Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perseroan beralasan butuh waktu tambahan untuk mempersiapkan pelaksanaan vaksinasi berbayar.
Keputusan menunda vaksinasi berbayar individu tak terlepas dari kritik beragam kalangan masyarakat.
Mereka mendesak pemerintah melarang perusahaan pelat merah menjual vaksin di tengah keterbatasan pasokan.
JAKARTA – Di tengah pro-kontra pelaksanaan vaksinasi berbayar, PT Kimia Farma (Persero) Tbk mengundurkan pelaksanaan vaksinasi gotong royong individu. Program yang seharusnya dimulai kemarin itu ditunda hingga pemberitahuan selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris perusahaan Kimia Farma, Ganti Winarno Putro, beralasan bahwa perseroan butuh waktu tambahan untuk mempersiapkan pelaksanaan vaksinasi berbayar. "Besarnya animo serta banyaknya pertanyaan yang masuk membuat manajemen memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi vaksinasi gotong royong individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta," ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vaksinasi berbayar sebelumnya hanya ditujukan untuk badan usaha. Pada 6 Juli lalu, Kementerian Kesehatan mengizinkan program tersebut diberikan untuk perorangan. Tarif maksimal pembelian antivirus ini diatur sebesar Rp 321.660 per dosis, sedangkan tarif maksimal pelayanan Rp 117.910 per dosis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan program ini akan memberikan lebih banyak pilihan vaksinasi kepada masyarakat. "Vaksinasi gotong royong ini merupakan opsi, masyarakat bisa ambil atau tidak," kata dia. Harapannya, program vaksinasi dapat mempercepat terbentuknya kekebalan komunitas.
Budi menuturkan program ini banyak diminati masyarakat. Salah satunya adalah perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mendapatkan akses dalam program vaksinasi berbayar untuk badan usaha. Selain itu, terdapat warga negara asing di Indonesia yang belum mendapat antivirus. "Mereka ingin mendapatkan akses ke vaksinasi gotong royong juga," tuturnya.
Vaksinator dari Kimia Farma memberikan suktikan dosis pertama kepada peserta Vaksinasi Gotong Royong Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) di Senayan, Jakarta, 19 Juni 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Menurut Budi, program tersebut baru akan dilaksanakan setelah vaksinasi gratis yang digelar pemerintah menjangkau lebih banyak masyarakat. Saat ini baru sekitar 36,2 juta orang yang telah menerima suntikan pertama vaksin Covid-19 dan 15 juta di antaranya telah menyelesaikan dua kali suntikan.
Pemerintah menargetkan bisa memberikan antivirus kepada 40 juta orang dan terus bertambah hingga 50 juta. "Sehingga benar-benar akses masyarakat akan lebih besar, sedangkan masyarakat yang ingin mengambil opsi yang lain juga tersedia."
Kebijakan tersebut menuai kritik dari beragam kalangan masyarakat. Ekonom senior Faisal Basri menilai pemerintah seharusnya melarang perusahaan pelat merah menjual vaksin di tengah keterbatasan pasokan. "Praktik jualan vaksin adalah tindakan biadab," tuturnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, mendesak pemerintah membatalkan vaksinasi berbayar untuk individu dan membatasinya hanya untuk badan usaha. "Vaksin berbayar itu tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas," ujarnya. Program ini juga bisa menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap kualitas vaksin gratis dari pemerintah.
Desakan untuk menghentikan program tersebut juga datang dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan, menuturkan pemerintah seharusnya mempercepat distribusi vaksin secara gratis kepada masyarakat. "Praktik bisnis yang mengambil keuntungan di tengah situasi keprihatinan saat ini sangat tidak manusiawi dan mencederai rasa keadilan masyarakat yang sedang berjuang hidup/mati melawan Covid-19," ujarnya.
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara, Arya Sinulingga, menuturkan keputusan menunda vaksinasi berbayar individu tak terlepas dari kritik-kritik tersebut. "Ini kan masih ribut-ribut terus, ya, mungkin pertimbangan mereka (Kimia Farma) sosialisasinya masih kurang," tutur dia.
Menteri BUMN Erick Thohir (kedua dari kanan) meninjau vaksinasi Gotong Royong di Sudirman Park Mall, Jakarta, 19 Mei 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Menteri BUMN Erick Thohir memastikan vaksinasi gotong royong ditujukan untuk mempercepat tercapainya kekebalan komunitas, dengan memberi opsi yang lebih luas kepada masyarakat. Dia mengatakan antivirus yang digunakan dalam program ini bukanlah vaksin yang sudah dialokasikan untuk program vaksinasi pemerintah. "Juga tidak menggunakan vaksin yang berasal dari sumbangan ataupun hibah dari kerja sama bilateral dan multilateral, seperti hibah dari UAE dan yang melalui GAVI/COVAX," katanya.
Pendanaan program ini juga diselenggarakan bukan dari duit negara. Tarif vaksinasi yang dipatok pun, menurut Erick, ditetapkan menggunakan kewajaran harga vaksinasi yang akan dikaji Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi selaku koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali, Menteri Kesehatan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Jaksa Agung, serta Ketua Badan Pemeriksa Keuangan juga telah digelar bersama Kementerian BUMN untuk membahas aturan lebih rinci perihal vaksinasi berbayar individu. Salah satunya penerima vaksin program ini.
"Semua penerima vaksinasi gotong royong individu harus dinaungi badan usaha atau lembaga tempat ia bekerja," tutur Erick. Data yang akan digunakan adalah data badan usaha atau lembaga yang telah terdaftar untuk vaksinasi gotong royong melalui Kadin serta divalidasi oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini akan dirinci lebih lanjut dalam sosialisasi vaksinasi gotong royong individu.
FRISKI RIANA | CAESAR AKBAR | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo