PROGRAM "Empat Modernisasi" -- untuk pertanian, industri,
pertahanan dan teknologi-ilmu -- yang sekarang begitu getol
dijalankan di RRC telah menyentuh salah satu hal yang paling
fundamentil: pengelolaan dan ketatalaksanaan.
Wakil Perdana Menteri Li Hsien-nien, teknokrat ekonomi terkemuka
di daratan Cina mulai mengutik persoalan itu. Di muka Konperensi
Nasional Keuangan dan Perdagangan yang baru-baru ini diadakan di
Peking, ia mengungkapkan praktek pengelolaan yang salah telah
mendatangkan kerugian besar.
Dalam pidato itu ia memberikan beberapa contoh. Salah atur dalam
mengurus transaksi bahan pangan dan minyak saja menyebabkan Cina
setiap tahunnya kehilangan 1,3 milyar yuan atau sekitar Rp 300
milyar. Sedangkan dalam industri sepeda -- alat pengangkutan
utama dinegeri itu -- karena tidak benarnya cara pengepakan,
pengangkutan dan penanganan serta kehilangan suku cadangnya
negara telah dirugikan tak kurang dari 2 juta yuan (Rp 460
juta).
Di muka kurang lebih 5000 delegasi yang turut dalam konperensi
itu Li mengajukan contoh lain. "Di Hunan ada 12 perusahaan
negara yang membeli 1000 ton pestisida dari Tientsin. Obat itu
ternyata kwalitasnya rendah, tak seimbang dengan harganya.
Akibatnya perusahaan-perusahaan di Hunan harus menjualnya
kembali dengan harga jauh di bawah pembelian," katanya.
Kepada para peserta konperensi mengumpamakan keuangan dan
perdagangan sebagai peredaran darah dalam tubuh manusia.
"Fungsinya persis seperti manusia yang tak bisa hidup tanpa ada
darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya," katanya. "Jadi
perekonomian sosialis kita tak akan jalan sekejap pun tanpa
adanya kegiatan keuangan-perdagangan, distribusi benda-benda dan
alokasi dana-dana."
Li Hsien-nien mengatakan pula bahwa kwalitas manajemen dalam
beberapa tahun terakhir ini telah turun dengan hebat. Ini,
katanya, disebabkan oleh kekacauan politik yang diakibatkan oleh
perbuatan "Komplotan Empat" Chiang Ching (janda Mao).
Kwalitas rendah manajemen, kata Li, bukan saja dalam perdagangan
dan keuangan, tapi juga timbul di sektor lain seperti peIIanian,
industri dan bidang lain. "Ini semuanya merupakan per soalan
mendesak yang harus diatasi di bidang ekonomi dan pembangunan
sosialis oleh seluruh aparat Partai Komunis Cina."
Akhirnya ada salah satu ajakan Li yang penting. Katanya: "Kita
punya sumber-sumber modal yang sangat terbatas. Karenanya tanpa
pengelolaan yang ilmiah dan pengawasan yang ketat dalam
supervisi keuangan dan kredit, maka dana-dana yang diperoleh
industri, pertanian, dan perdagangan tak akan dapat dipusatkan
secara raiionil, didistribusikan dan dipergunakan secara
efektip."
Apa yang dikatakan oleh Li ini, terutama mengenai salah urus
sebenarnya merupakan penyakit kronis yang menghinggapi ekonomi
Cina. Sejak semula, ketika RRC baru saja berdiri, para pengnasa
komunis dibuat pusing dengan persoalan bagaimana mengelola
ekonomi. Pada tahun-tahun pertama RRC, karena kekurangan
pengalaman dalam pengurusan bidang ini, mereka terpaksa
mempekerjakan orang-orang berpengalaman yang sebenarnya berasal
dari "masyarakat lama". Baru di pertengahan tahun 50-an mereka
mulai menyingkirkan teknokrat "masyarakat lama" itu dan
digantikan oleh orang-orangnya sendiri.
Tapi menjelang Revolusi Kebudayaan di tahun 1965, para pemuka
partai yang mengelola ekonomi itu dicap oleh golongan radikal
Maois terlalu memusatkan diri kepada hasil produksi. Mereka
dituduh "borjuis". Para manajer yang duduk di belakang meja
sudah dianggap menjadi birokrat dan kurang memperhatikan aspek
politik yang justru lebih dipentingkan.
Tuduhan terhadap para "birokrat" ini juga menyangkut soal
pertentangan antara "merahi' (artinya kesadaran politik tinggi)
dengan "ahli" (artinya keahlian di bidang teknis). Pertentangan
kedua unsur ini selalu menjadi bahan percekcokan di daratan
Cina. Denan kata lain, bagi seorang sosialis di Cma mana yang
penting: keahlian atau kesadaran politik
Malapetaka
Semasa hidup Mao, dengan penekanannya pada volunterisme, faktor
"merah"lah yang paling dipentingkan. Mao dan para pengikutnya
berpendapat bahwa dari seseorang dalam mengerjakan apa pun perlu
ada dedikasi dan tekad. Dengan bekal itu pekerjaan apa saja yang
diperbuatnya akan berhasil.
Namun, sejarah menunjukkan, penekanan besar terhadap faktor
"merah" ternyata membawa kerugian besar. Antara tahun 57 - 59
program Lompatan Jauh Ke Muka di bidang industri dan Komune
Rakyat dalam pertanian ternyata hanya membawa malapetaka
ekonomi. Demikian pula ketika "zaman khaos" Revolusi Kebudayaan
(1965-1967) dijalankan. Hampir semua kehidupan ekonomi Cina
terpukul.
Sejak permulaan tahun 1977 setelah Mao tiada dan setelah
"Komplotan Empat" dibabat, kelihatannya faktor "keahlian"lah
yang mendapat tempat utama. Sehingga Wakil PM Teng Hsiaoping
yang terkenal dengan semboyan "Kucing hitam atau putih tak jadi
soal, asalkan ia bisa menangkap tikus" itu naik kembali dan
memegang peranan cukup penting.
Pidato Li Hsien-nien itu merupakan salah satu penjabaran politik
ekonomi baru yang sejajar dengan program "Empat Modernisasi" dan
penekanan kepada keahlian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini