Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Trias Politika, Bisa Boleh, Bisa Tidak

Para pendiri negara kita tak pernah berniat menganut trias politika. Pemerintahan bisa demokratis tanpa prinsip itu.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA anggapan yang mengental di era reformasi ini bahwa pemerintahan yang demokratis hanya bisa dilaksanakan dengan trias politika. Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyebut para pendiri negara ”munafik”: maunya melaksanakan trias politika, tapi kenyataannya konsep itu tidak dijalankan. UUD 1945 juga mendapat citra buruk sebagai konstitusi yang tak demokratis, tidak punya checks and balances, mengabaikan hak asasi manusia, executive heavy. Stigma ini akibat kesewenangan Orde Baru dan Orde Demokrasi Terpimpin menginterpretasi dan menerapkannya guna melestarikan kekuasaan. Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengungkap bahwa founding fathers kita menganggap trias politika sudah usang. Yang melaksanakannya hanya Amerika Serikat, Filipina, dan beberapa negara lain. Para pendiri berpendapat, sistem pemerintahan demokratis bisa dilaksanakan dengan trias politika atau dengan non-trias politika. Bisa dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti di Amerika Serikat atau dengan peleburan kekuasaan (fusion of power) model Inggris. Pemerintahan yang demokratis dapat dilaksanakan dengan sistem dan nama berbeda. Ada sistem presidensial, kuasi-presidensial, semi-presidensial, hibrida presidensial, parlementer, atau semi-parlementer. Yang penting, sistem itu tidak melanggar prinsip demokrasi dan bisa efektif. Para pendiri juga menganggap sistem pemerintahan harus disesuaikan dengan keadaan suatu negara. Terkait pula dengan aliran pikiran yang mendasari UUD-nya. Orde Baru gemar benar menyatakan UUD 1945 dipengaruhi aliran pikiran integralistik Soepomo, paham yang justru dihujat oleh pihak anti-UUD 1945. Padahal Soepomo sendiri sudah menanggalkan pikirannya itu pada masa Sidang II BPUPK, Juli 1945. Saat itu, Panitia Penyusun UUD (yang dipimpin Ir. Sukarno) memutuskan, yang akan dipakai sebagai dasar negara adalah Piagam Jakarta. Sehingga, ketika Soepomo kemudian ditunjuk mengetuai panitia kecil 7 orang untuk menyusun Batang Tubuh UUD 1945, ia mengacu pada pokok pikiran dalam Piagam Jakarta, bukan lagi pada teori integralistik yang diajukannya pada 31 Mei 1945. Setelah proklamasi, sistem pemerintahan yang dibahas sidang BPUPK dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak dilaksanakan sepenuhnya. Terjadi perubahan penting, yakni presiden tidak lagi menjadi eksekutif tunggal (single executive), tapi memegang kekuasaan pemerintahan bersama dengan seorang perdana menteri. Perubahan lain, menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang sejak 16 Oktober 1945 diubah menjadi lembaga legislatif. Dari semula Soepomo berpendapat bahwa hukum dasar terdiri atas UUD dan aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara (konvensi). Maka, saat diangkat menjadi Ketua Panitia Penyusun UUD yang baru (9 Februari 1946), dia meminta kepada redaksi Berita Republik Indonesia (edisi 15 Februari 1946) untuk menerbitkan UUD 1945 beserta penjelasannya agar masyarakat luas dapat mengikuti pertukaran pikiran yang berkembang mengenai perubahan UUD. Penjelasan UUD 1945 disusun Soepomo dan beberapa sahabatnya. Menilik gaya bahasa dan istilah yang dipakai, penjelasan pasal 23 dan 33 adalah rumusan Bung Hatta. Sembilan Kunci Pokok Dalam Penjelasan UUD 1945, sistem pemerintahan diuraikan pada tujuh angka (Romawi) sehingga dikenal dengan istilah ”Tujuh Kunci Pokok”. Padahal sistem itu sesungguhnya terdiri atas sembilan pokok. Dua pokok tidak diberi angka Romawi. Inilah tujuh kunci itu: I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat); II. Sistem Konstitusional; III. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR; IV. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis. Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President); V. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; VI. Menteri negara ialah pembantu presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR; VII. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Inilah kunci pokok yang tidak diberi angka Romawi: kedudukan DPR kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Selain itu, anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kepada presiden. Ini pun kunci pokok yang tidak diberi angka Romawi: menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa. Meskipun kedudukan menteri negara bergantung pada presiden, mereka bukan pegawai tinggi biasa. Sebab, menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif) dalam praktek. Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah para menteri itu pemimpin-pemimpin negara. Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan presiden. Kunci pokok IV dan dua kunci pokok terakhir yang tidak berangka Romawi dimuat lengkap karena di situ terjadi kontroversi. Di kunci pokok IV dinyatakan bahwa ”concentration of power and responsibility upon the President”—inilah penyebab UUD 1945 dinilai sebagai executive heavy. Padahal kekuasaan presiden sudah diimbangi (balance) oleh kunci pokok yang menyebutkan DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden, bahwa DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan presiden, dan bahwa DPR dapat mengusulkan kepada MPR agar mengadakan sidang istimewa untuk minta pertanggungjawaban presiden. Kunci pokok terakhir mengenai pembatasan hak prerogatif presiden, agar presiden benar-benar cermat memilih para menterinya dan juga tidak seenaknya memberhentikan para pemimpin negara itu. Kunci pokok I dan II yang menyatakan bahwa Indonesia ialah negara berdasar atas hukum dan sistem konstitusional menunjukkan bahwa Indonesia menganut asas rule of law dan limited government—wewenang pemerintah harus dibatasi. Rule of law yang terdiri atas supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan konstitusi yang berdasar hak asasi manusia terdapat di UUD 1945. Memang hanya hak asasi manusia terpenting yang dicantumkan dalam UUD 1945 (kemerdekaan memeluk agama, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan ataupun tulisan, persamaan di depan hukum dan pemerintahan, hak mendapat pengajaran, hak pembelaan negara, dan hak fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara). Tapi itu tidak berarti para penyelenggara bisa berbuat sewenang-wenang. Prakteknya para penyelenggara negara di masa revolusi punya kesadaran tinggi terhadap hak asasi manusia. Bandingkan UU Keadaan Bahaya No. 6/1946 yang berlaku di masa revolusi dengan Perpu No. 23/1959 yang dijadikan undang-undang dan tetap berlaku di era reformasi. Menanggapi aksi rakyat yang mengarah ke anarki, pejabat diturunkan atau ”didaulat” oleh massa yang beringas, maka pada 27 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat: ”Pemerintah Indonesia berdasar atas hukum. Hanya pemerintahlah yang berhak menjalankan hukuman dengan perantaraan mahkamahnya. Orang seorang atau golongan tidak boleh menjalankan hukuman sendiri. Segala tindakan yang bercorak Nazi dan Fascis harus dibuang, karena bertentangan dengan kedaulatan rakyat.” Membagi Kekuasaan Di zaman revolusi, pelaksanaan UUD 1945 mengalami modifikasi. Pada 16 Oktober 1945, keluar maklumat wakil presiden yang mengubah KNIP menjadi Badan Legislatif. Pada 14 November 1945 dibentuk Kabinet Sjahrir I. Presiden Sukarno mengubah sifat kabinet presidensial dari eksekutif tunggal menjadi dual executive. Kekuasaan presiden dibagi dengan perdana menteri. Presiden bertanggung jawab kepada MPR, menteri bertanggung jawab kepada DPR. Menteri Penerangan menjelaskan alasan-alasannya dalam Berita Republik Indonesia, 24 November 1945 (Tahun I Nomor 2). Alasan utamanya: UUD kita masih sementara, kita menyelenggarakan pemerintahan dengan konvensi sampai terbentuknya UUD yang tetap. Pada 1959, setelah kita kembali ke UUD 1945, Presiden Sukarno membagi kekuasaannya dengan perdana menteri atau gelar lainnya, menteri pertama. Dual executive sering juga disebut semipresidensial seperti di Republik V Prancis. De Gaulle menginginkan adanya presiden yang kuat, yang dapat mengatasi ancaman dan tantangan dengan cepat. Dual executive Prancis menunjukkan bahwa kekuasaan itu dapat diatur ”terpisah dan terlebur pada waktu bersamaan” (separated and fused at the same time). Gaya Prancis terbukti dapat berjalan meski presiden dan perdana menteri berasal dari partai berbeda. Ada pula dual executive Portugal yang lebih cenderung ke sistem parlementer. Di Amerika Latin—Brasil, Argentina, dan Bolivia, yang menyebut sistemnya presidensial—UUD-nya menyatakan para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sementara itu, yang kini disoroti oleh para pengamat kritis hanya kekurangan dari sistem presidensial kita—bahkan ada yang menyebutnya ”banci”. Padahal varian sistem presidensial itu banyak. Perlu kita pilih sistem presidensial yang dapat diterima kalangan luas. Ananda B. Kusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus