Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jatah Sandal dan Semir Sepatu

SPBU di lahan Markas Komando Paspampres melanggar aturan. Potensi kerugian negara mencapai Rp 15 miliar.

28 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang yang dipimpin hakim Robert Siahaan pada Selasa pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berlangsung kurang dari 15 menit. Robert memutuskan adanya mediasi lebih dulu untuk permohonan konsinyasi PT Dharma Distrindo Saranasejati. Kubu termohon, Primer Koperasi Pasukan Pengamanan Presiden (Primkop Paspampres), terpaksa batal membacakan jawaban perkara mereka.

Sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menjadi penyebab munculnya perkara ini. Pompa bensin itu berada di samping Markas Komando Paspampres, Jalan Tanah Abang II Nomor 6, Jakarta Pusat. Pada 1995, kedua pihak melakukan kerja sama pembangunan SPBU di lahan yang sekarang luasnya 5.001 meter persegi.

Perjanjian terakhir pada 1999, Dharma Distrindo Saranasejati berhak mengelola tanah itu menjadi SPBU plus bengkel, supermarket, kantor, dan toko. Sebagai imbalannya, Primkop Paspampres mendapat pemasukan rutin Rp 36 juta per bulan. Nilai imbalan tersebut naik Rp 31 juta dibanding perjanjian awal. Jangka waktu kerja sama diperpanjang dari 20 tahun menjadi 25 tahun atau sampai 2024.

Masalah mulai muncul ketika ada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang menunjuk Menteri Keuangan menjadi pengelola barang milik negara. Pengelolaan SPBU itu belum mendapat izin Menteri Keuangan. Ada pula hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2011 dan 2012, yang menemukan penyelewengan atas aset negara di tanah tersebut. Selain tidak berizin, tidak pernah ada setoran pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil aktivitas bisnis tersebut.

"Hampir 20 tahun mereka tidak pernah menyetor PNBP ke kas negara," kata Inspektur Paspampres Kolonel Adm Edi Wuryanto. Menurut dia, menurut perjanjian, seharusnya pengelola yang membayar segala pajak dan biaya yang muncul karena pengoperasian SPBU itu. Tapi perusahaan itu menolak. Alasannya, belum ada surat izin resmi dari Kementerian Keuangan tentang pemanfaatan aset negara itu. Padahal nilai PNBP-nya sejak 1995 hingga sekarang mencapai Rp 15 miliar.

Posisi Primkop Paspampres lumayan terdesak. Izin Menteri Keuangan belum mereka peroleh. Paspampres mengajukan permohonan ke Direktur Jenderal Kekayaan Negara pada 4 Juni lalu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2012 mengatakan, batas waktu pengajuan permohonan persetujuan barang milik negara di lingkungan TNI paling lambat 31 Agustus 2013. Sementara itu, ada surat telegram Panglima TNI pada 23 November 2011. Isinya, akan memperkarakan tindak pidana korupsi kepada komandan satuan kerja yang belum menyelesaikan pemanfaatan aset negara tanpa persetujuan Menteri Keuangan sampai batas waktu 31 Desember 2011.

Takut disangka melakukan korupsi, sejak Juni lalu Primkop Paspampres tidak mau lagi menerima uang Rp 36 juta dari pengelola SPBU. Edi mengatakan uang itu tidak pernah masuk ke kantong perorangan. "Uangnya dibagi rata untuk keperluan 3.800 anggota koperasi, seperti membeli sandal dan semir sepatu," katanya.

Dharma Distrindo Saranasejati tidak mau dianggap ingkar janji. Akhir Juni lalu, ia mengajukan penitipan uang melalui pengadilan (konsinyasi). Besarnya Rp 108 juta atau selama tiga bulan pembayaran, Juni-Agustus 2013.

Kuasa hukum Paspampres, Warsito Sanyoto, menilai pengelola SPBU telah lama menikmati banyak keuntungan. "Tidak bayar pajak, hanya kasih Rp 36 juta ke pemilik tanah," katanya. Padahal pendapatan perusahaan diperkirakan Rp 300 juta per bulan. Pemasukannya tidak hanya dari SPBU, tapi juga dari bisnis bengkel dan cuci ­mobil.

Beredar kabar bahwa Dharma Distrindo Saranasejati dekat dengan bekas petinggi TNI. Mantan Komandan Paspampres (1997-1998) Endriartono Sutarto disebut terlibat dalam proses perubahan perjanjian kerja sama itu. Seorang sumber menyebutkan perusahaan juga berkasus pada SPBU yang dikelolanya di lahan markas TNI Angkatan Udara di Pancoran, Jakarta Selatan.

Endriartono membantah tuduhan tersebut. "SPBU itu sudah ada sejak saya belum jadi Danpaspampres," ujarnya. "Sebelum atau sesudah era saya mungkin (terlibat), karena saya tidak tahu sama sekali." Pihak Dharma Distrindo Saranasejati irit bicara. "Kami juga ada pembayaran ke kas negara," Diding Taryadi, pengacara Dharma Distrindo, menjawab singkat.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus