Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bila kamu disakiti balaslah, ...

Salman ahmad, 29, menjadi lumpuh bagian dada ke bawah, gara gara tembakan salvo camat yang salah arah. camat itu tidak dituntut. salman sebagai penulis, penerjemah dan karyawan honorer rsup banda aceh.

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESUSASTRAAN Rusia banyak sekali mengenal pahlawan. Di antaranya dalam novel Kisah Manusia Sejati (Boris Palewoi), diceritakan seorang pilot yarlg masih aktif menjalankan tugas setelah kakinya dipotong. Semangat semacam ini, tak tersangka, terlepit pula di Meukek, kota kecamatan di Acch Selatan. Tanggal 9 Agustus 1966 datanglah hari naas bagi seorang muda yang ingin jadi politikus. Sebuah balai kesehatan sedang diresmikan. Sebuah proyek kemanusiaan. Tetapi tatkala Camat menghunus pistol untuk menembakkan salvo seekor setan muncul memberat di laras senjata itu. Arahnya horisontal -- sehingga waktu picunya dipetik, di samping terdengar bunyi dor, tergelimpang pula seorang anak 18 tahun yang berada hanya 2 meter dari senjata itu. Hampir Gila Salman Ahmad, si pemuda, memulai sejarah baru. Peluru telah menembus kerongkongannya - dan keluar melalui tulang belakang. Sumsum tulang di situ rusak, termasuk syaraf penggerak dan perasa. Batas dada ke bawah tak dapat ia gerakkan lagi. Dengan satu kata: ia lumpuh sudah. Maka rontok jugalah cita-cita Ketua KAPPI yang masih menuntut ilmu di bangku SMA Blang Pidie itu. "Saya sering pidato mengulas situasi kenegaraan waktu itu," katanya kepada TEMPO di Ruang I RSUP Banda Aceh. Ia sekarang bekerja di sini. Pemuda ini selama 2 tahun terkapar di pembaringan akibat peristiwa itu, dulu. Harapan sembuh samasekali tak ada. "Waktu itu saya hampir gila," katanya mengenang. Apalagi ayahnya sendiri kebetulan juga sedang keok - tak berdaya akibat tekanan darah tinggi. "Jadi mengurus dua orang lumpuh dalam versi berbeda bukan pekerjaan gampang toh," kata Salman. Hiburan satu-satunya bagi Salman adalah radio. Iapun mulai akrab dengan koran. Tak terduga, ini memberinya sebuah dunia yang lain. Dimulai dengan koran bekas, pembungkus belanja kakaknya, ia melepaskan mimpinya sebagai politikus. Lalu menoleh pada soal soal penulisan. Kakaknya memperhatikan pergeseran ini. Ia dibantu tidak saja dengan moril, juga dengan menumpuk segala jenis koran tak peduli usang atau lusuh di depan mata Salman. Koran berbahasa Indonesia ataupun Inggeris. Maklum Salman memang termasuk murid yang gila dengan bahasa itu. Sambil pegang buku Sistim 50 jam dan 90 jam karangan Sutan Sulaiman Salman mulai berjuang. Tak kurang dari 6 bulan ia banting diri di tempat tidur untuk menguasai alat komunikasi yang paling laris itu. Radio juga membantunya untuk maju. Tetapi yang paling besar adalah dorongan dari batinnya sendiri. Karena dengan siapa ia harus main bahasa di lepitan Meukek yang cukup udik itu, kalau tidak dengandiri sendiri? Salman maju. Ia memperoleh keasyikan. Ia mulai membebaskan dirinya dari kesepian dan rasa tidak berharga. Lumpuh itu tidak bisa ditolak. Tapi dia harus hidup. Kursi Roda Seorang kawannya membawa usul. Agar ia mencoba-coba menulis di salah sebuah mingguan di kota propinsi. Ini memberinya tonggak yang berarti. Dengan menyebut alhamdulillah, tulisannya yang pertama -- yang disangkanya sama sekali tak punya bobot - muncul di mingguan Kappi Beriuang. Salman mulai gembira. Lewat berbagai media di Banda Aceh ia menumpahkan penderitaannya dengan menulis cerita pendek. "Walau tak pernah menerima honor sebagai imbalan, saya senang dengan pekerjaan itu," katanya. Tatkala ayahnya meninggal (1968) Salman oleh kakaknya diboyong ke RSUP Banda Aceh. Dokter yang merawatnya kontak dengan RSC Solo. Jawaban duka datang: "Kadar kelumpuhan terlalu tinggi." Tapi Salman tak kecewa. Apa lagi ada anjuran dari Rumah Sakit Banda Aceh supaya ia diberi latihan kejuruan dan pekerjaan. Dokter telah berbaik pula meminjami kursi roda Rumah Sakit Tentara. Meskipun tanpa kaki, Salman mampu lagi menggelinding melihat kehidupan. Kursi itu bagai tenaga, semangat dan juga inspirasi. Kreativitas Salman maju, ia terus menulis. Sisa waktunya ia bunuh dengan bekerja di poliklinik bedah di bagian kasir dan pembuatan statistik. Honorarium bulan pertama yang diterimanya: Rp 25 (harap diingat situasi uang saat itu). "Saya malu menerima, sebab yang memberi juga tersipu mengulurkam Maklum hanya sebungkus rokok," kata Salman. Untung ada bantuan yang menunjang. Ia dapat fasilitas kamar, (Jbat-obatan dan segala tetek bengek untuk menyambung hidup. Yang menjadi fikirannya adalah: ia tidak ditetapkan sebagai pegawai tetap. Padahal keintimannya dengan para karyawan sudah bikin ia hetah. Jua seoran dokter telah mau memberikan surat kir yang dapat membenarkan kalau Salman diangkat sebagai pegawai. Sampai sekarang, dengan horlor Rp 6.000 sebulan tambah berbagai fasilitas, dialah satu-satunya makhluk di RSUP itu yang berstatus honorer. Tahun 1972, sebuah tulisannya muncul di harian Indonesia Raya dengan judul: Surat Dari Banda Aceh - Peluru Pnguasa Memusnahkan Masa Depanku. Tulisan ini membuat PT Tunggal yang berkedudukan di Jakarta bersimpati. Lewat harian itu, Salman diberi hadiah sebuah kursi roda. Ia seakan lambang dari sesuatu yang tertindas. Harian itu memberi tempat istimewa. Cerpen-cerpen Salman yang lebih berbobot mulai lahir. Tulisannya berkembang biak, masuk berbagai media. Tak puas dengan menulis cerita, ia juga menterjemahkan karya-karya Alfred Hitchcok, Agatha Christie dan Guy de Maupasant -- betapapun ia tidak begitu menyukainya. Karena demikianlah selera majalah-majalah yang sanggup membayar satu cerpen terjemahan Rp 4.500. Salman sesungguhnya lebih memuja Hemingway. Apa boleh buat. Jangankan cerpen, surat-surat dari CIP (yayasan luar negeri yang mengurus anak-anak di negara berkembang) juga ia sabet untuk diterjemahkan. Kincir Emas Karena tak bisa banyak bergerak, Salman menderita decubitus parah. Ini semacam kelumpuhan yang termasuk kategori plegia atrimutus inferior dengan kondisi incontenentia alvi ateveri (beser berak dan kencing). Tapi Salman tetap optimis untuk meneruskan hidup. Ia berjuang. Tauf1q Ismail, penyair yang jadi Rektor LPKJ, termasuk banyak membantunya d,engan bacaan sastra. Ini banyak hasilnya. Tahun 1975 Salman bikin cerpen untuk ikut sayembara 'Kincir Emas' dari Radio Nederland. Tidak sia-sia, meskipun hanya dapat tanda penghargaan yang kini dipasang dengan bingkai di tempat tidurnya. Kebanggaan yang lumayan. Dalam barisan saingannya terdapat juga misalnya A.A. Navis dan Ramadhan K.H. Padahal tadinya ia mengharapkan bisa dimasukkan ke dalam kumpulan cerpen pemenang yang kemudian bernama Dari Jodoh Sampai Supiyah. Seorang jaksa, keponakannya sendiri, pernah ingin mencoba mengurus perhitungannya dengan camat yang sudah membuat ia hidup di atas roda itu. Salman menolak. "Saya banyak belajar Tafsir dan buku-buku agama lainnya karya Syaltout, Hamka dan Hasbi," kata Salman. Dia mengutip satu ayat Qur'an yang artinya: "Bila kamu disakiti maka balaslah, tapi lebih baik bagimu bila kamu memaafkannya. Itu kalau kamu mengerti." Ayat itu rupanya menjadi mottonya sampai sekarang. Atas dasar itu ia tidak pernah mengutik-utik lagi kasus pistol tersebut. "Saya mengerti, saya tahu," katanya dengan terharu. Tak tahu apa sebenarnya yang ada dalam hatinya. Anak ini pada dasarnya menolak sifat memelas. Meskipun mengherankan kenapa Camat tersebut tak pernah memberi bantuan. Menjenguk pun tidak. Setiap Sabtu sore dan Minggu pagi, bila anda di Banda Aceh, anda masih selalu bisa melihatnya. Didorong oleh seorang perawat ia berkeliling kota. Masih tetap senang sastra dan musik klasik. Rajin sembahyang di kursi roda itu juga. Bulan kemarin Gubernur Aceh Muzzakir Walad sempat menjenguknya. Ia bikin potret bersama Salman. Lalu memberi salam tempel dengan duit Rp 5.000. Bagi Salman, yang bagai pahlawan dalam novel Rusia, itu sudah satu kegembiraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus