PARA buruh wanita yang muda usia itu tetap gesit melinting
rokok. Tapi di Kudus mereka tak lagi melinting sebanyak dulu. Di
pabrik Jambu Bol, misalnya, seorang buruh yang biasanya
melinting 3000 batang sehari, kini tinggal 2000 batang. Beberapa
pabrik besar, seperti cap Sukun dan Nojorono, bahkan pernah
tutup beberapa hari. Yang kelas menengah, apalagi yang kecil,
pingsan. Mereka berhenti berproduksi entah sampai kapan.
Akibat harga dasar pembelian cengkih naik? "Bukan, tak ada
hubungan dengan itu," ujar Haji Nawawi Rusdi, ketua Persatuan
Pabrik Rokok Kudus (PPRK). Nawawi, sehari-hari direktur pabrik
rokok Jambu Bol, menilai harga cengkih di pasaran yang Rp 9.000
per kg itu jauh lebih mendingan ketimbang masa gawat tahun lalu
yang pernah mencapai Rp 14.000 per kg. Sebagai ketua PPRK dia
bahkan menyambut baik keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi
Radius Prawiro, yang menaikkan harga dasar pembelian cengkih
petani dari Rp 3.500 per kg jadi Rp 6.500 (naik 85,71%) sejak 4
Februari.
Kelesuan produksi rokok kretek di Kudus itu, menurut Nawawi,
karena soal musim dan tradisi yang berulang setiap tahun. Antara
Oktober sampai Febbruari terjadi musim tanam. Para buruh kembali
ke sawah, dan mengeluarkan uang untuk membiayai pertanian. Haji
Nawawi juga menunjuk pada hujan akhir-akhir ini, yang
menyebabkan penyebaran rokok terhambat dan stokpabrik menumpuk.
Terutama yang konsumennya sebagian besar kalangan bawah --
petani.
Lebih Murah
Tapi Haji Nawawi mengakui bukan cuma soal itu yang jadi sebab.
"Belakangan ini persaingan memang berat di pasaran," Nawawi
mengakui. Dari pabrik mana saja? Tokoh rokok kretek Kudus itu
tak ingin menunjuk langsung. Tapi beberapa sumber di kota kretek
Kudus menyebut serangan itu datang dari pabrik Gudang Garam di
Kediri.
Pabrik rokok kretek terbesar di Indonesia itu sengaja menurunkan
harga, setelah harga cengkih normal kembali. GG sejak Desember
mengurangi harga rokoknya sampai Rp 8.000 per bal. Isi 10 batang
GG yang semula Rp 300, kini bisa dibeli dengan Rp 250 eceran.
Ini persis seharga rokok Sukun -- yang rasanya diakui di bawah
GG.
Setelah mengalami kegoncangan dan turup sebentar, Sukun pun
terbit kembali dengan harga Rp 225 sebungkus-lebih murah 10%.
Begitu juga dengan Nojorono. Hanya Djarum dan Jambu Bol yang
mempertahankan harga. Sejauh mana mereka bisa mengatasi
kelesuan, masih jadi tanda tanya.
Di Jawa Timur sendiri terdengar suara mirip dari Hendra
Suryaseputra, staf pimpinan Bentoel di Malang. "Dibandingkan
waktu ramai-ramai dulu, produksi Bentoel sekarang tinggal 50
persen," kata Hendra kepada Slamet Oerip Pribadi dari TEMPO.
"Dulu satu orang biasa mengerjakan 6.000 sampai 7.000 batang,
sekarang antara 3-4.000 datang."
Akankah Bentoel juga ikut-ikutan menurunkan harga? "Harga yang
sekarang saja sudah pas-pasan," jawab Hendra. "Apalagi kalau
harga cengkih naik terus." Orang Bentoel itu juga mencela
tindakan menekan harga. Dia melihat perlu ada suatu "strata
harga" untuk menolong pabrik kecil dan menengah. "Misalnya
pabrik besar tak boleh memasang harga di bawah Rp 200
perbungkus," katanya.
Hudiono Wangsawidjaja, Dir-Ut PT Karnia yang memproduksi cap
Grendel setuju dengan pendapat Hendra. "Dulu sebenarnya sudah
baik. Pemerintah melarang pabrik besar bikin rokok isi tiga dan
lima. Kami yang menengah jadi tertolong. Tapi sekarang kami
dimainkan lagi dari segi harga."
Apa komentar orang GG? "Kami tak bisa bilang apa-apa," hanya itu
jawab Dir-Ut GG Rahman Halim ketika ditanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini