Sejak 1 Mei 1991, hanya bank sehat yang diizinkan membuka cabang. Betulkah persaingan antarbank mulai membahayakan? KEBIJAKSANAAN deregulasi telah mendorong perbankan melebarkan sayapnya. Sejak Pakto 1988 diluncurkan, baik pembukaan bank baru maupun kantor cabang terus tumbuh. Hampir setiap pojok gedung besar di Jakarta ditongkrongi sebuah bank. Di lantai III Pusat Grosir Pasar Pagi Mangga Dua (Jakarta Utara), misalnya. Di situ, paling sedikit 20 bank berderet seperti kios. Namun, sejak awal Mei tahun ini BI membatasi pembukaan kantor bank. Seperti yang tertuang dalam Paket Februari 1991, hanya bank sehatlah yang boleh membuka cabang. Pembatasan pembukaan kator ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai koreksi terhadap Pakto, yang sebelumnya memberi kebebasan kepada bank untuk melebarkan sayap. Sampai Januari lalu, jumlah kantor bank bertambah dua ribu lebih. Namun perkembangan ini tidak didukung oleh tenaga profesional sehingga tak sedikit kantor cabang yang terus-menerus harus menyusu kepada induknya karena defisit. Selain itu, cabang yang terlalu banyak akan menyulitkan bagi kantor pusat untuk mengawasi. Sudah banyak contoh mengenai hal ini. Penyelewengan yang dilakukan oleh Kepala Cabang Bank Umum Majapahit Jaya Surabaya. Bahkan, menurut Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi BI, Dahlan Sutalaksana, pembukaan kantor akan memberatkan bank yang tidak sehat, terutama dari segi biaya. Maka, Paket Februari menentukan, setiap bank yang akan membuka kantor, harus sehat dalam 10 bulan terakhir dan selebihnya boleh cukup sehat. Sedangkan syarat untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat), dalam 20 bulan terakhir harus sehat. "Kalau sebulan saja tidak sehat, izin tidak akan dikeluarkan," kata Dahlan. Tapi, tampaknya, Paket Februari bukan halangan untuk melakukan ekspansi. Sejumlah bankir menegaskan akan terus berekspansi. BRI -- bank dengan 330 kantor cabang ini -- Senin lalu menghidupkan kembali lima ribu bank desanya. Alasannya: peluang bisnis di daerah-daerah masih cukup potensial. Lagi pula, investasi sebuah kantor cabang tidak begitu besar, bisa impas dalam 18 bulan. Berbeda dengan BRI, Lippobank tahun ini belum berniat membuka kantor cabang. Bukan karena bank milik Mochtar Riady ini tidak sehat, tapi bunga tinggi akibat pengetatan likuiditas membuat mereka berpikir dua kali untuk ekspansi. "Walaupun dapat menarik dana dari masyarakat, sulit bagi kami untuk menyalurkannya," kata Direktur Eksekutif Lippobank, Laksamana Sukardi. Hal sama diutarakan Direktur Operasi Bank Duta, B.S. Salamoen. "Tanpa Paket Februari pun, Bank Duta belum berniat ekspansi," tuturnya kepada Iwan Qadar dari TEMPO. Terlepas dari pengetatan likuiditas di atas tadi, anehnya, semua bankir sependapat bahwa hal itu sudah waktunya diterapkan. Kata mereka, persaingan antarbank belakangan ini mulai tidak sehat. Untuk menarik dana masyarakat, misalnya, bank mengiming-imingi bunga tinggi. Selain itu, dalam hal promosi, mereka memberikan hadiah milyaran rupiah. Akibatnya, beban biaya yang ditanggung bank menjadi terlalu tinggi alias tidak efisien. Namun, sampai saat ini para bankir masih menunggu standar kesehatan bank BI. "Pedoman standar BI yang mengatur soal itu belum kami terima," kata Direktur Perkreditan BRI, Sugianto. Tidak sedikit pula yang curiga bahwa status kesehatan bank bisa "diatur". Maklum, tak ada pihak ketiga yang mengetahuinya, kecuali BI dan bank yang bersangkutan. Bambang Aji dan D.S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini