Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISTEM pajak elektronik yang digagas Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ternyata tak semulus bayangan semula. Sistem yang praktis dan gratis, tanpa pengganggaran khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, itu menemui kendala di lapangan.
Semula dengan sistem itu Dinas Pelayanan Pajak di Ibu Kota diharapkan dapat mengawasi dengan mudah transaksi di restoran, hotel, parkir, dan hiburan. Bagi wajib pajak, aturan ini tak kalah praktis. Setiap tanggal 15, rekening penampung omzet pengusaha akan dipotong 10 persen secara otomatis sebagai pajak pertambahan nilai tanpa repot-repot harus mengisi SPT.
Bank BRI digandeng sebagai mitra kerja Dinas Pajak, dengan menyediakan perangkat teknologi informasi yang dipasang di mesin kas wajib pajak yang terakses secara online dan real time dari Kantor Dinas Pajak di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat. Saat mempromosikan sistem yang diberi nama cash management ini, Jokowi menargetkan pada akhir tahun ini setidaknya 10.955 wajib pajak sudah menggunakannya. Mereka terdiri atas 580 hotel, 9.000 restoran, 375 tempat hiburan, dan 1.000 area parkir.
Namun, hingga semester pertama 2013, baru 20 persen wajib pajak yang bisa dipasangi perangkat sistem ini pada mesin kas mereka. "Ada kendala dalam penerapan," kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi, Kamis pekan lalu. Menurut Iwan, sejumlah wajib pajak masih belum paham benar maksud dan tujuan sistem ini. "Kadang mereka meminta kami untuk bertemu dengan bagian teknologi informasi, kemudian batal dan pertemuan tertunda. Ini yang bikin lama."
Metode pendekatan awal yang digunakan juga jadi soal. "Mulanya pendekatan lewat grup restoran dan mal," ujar Iwan. Ternyata cara ini kurang jitu. Belakangan pendekatan berbasis sistem komputerisasi justru lebih efisien. Itu sebabnya terjadi lonjakan penerapan sistem dalam tiga bulan terakhir. Dari 110 wajib pajak pada April lalu naik jadi 1.780 wajib pajak terhitung Juli ini. Kalau ditambahkan dengan 800 wajib pajak yang menggunakan sistem ini sejak tahun sebelumnya, kata Iwan, "Berarti sudah 2.500 wajib pajak yang online."
Arie Budhiman punya cerita lain. Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta itu, industri hotel dan restoran sempat ragu terhadap sistem ini. "Ada yang lapor, katanya yang datang bukan orang IT dari BRI, tapi marketing-nya. Mereka diminta buka rekening dulu di BRI," ujar Arie. Ada juga, kata dia, yang enggan menggunakan karena tak mau sistemnya diintervensi. "Takut sistem yang sudah terinstal terganggu," ucapnya.
Yang jelas, kata Arie, pihaknya akan meminta pelaku industri patuh dan mengikuti sistem. "Kalau mau register tahunan, saya minta dipasangi sistem online dulu. Kalau tak mau, izinnya bisa dicabut," ujarnya.
Sekretaris Korporat BRI Muhammad Ali mengatakan penerapan sistem pajak online tidak mengharuskan wajib pajak memiliki rekening BRI. "Pakai rekening bank mana pun bisa," kata Ali. Menurut dia, belum tercapainya target penerapan 6.000 wajib pajak pada kuartal pertama tahun ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi. "Pada dasarnya sistem ini menguntungkan semua pihak."
Bank memperoleh manfaat dari pengendapan dana yang potensinya mencapai Rp 20 triliun per tahun. Dinas Pajak dapat meminimalkan pertemuan antara wajib pajak dan petugas, kecuali ada indikasi pelanggaran berat. Wajib pajak juga tak perlu disibukkan oleh masalah teknis dalam mengurus pembayaran. Tapi, kata Basuki Tjahaja Purnama, ada saja kerikil yang jadi sandungan dalam prosesnya. "Banyak waralaba asing yang tak mau menggunakan sistem online, padahal mereka bisa. Kalau bandel, nanti saya cabut izin usahanya."
Amandra Mustika Megarani, Anggrita Desyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo