KETIKA Bank BCA akan dijual, orang ribut karena khawatir bank yang kini dimiliki pemerintah itu akan jatuh kembali ke tangan kelompok Salim. Tapi siapa bilang pemilik lama bank tidak boleh memiliki kembali bank yang diserahkannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai pembayar utang? Setidaknya Bank Bukopin kini bisa kembali ke tangan pemilik lamanya dengan tenang.
Tanpa ribut-ribut, pekan lalu pemerintah telah menjual 74 persen sahamnya, senilai Rp 495 miliar, kepada pemilik lamanya. Di antara pemilik lama itu ada Koperasi Pegawai Logistik Seluruh Indonesia (Kopelindo), Koperasi Masyarakat Perkayuan Indonesia (Kopkaindo), Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog, dan pemerintah sendiri.
Penjualan itu tak urung mengundang protes karena prosesnya dinilai tidak transparan. Bukopin adalah aset yang diserahkan ke BPPN oleh pemiliknya karena berutang kepada pemerintah. "Tak etis bila BPPN mengelola perusahaan yang telah menerima uang rakyat ratusan triliun rupiah dengan proses yang tidak transparan," cetus ekonom Faisal Basri. "Proses yang tak transparan dan tergesa-gesa itu dikhawatirkan akan merugikan negara," anggota DPR Rizal Djalil ikut berkomentar.
Kisah Bukopin sendiri bermula dari kesulitan yang mereka alami dua tahun lalu ketika pemerintah meminta bank meningkatkan permodalannya. Agar rasio kecukupan modal (CAR)-nya mencapai 4 persen, Bukopin mesti mendapat suntikan modal Rp 480 miliar. Sebagian besar kebutuhan modal itu kemudian ditutup pemerintah melalui program rekapitalisasi perbankan dan sisanya mesti dibayar oleh pemilik lama.
Namun, dari 23 pemilik lama Bukopin, yang bersedia menyetor modal tambahan hanya Kopelindo, Kopkaindo, Yanatera, dan pemerintah sendiri. Mereka selanjutnya disebut sebagai pemegang saham pengendali atau pemegang saham B. Saham pemilik lama lainnya otomatis menyusut tinggal 2,5 persen dan mereka disebut sebagai pemegang saham A. Adapun atas suntikan rekap senilai Rp 370 miliar, pemerintah jadi punya andil sebanyak 74 persen dan disebut sebagai pemegang saham C. Sebagai bagian dari program rekap itu, Bukopin juga menyerahkan kredit bermasalah senilai Rp 900 miliar kepada BPPN.
Nah, penjualan saham di Bukopin dinilai janggal karena salah satu pembelinya adalah pemerintah sendiri. Dengan demikian, transaksi itu menutup kemungkinan masuknya aliran dana lebih besar dari pihak nonpemerintah. Alhasil, dari segi anggaran, transaksi itu ibarat praktek gali lubang tutup lubang atas kas pemerintah sendiri. Padahal saat ini negara sedang membutuhkan banyak duit. "Mengapa pemerintah tak menjual habis sahamnya dalam rangka privatisasi?" tanya Faisal.
Penjualan kepada pemilik lama juga mengherankan. Soalnya, biasanya pemegang saham lama dilarang membeli sahamnya kembali. Mengapa kali ini pemilik Bukopin mendapat pengecualian? Apakah mereka memang piawai mengelola bank? Yang juga dipersoalkan adalah soal valuasi 74 persen saham pemerintah yang dihargai Rp 495 miliar. Bukopin memang bukan perusahaan yang tercatat di bursa, sehingga tak mudah untuk menghitung harga sahamnya. Di luar itu, masih ada satu lagi pertanyaan besar yang mengganjal menyangkut duit untuk membeli saham itu, yang ternyata berasal dari penjualan aset Bukopin yang disimpan dalam escrow account.
Nilai transaksi Rp 495 miliar memang lebih besar ketimbang biaya rekap yang dulu dikeluarkan pemerintah, yang hanya Rp 370 miliar. Tapi, bila kondisi bank yang biasa menyalurkan kredit kepada usaha kecil dan koperasi itu memang bagus sehingga ada yang mau membeli sahamnya dengan recovery rate di atas 100 persen, mestinya lebih baik penjualan sahamnya dilakukan secara transparan.
Namun, menurut Deputi Ketua BPPN Bidang Restrukturisasi Perbankan, Subowo Musa, penjualan saham pemerintah di Bukopin sudah berlangsung secara terbuka. "Semuanya sesuai dengan aturan yang ada," ujarnya. Ia menyebut nilai 74 persen saham yang setara dengan Rp 495 miliar bersumber dari perjanjian Investasi, Manajemen, dan Kinerja Usaha (IMKU) antara BPPN dan Bukopin ketika berlangsung proses rekap pada 28 Mei 1999.
Saat itu suntikan dana pemerintah sebesar Rp 370 miliar dianggap setara dengan 74 persen saham dengan hitungan nilai Rp 57,2 per saham. Namun, ada ketentuan bahwa pemilik lama bisa membeli saham pemerintah dengan harga Rp 495 miliar atau Rp 77,58 per saham. Dasar perhitungan itu telah memasukkan bunga dan biaya pengelolaan (carrying cost) di luar jumlah obligasi rekap yang diinjeksikan pemerintah. "Dengan demikian, pemerintah enggak rugi," kata Subowo.
Hak pemilik lama untuk membeli kembali sahamnya itu tertera dalam Pasal 8 Butir 1 IMKU, yang berbunyi, "BPPN menyanggupi kepada pemegang saham pengendali bahwa BPPN akan mencapai kesepakatan dengan pemegang saham pengendali tentang penjualan saham kelas C sebelum diadakannya penjualan saham kelas C dalam jangka waktu sampai dengan tanggal 15 April 2002…." Bahkan di sana juga ada ketentuan bahwa setiap enam bulan BPPN boleh menawarkan sahamnya itu kepada pemegang saham B.
Selain itu, pemilik lama Bukopin terbukti lolos uji kesepadanan dan kelayakan (fit and proper test) oleh bank sentral. Mereka tak termasuk dalam daftar orang tercela (DOT). Itu berarti mereka tetap boleh berkecimpung di bisnis perbankan. Soalnya, jebolnya permodalan Bank Bukopin dulu itu lebih karena imbas krisis, bukan karena Bukopin melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). "Lagi pula masuknya pemilik baru bukan jaminan kinerja Bukopin akan menjadi lebih baik," ujar Subowo.
Adapun mengenai hasil penjualan aset Bukopin, Subowo menegaskan bahwa dana itu bukan milik Bukopin atau BPPN, melainkan kepunyaan pemilik sertifikat bukti hak (SBH/waran). Agar tidak bisa diutak-atik oleh pemiliknya, hasil penjualan kredit bermasalah itu disimpan dalam escrow account. Duit itu bisa digunakan untuk membeli obligasi rekap Bank Bukopin.
Senada dengan Subowo, Direktur Utama Bank Bukopin Sofyan Basir menyangkal proses penjualan saham pemerintah di banknya berlangsung tak transparan. "Yang ngomong begitu tak mengerti proses rekap Bank Bukopin yang diatur dalam IMKU," katanya. Prosedur lelang dalam penjualan saham Bukopin, menurut Sofyan, juga tak perlu dilakukan karena Bukopin bukan bank yang ditutup, bank beku operasi (BBO), atau bank merger.
Dengan penjualan saham pemerintah itu, Bukopin kini tergolong sehat dan bisa keluar dari perawatan BPPN. Bila melihat angka-angkanya, kinerja bank langganan usaha kecil dan koperasi itu memang cukup ciamik. CAR-nya 22 persen, kredit macet 3,12 persen, perbandingan jumlah kredit dengan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) 62 persen, dan tahun ini diperkirakan bisa mengail laba Rp 160-170 miliar. Karena keberhasilan itu, Subowo mengisyaratkan pola seperti di Bank Bukopin akan diterapkan pada bank rekap lainnya. "Kebetulan Bank Bukopin ini yang pertama," katanya.
Namun, penjelasan Subowo dan Sofyan justru mengungkap betapa lemahnya posisi BPPN dalam perjanjian IMKU itu. Sebab, harga jual sahamnya sudah dipatok pada waktu dilakukan rekap. Bukankah bila harga saham pada saat ini lebih tinggi dari harga patokan itu berarti BPPN merugi? Selain itu, seperti disebut Faisal Basri, bila pemerintah membutuhkan uang, mengapa tak menjual seluruh saham di Bank Bukopin tapi malah ikut membeli lagi bersama Kopelindo, Kopkaindo, dan Yanatera?
Juga terasa aneh bila hasil penjualan kredit macet Bukopin seluruhnya menjadi kepunyaan pemegang SBH, sementara BPPN, yang melakukan restrukturisasi dan penjualan atas aset tersebut, tak mendapat apa-apa. Jangan lupa, BPPN adalah lembaga penyehatan perbankan, bukan lembaga sosial yang bisa bekerja zonder bayaran.
Nugroho Dewanto, Agus S. Riyanto, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini