Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kemenkeu: Prabowo Seharusnya Mengerti Utang adalah Hal Normal

Kementerian Keuangan mengomentari kritikan yang sempat dilontarkan oleh Prabowo Subianto mengenai kondisi utang pemerintah.

28 Juni 2018 | 19.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti ikut berkomentar mengenai kritikan yang sempat dilontarkan oleh Prabowo Subianto mengenai kondisi utang pemerintah. Pernyataan Frans, sapaan Nufransa, diunggah melalui akun facebook miliknya pada Rabu sore, 27 Juni 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Frans, sebagai seorang tokoh politik yang memiliki perusahaan, Prabowo tentu seharusnya sudah mengerti bahwa memiliki utang adalah hal yang normal. Bahkan, semua perusahaan hampir dipastikan selalu menggunakan pembiayaan utang undung mendukung operasi usaha dan melakukan investasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Utang sepanjang digunakan untuk melakukan hal produktif dan menghasilkan penerimaan kembali, maka kewajiban tersebut akan dapat dibayarkan kembali," kata Frans seperti dikutip dalam akun facebooknya.

Hingga Kamis malam, 28 Juni 2018, unggahan status Frans tersebut telah disukai sebanyak 448 akun, mendapat 272 shares dan juga dikomentari sebanyak 69 orang.

Menurut Frans, total jumlah utang Indonesia mencapai Rp 8.540 triliun. Dengan rincian, total utang pemerintah hanya mencapai Rp 4.060 triliun, utang BUMN non-lembaga keunangan capai Rp 630 triliun dan, utang BUMN termasuk Bank BUMN mencapai Rp 3.850 triliun.

Jumlah tersebut masih jauh dari apa yang disampaikan oleh Prabowo yang menyebutkan utang Indonesia mencapai Rp 9.000 triliun. Kemungkinan, menurut Frans, penghitungan yang dilakukan menggunakan kurs Rp 14.000 per Dolar Amerika. Sedangkan pada 2017, data Statistik Utang Sektor Publik milik Bank Indonesia menggunakan nilai tukar sebesar Rp 13.492 per Dolar Amerika.

Frans juga menyampaikan bahwa untuk menghitung tingkat risiko utang maka ukuranya adalah dibandingkan dengan kemampuan untuk membayar. Karena itu, untuk utang pemerintah seharusnya diukur dengan kapasitas ekonomi (PDB) dan rasio kewajiban cicilan dan bunga terhadap penerimaan negara.

"Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa utang bukan tujuan, dan utang juga bukan momok yang nampaknya sering digunakan sebagai komoditas politik untuk menakuti rakyat. Utang negara adalah instrumen pembiayaan yang dapat digunakan oleh negara untuk mencapai tujuan, selama dikelola secara hati-hati, akuntabel, transparan dan bertanggung jawab," kata Frans.

Frans menuturkan jumlah utang tersebut juga harus melalui pembahasan dan persetujuan DPR lewat pengesahan UU APBN setiap tahunnya. Pengelolaannya selalu diawasi oleh DPR dan tetap dalam batas-batas yang telah diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

Frans juga membantah bahwa kondisi utang Indonesia berada dalam bahaya berdasarkan lembaga pemeringkat Moodys. Menurut Frans dari data terbaru per April 2018, Moodys justru menaikkan rating utang Indonesia dari Baa3/outlook positif menjadi Baa2/outlook stabil.

"Rating tersebut adalah rating tertinggi yang pernah diberikan Moodys kepada Indonesia selama ini," kata Frans.

Senin, 25 Juni 2018 lalu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengingatkan pemerintah terkait dengan ketimpangan ekonomi dan tingginya utang luar negeri yang sudah berada di tingkat mengkhawatirkan.

Dia mengatakan, dari sisi ketimpangan ekonomi, gini ratio Indonesia saat ini berada di posisi sekitar 45 persen. "Artinya, satu persen penduduk Indonesia menguasai 45 persen kekayaan bangsa Indonesia," ujar Prabowo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus