Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kenapa Banyak PHK Massal di Perusahaan Besar? Ini Pendapat Para Ahli

Kemnaker mencatat jumlah pekerja terkena PHK mencapai 59.796 orang per Oktober 2024. Kenapa banyak PHK massal? Ini penyebabnya.

4 November 2024 | 22.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menggelar aksi demo di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Rabu 3 Juli 2024. Dalam aksinya massa buruh menyerukan penolakan PHK pada industri tektil dan jasa logistik. Selain itu buruh juga menyerukan dicabutnya Cabut Permendag No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah daerah di Indonesia mencapai 59.796 orang hingga Oktober 2024. Angka tersebut meningkat sekitar 25.000 pekerja dalam tiga bulan terakhir. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hingga Oktober 2024 terdapat 59.796 orang pekerja terkena PHK. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 25.000 orang dalam tiga bulan terakhir,” kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat, 1 November 2024, seperti dikutip dari Antara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir Koran Tempo edisi Rabu, 4 September 2024, industri manufaktur, seperti garmen, tekstil, dan alas kaki menjadi sektor bisnis yang paling banyak memberlakukan PHK massal. Lantas, mengapa banyak perusahaan besar melakukan pemecatan terhadap buruh? 

Penyebab PHK Massal di Perusahaan Besar

Berikut pendapat para ahli terkait alasan PHK massal sering terjadi di industri manufaktur Indonesia: 

1. Ledakan Barang Impor

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan memprediksi PHK akan terus berlanjut, karena banyak perusahaan yang tidak mampu bertahan. 

Menurut dia, industri manufaktur tidak mampu menjadi tuan rumah di negara sendiri lantaran serbuan barang impor. 

“Segala hal diupayakan melalui efisiensi sampai terakhir tutup usaha,” ucap Liliek, Selasa, 3 September 2024. 

2. Belum Ada Kesepakatan Dagang dengan Uni Eropa

Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam mengungkapkan bahwa PHK terjadi terutama di perusahaan tekstil dan alas kaki yang berorientasi ekspor ke Eropa. 

Menurut dia, belum adanya perjanjian dagang melalui European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, membuat daya saing produk Indonesia melemah. 

“Banyak perusahaan yang melakukan efisiensi karena dalam waktu dekat, mereka tidak melihat adanya faktor pengungkit,” ujar Bob. 

3. Daya Beli Masyarakat Rendah

Bob juga berpendapat bahwa faktor lain yang menyebabkan sektor industri manufaktur tidak mampu bertahan adalah melemahnya daya beli masyarakat. 

Adapun konsumsi rumah tangga sepanjang 2023 hanya tumbuh sebesar 4,82 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 4,94 persen. 

4. Pelemahan Produksi dan Minim Permintaan Baru

Economics Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith menyatakan pelemahan produksi dan permintaan baru menjadi dalang PHK massal di sektor manufaktur dalam negeri. 

Pelemahan industri manufaktur tersebut tercermin dari penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI) di Indonesia hingga 48,9 pada Agustus 2024, dari sebelumnya 49,3 pada Juli lalu. 

“Tidak mengejutkan bahwa perusahaan menanggapinya dengan mengurangi karyawan, walaupun banyak yang percaya jika hal ini berlangsung sementara,” kata Paul dalam keterangan resminya, Senin, 2 September 2024. 

5. Salah Kelola Kebijakan Pemerintah

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira berpendapat bahwa sebagian besar penurunan performa sektor manufaktur diakibatkan oleh salah kelola kebijakan. 

Dia membandingkan, PMI manufaktur Vietnam pada Juli 2024 sebesar 54,7, sedangkan Thailand di angka 52 pada Agustus lalu. 

“Ini bukan soal kondisi eksternal, tetapi ketidakmampuan pemerintah dalam mengintervensi kebijakan,” ucap Bhima. 

Menurut dia, intervensi oleh pemerintah diperlukan, khususnya untuk menekan laju impor yang melonjak setelah pandemi Covid-19. 

Selain itu, pemerintah, lanjut dia, terlalu banyak memberikan insentif kepada industri hilirisasi mineral, padahal serapan tenaga kerjanya lebih kecil dibandingkan manufaktur. 

Riani Sanusi Putri, Septhia Ryanthie, Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus