Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Api Masih Berkobar di Hari Suci

Isu kerusuhan saat Natal menjadi kenyataan di Ambon, walaupun pemicunya hanya persoalan sepele. Amuk massa bahkan berlanjut ke Larat dan Halmahera.

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LONCENG gereja belum lagi hilang gemanya. Para jemaat masih melakukan serangkaian upacara kebaktian menyambut lahirnya Yesus Kristus. Tiba-tiba, ada suara teriakan datang dari arah kanan Gereja Silo, di perempatan Tugu Trikora, Ambon. Teriakan itu mengagetkan: ''Kebakaran... kebakaran.…" Api menjilat-jilat. Umat kristiani yang hendak melakukan kebaktian Minggu sore, 26 Desember, lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Damai yang diharapkan datang pada hari Natal ternyata hanya ada beberapa jam. Rupanya, isu akan ada kerusuhan pada hari suci umat kristiani itu bukan sekadar isapan jempol. Masing-masing pihak tak mampu menahan gejolak marah di hati mereka. Setan berhasil menunggangi maksud orang-orang yang busuk hatinya untuk memecah-belah masyarakat Maluku. Kota Ambon kembali dilanda kerusuhan rasial. Rusuh di hari Natal berawal dari masalah sepele, yaitu tertabraknya Fauzan Sarijan, warga Gang Kayu Buah, Jalan Baru, Ambon. Anak berusia 13 tahun itu sedang main sepeda di sebelah barat Tugu Trikora, tak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba, wuz…, sebuah mobil Isuzu Panther berkecepatan tinggi menyambarnya. Fauzan terkapar berlumuran darah, dan Panther berlari tak ketahuan arah. Sekelompok anggota marinir yang berjaga-jaga di dekat Tugu melihat korban yang sekarat langsung mengambil inisiatif, menyetop sebuah angkutan kota yang kebetulan melintas. Angkutan kota (angkot) berpelat nomor DE 297 jurusan Kudamati itu langsung mengangkut korban. Tapi, entah dibawa ke mana. Sang ayah, Abdulah Sarijan, bersama aparat keamanan berusaha melacak keberadaan Fauzan. Pertama, mereka mendatangi Rumah Sakit Haulussy di Kudamati. Tidak ada Fauzan di sana. Pencarian dilanjutkan ke tiga rumah sakit lain, hasilnya nihil. Bahkan, sampai kini belum ketahuan nasib anak itu, mati atau hanya luka parah. ''Kalau memang sudah meninggal, bawalah mayat anak kami ke sini," kata Ipah, ibu Fauzan, meratap. Ipah, yang tinggal hanya 200 meter dari tempat kejadian, masih melihat Fauzan saat digotong ke dalam angkot oleh aparat keamanan. Namun, ia tak bisa mencegah. ''Apalah artinya jeritan seorang rakyat kecil," ujarnya. Ketidakjelasan keberadaan Fauzan itu rupanya berbuntut panjang. Cerita-cerita seram merebak tentang korban yang ditabrak oleh orang Kristen yang mabuk, lalu dibawa oleh angkot yang juga milik orang Kristen. Bumbu cerita bertambah-tambah, misalnya kabar tentang banyaknya korban muslim yang dibunuh di Rumah Sakit Kudamati saat masih sekarat pada beberapa kali bentrokan yang lalu. Kebetulan, Kudamati adalah basis kampung Kristen. Rentetan kisah inilah yang menjadi pemantik api kerusuhan. Tanpa dikomando, dalam waktu dua jam massa berkumpul, membentuk barisan, dan siap menyerang ke Kampung Kudamati. Begitu juga pihak Kristen, yang akan diserang, tak kalah sigap, siap-siap dengan berbagai senjata dan alat pertahanan lainnya. Dua kubu bertemu, terompet perang dikumandangkan. Aparat keamanan tak mampu lagi melerai amuk massa. Kubu Islam membakar sebuah rumah di samping kanan Gereja Silo—kemudian diketahui rumah seorang muslim. Dari rumah itulah api merembet membakar gereja. Belasan rumah di sekitar itu habis termakan api. Aksi terus berlanjut dari malam hingga ke siang esok harinya. Melihat gereja dibakar, kubu Kristen pun mengamuk, merangsek maju. Masjid An-Nur di Jalan A.M. Sangaji dan Masjid TVRI di Kampung Kramatjaya, Jalan Gunung Nona, dibakar. Aparat memang berusaha mencegah amuk massa. Tembakan meletus di sana-sini, puluhan orang jatuh bergelimpangan. Menurut siaran berita TVRI Ambon, 38 orang tewas dalam peristiwa itu, 27 orang di antaranya warga muslim, terbujur kaku di Rumah Sakit Al-Fatah. Tiga orang aparat dari Kesatuan Marinir, Artileri Medan, dan Brigif Lintas Udara luka parah, dan dua wartawan dari harian Suara Maluku dan koresponden kantor berita Antara juga menjadi korban peluru nyasar. Menurut sumber TEMPO, peluru yang ditembakkan ke arah aparat datang dari penembak jitu (sniper) yang berada di gedung-gedung sekitar arena pertempuran. Antara lain dari Gedung PLN cabang Ambon. ''Tembak jika terlihat," perintah Komandan Komando Sektor, Kolonel Infanteri Irawan Kusnadi, kepada anak buahnya tentang keberadaan sniper ini. Jatuhnya korban dari pihak aparat keamanan menyebabkan ''perang" lebih dahsyat dan di kubu kedua pihak lebih banyak jatuh korban. Soalnya, aparat tidak mampu menguasai diri saat ada anggota yang terluka, dan massa juga mengamuk tak terkendali. Timah panas dimuntahkan ke arah massa. Suara tembakan bukan membuat keder para perusuh. Massa Islam mencoba bergerak menuju Gereja Maranatha, gereja paling besar di Ambon, tetapi dihalau barikade aparat dengan lima panser. Begitu juga massa Kristen, mereka bisa dihadang. Untung ada hujan deras yang sempat menghentikan aksi lempar bom buatan dan amuk massa membakari rumah. Namun, selepas hujan reda, peperangan kembali berlanjut. Akibat peristiwa itu, puluhan orang tewas, termasuk satu prajurit dari Kostrad Makassar, Praka La Ode Ismail. Seorang lagi, Sersan Kepala Suryanto, yang kini masih hilang, diduga juga sudah tewas. Sedangkan ratusan korban luka parah jatuh di kedua belah pihak. Ada tiga masjid, satu gereja, puluhan rumah tinggal, dan toko habis dibakar. Gelombang pengungsi dari dua pihak terus memenuhi kantong-kantong pengungsian. Kabar adanya gereja dibakar di Ambon menyulut kemarahan lain di Larat, Maluku bagian tenggara. Permukiman muslim di ibu kota Kecamatan Tanimbar ludes dibakar. Akibatnya, 218 orang mengungsi ke markas Polsek Larat. ''Kami diperintahkan untuk mengamankan dan menyelamatkan pengungsi, sekaligus mencegah pertikaian," kata Kapolres Maluku Tenggara, Letnan Kolonel Alexius Subyandono, kepada Republika. Memang, selama Ramadan, kerusuhan di Kepulauan Maluku meningkat pesat. Di Pulau Halmahera, 100 orang tewas. Sedangkan di Pulau Buru, yang sebelumnya tak terdengar adanya pertikaian, juga timbul kerusuhan dua pekan lalu dengan korban 57 orang meninggal dunia. Diperkirakan eskalasi kerusuhan akan semakin memuncak sampai hari raya Idul Fitri karena dendam yang berkepanjangan. Pantas saja Presiden Gus Dur sudah lepas tangan. ''Yang harus menyelesaikan masalah di Maluku adalah orang Maluku sendiri. Pemerintah pusat hanya akan mendukung dan menjadi fasilitator penyelesaian konflik itu," kata Presiden di hadapan 300 pemuka Maluku saat kunjungan singkat di Ambon, beberapa waktu lalu. Bahkan, Kapolda Maluku, Brigjen I Wayan Dewa Astika, tak sanggup lagi menangani Ambon. Ia segera menyerahkan pengendalian Ambon kepada Kodam Pattimura. Kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid dan wakilnya, Megawati Sukarnoputri, semula diharapkan akan menyelesaikan masalah. Namun, harapan itu jauh panggang dari api. Bahkan, saat kunjungan rombongan Presiden, pertikaian kecil meledak di sebelah kiri Kantor Gubernur Maluku. Menurut seorang pemuda Ambon, Dino Chresbon, kunjungan Presiden dan wakilnya itu tak menghasilkan proses penyelesaian perang agama di Maluku, khususnya Ambon. ''Karena kunjungan itu hanya menyentuh level elite masyarakat Ambon. Mereka yang berperang justru di luar kelompok itu," kata Dino. Ucapan pemuda itu ada benarnya. Kerusuhan pekan lalu juga memakan korban Thamrin Elly, Ketua Pusat Rujuk Sosial yang dibentuk beberapa hari sebelum kunjungan Presiden dan Wapres pertengahan Desember lalu. Rumahnya habis dibakar massa. Menurut sosiolog asal Maluku Utara, Thamrin Amal Tomagola, upaya penyelesaian kasus kerusuhan massa antaragama di Maluku ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam waktu dekat, dibentuk satuan tugas perdamaian, terdiri dari preman-preman kedua belah pihak yang bertikai. ''Gagalnya upaya-upaya yang dilakukan selama ini karena tak dilibatkannya para pemimpin di tingkat akar rumput (grass root). Padahal, justru para pemimpin yang benar-benar berakarlah yang punya cengkeraman terhadap masyarakat," kata Thamrin. Cara lain yang perlu dilakukan adalah pelucutan senjata di tempat-tempat umum, rehabilitasi fisik dan moral penduduk, dan penyegaran aparat keamanan. ''Jangka menengahnya harus diupayakan dasar-dasar dialog antariman, aktualisasi realisasi pela gandong, dan pembauran permukiman. Tak boleh ada lagi kampung-kampung yang diisi oleh penghuni yang satu macam agama saja," ujar Thamrin. Kalau gagal juga? ''Blokade Kota Ambon, dan pindahkan ibu kota Maluku ke lain pulau yang lebih netral. Ibu kota Maluku yang baru itu harus berada di luar daerah Islam ataupun daerah Nasrani. Harus dibuat sebuah kota baru yang tidak diposisikan sebagai daerah Islam ataupun Kristen," katanya lagi. Ahmad Taufik, Yusnita Tiakoly (Ambon) dan Darmawan Sepriyossa (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus