PERS Indonesia rupanya juga mau turut "memanfaatkan" Jepang. Ada
pertemuan bilateral kedua, 8 dan 9 Agustus kemarin di Hotel
Horison Jakarta, antara PWI Pusat dan Nihon Shinbun Kyokai
(perhimpunan penerbit dan redaktur Jepang). "Kita manfaatkan
teknologi, keahlian dan dana mereka," kata Harmoko, ketua
pelaksana PWI Pusat, kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO.
Delegasi Jepang terdiri dari 9 orang: Takashi Hamada (Asahi
Shinbun), Hiroshi Hirano (Mainichi Shinbun), Yoshimasa Abe
(Yomiuri Shinbun), Kasunori Kuroki (Nihon Keizai Shinbun),
Kaisaku Watanabe (Kyodo News Service), Akio Sanaka (Jiji
Press), Toshio Takeuchi (Hokkaido Shinbun), Fumiyuku Ogata
(Minami Nihon Shinbun), dipimpin oleh Susumu Ejiri.
Pertemuan pertama diselenggarakan tahun lalu di Tokyo,
membicarakan pemberitaan Jepang dalam pers Indonesia dan
sebaliknya - termasuk perimbangan arus berita antara kedua
negara. Tapi pertemuan kedua kemarin rupanya oleh pihak
Indonesia 'diangkat' menjadi forum pers ASEAN-Jepang. Dengan
begitu, kata Harmoko, akan lebih meringankan posisi ASEAN.
Misalnya dalam hal pembelian kertas koran Jepang. "Pembelian
kertas oleh kelirna negara ASEAN secara bersamasama jauh lebih
murah ketimbang oleh masing-masing negara," kata Harmoko.
Pertemuan kedua kemarin memang lebih menekankan peranan
perusahaan pers Jepang dalam membantu pengembangan pers
Indonesia serta kerjasama bidang latihan dan pendidikan
wartawan.
Sejak awal pertemuan, Harmoko mengungkapkan jumlah iklan di sini
yang bersumber dari P3I (Persatuan Pengurus Periklanan
Indonesia). Dari jumlah iklan seluruhnya, 67,5% adalah iklan
yang mempromosikan produksi Jepang. Delegasi Jepang terkejut.
Mereka menganggapnya sebagai ketimpangan yang perlu diperbaiki.
Dengan mengungkapkan data tersebut, Harmoko berharap Jepang akan
lebih banyak membantu pers sini. Tapi jawaban Susumu Ijiri (69)
mengejutkan. "Tapi kami tidak mengurus iklan," katanya. Ia
memang mengakui perlunya mengurangi kesalahfahaman antara
Indonesia dan Jepang. "Tapi tidak denganuang semata-mata." Nah.
Dalam hal kerjasama pendidikan wartawan, Indonesia mengusulkan
dikirimnya Direktur Karya Latihan Wartawan PWI untuk studi
perbandingan di Jepang. Tapi menurut Ejiri, untuk menerima sang
direktur, NSK harus melihat dulu anggaran yang sudah ditetapkan
sampai Maret 1978. Di samping itu Jepang juga sudah punya proyek
kunjungan wartawan dengan Korea. Karena itu mungkin dananya akan
disiapkan untuk anggaran 1978/1979.
Yang tampaknya gol: pertemuan editor ASEAN. Masing-masing negara
ASEAN mengirim 2 wartawan senior yang berpengalaman lebih 5
tahun. Pertemuan direncanakan Januari tahun depan. Mula-mula
pihak Jepang mengusulkan bulan Oktober atau Nopember tahun ini.
Tapi PWI keberatan karena saat itu ada pertemuan dengan
daerah-daerah.
Waktu yang longgar bagi PWI ialah Januari. Jepang menerima usul
Indonesia, tapi mengingatkan bahwa pada bulan tersebut cuaca di
Jepang sangat dingin. Dengan cepat hal itu ditanggapi Sekjen PWI
Pusat Sunardi DM: cuaca dingin tidak jadi soal. Wah, seolall
yang akan menghadiri pertemuan editor ASEAN pengurus PWI.
Akhirnya disusunlah komunike. Tapi menurut Ejiri, komunike itu
terlalu panjang dan terlalu banyak yang diminta dari Jepang.
Meski begitu, Hiroshi Hirano (46) editor luarnegeri Mainichi
Shinbun, masih ada usul tambahan pada ayat yang menyangkut arus
berita. Tambahannya: "berusaha menjamin kegiatan wartawan asing
tetap bebas dan sehat."
Menurut Hirano, koresponden di negara-negara Asia kurang bebas
bergerak. "Umumnya negara-negara Asia terlalu ketat membatasi
pers," katanya. Ia banyak mendapat laporan dari korespondennya,
misalnya yang bertugas di Muangthai. Tentang Indonesia?
"Lumayan," katanya. "Tapi masih ada sesuatu." Apa? Ia tersenyum.
Bagi Indonesia, kerjasama dengan pers asing sebetulnya bukan
soal baru. LKBN Antara misalnya telah menjalin kerjasama dengan
kantor berita Inggeris, Reuter, bahkan sejak 1947. "Antara
mendapat berita seluruh dunia selama 24 jam, Reuter mendapat
berita tentang Indonesia selama 3 jam." kata Masjhud Sosrojudho,
Kepala Bagian Hubungan Internasional LKBN Antara ketika ditemui
DS Karma dari TEMPO.
Sampai 1972, kerjasama tersebut bersifat monopoli. Departemen
Penerangan menentukan: KB asing tak boleh menjual berita
langsung kepada koran Indonesia. Itulah sebabnya AP misalnya tak
bisa langsung beroperasi dan mewakilkannya kepada KNI (Kantor
berita Nasional Indonesia), tapi harus lewat Antara. Dulu,
sebuah suratkabar di Palu misalnya bisa langsung berlangganan KB
asing.
Masih dengan Reuter, Antara juga menjalin kerjasama dalam bentuk
lain, yaitu Reuter-Antara Economic Servfce alias RAES (TEMPO, 8
Maret 1975). Dulu kerjasama dalam pertukaran general news, yang
sekarang terbatas pada berita niaga. Menurut Moh. Chudhori
Kepala Bagian Pemasaran Antara, kerjasama serupa juga dilakukan
dengan AFP, UPI dan 20 KB asing lainnya.
Sebelum ada kerjasama itu dulu Reuter pegang monopoli penyiaran
berita di Indonesia -- diwakili oleh Aneta (KB Hindia Belanda)
yang berdiri tahun 1917. Zaman Jepang Aneta dilebur dengan
Antara (berdiri tahun 1937) menjadi KB Domei. Sesudah
Proklamasi, Antara dan Aneta kembali berdiri sendiri-sendiri.
Di zaman pendudukan Belanda Aneta kembali memegang perwakilan
Reuter. Lalu lantaran merasa berbeda kepentingan dengan Aneta -
terutama karena ketika itu wilayah RI terpecah-pecah, ada yang
dikuasai Belanda -- maka Antara lalu menjalin kerjasama senairi
dengan Reuter. Di situ ditentukan: Aneta menyiarkan berita
Reuter di daerah pendudukan Belanda, sedang Antara di daerah RI.
Sekedar riwayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini