itu sebagai tindakan yang berlebihan, kendati pengertiannya dipersempit. ”Kalau kemungkinannya nyaris mustahil, kenapa tidak ditiadakan saja?”

Deputi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Eddy Purwanto membantah kontrak kerja sama pemerintah dengan BP Tangguh merugikan negara. Sebaliknya, kata dia, itu justru menguntungkan. Ongkos engineering, procurement, and construction kilang Tangguh murah. ”Saat itu, pada 2002, cuma US$ 250-300 per ton.” Ia membandingkannya dengan kilang serupa di Donggi Senoro, Sulawesi Tengah, yang biayanya kini sudah mencapai US$ 1.000 per ton.

Kendati begitu, tetap saja kontrak Tangguh kini terasa janggal. Dengan harga sebesar itu, Cina bisa mengambil keuntungan sangat besar, misalnya dengan menjualnya ke pihak lain. Atau Cina bisa menjual listrik yang diproduksi menggunakan gas dengan harga yang sangat murah. Sebaliknya, listrik di Indonesia tetap saja byar-pet.

Retno Sulistyowati, Bunga Manggiasih, R.R. Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus