KESUSASTRAAN Rusia banyak sekali mengenal pahlawan. Di antaranya
dalam novel Kisah Manusia Sejati (Boris Palewoi), diceritakan
seorang pilot yarlg masih aktif menjalankan tugas setelah
kakinya dipotong. Semangat semacam ini, tak tersangka, terlepit
pula di Meukek, kota kecamatan di Acch Selatan.
Tanggal 9 Agustus 1966 datanglah hari naas bagi seorang muda
yang ingin jadi politikus. Sebuah balai kesehatan sedang
diresmikan. Sebuah proyek kemanusiaan. Tetapi tatkala Camat
menghunus pistol untuk menembakkan salvo seekor setan muncul
memberat di laras senjata itu. Arahnya horisontal -- sehingga
waktu picunya dipetik, di samping terdengar bunyi dor,
tergelimpang pula seorang anak 18 tahun yang berada hanya 2
meter dari senjata itu.
Hampir Gila
Salman Ahmad, si pemuda, memulai sejarah baru. Peluru telah
menembus kerongkongannya - dan keluar melalui tulang belakang.
Sumsum tulang di situ rusak, termasuk syaraf penggerak dan
perasa. Batas dada ke bawah tak dapat ia gerakkan lagi. Dengan
satu kata: ia lumpuh sudah. Maka rontok jugalah cita-cita Ketua
KAPPI yang masih menuntut ilmu di bangku SMA Blang Pidie itu.
"Saya sering pidato mengulas situasi kenegaraan waktu itu,"
katanya kepada TEMPO di Ruang I RSUP Banda Aceh. Ia sekarang
bekerja di sini. Pemuda ini selama 2 tahun terkapar di
pembaringan akibat peristiwa itu, dulu. Harapan sembuh
samasekali tak ada. "Waktu itu saya hampir gila," katanya
mengenang. Apalagi ayahnya sendiri kebetulan juga sedang keok -
tak berdaya akibat tekanan darah tinggi. "Jadi mengurus dua
orang lumpuh dalam versi berbeda bukan pekerjaan gampang toh,"
kata Salman.
Hiburan satu-satunya bagi Salman adalah radio. Iapun mulai akrab
dengan koran. Tak terduga, ini memberinya sebuah dunia yang
lain. Dimulai dengan koran bekas, pembungkus belanja kakaknya,
ia melepaskan mimpinya sebagai politikus. Lalu menoleh pada soal
soal penulisan. Kakaknya memperhatikan pergeseran ini. Ia
dibantu tidak saja dengan moril, juga dengan menumpuk segala
jenis koran tak peduli usang atau lusuh di depan mata Salman.
Koran berbahasa Indonesia ataupun Inggeris. Maklum Salman memang
termasuk murid yang gila dengan bahasa itu.
Sambil pegang buku Sistim 50 jam dan 90 jam karangan Sutan
Sulaiman Salman mulai berjuang. Tak kurang dari 6 bulan ia
banting diri di tempat tidur untuk menguasai alat komunikasi
yang paling laris itu. Radio juga membantunya untuk maju. Tetapi
yang paling besar adalah dorongan dari batinnya sendiri. Karena
dengan siapa ia harus main bahasa di lepitan Meukek yang cukup
udik itu, kalau tidak dengandiri sendiri? Salman maju. Ia
memperoleh keasyikan. Ia mulai membebaskan dirinya dari kesepian
dan rasa tidak berharga. Lumpuh itu tidak bisa ditolak. Tapi dia
harus hidup.
Kursi Roda
Seorang kawannya membawa usul. Agar ia mencoba-coba menulis di
salah sebuah mingguan di kota propinsi. Ini memberinya tonggak
yang berarti. Dengan menyebut alhamdulillah, tulisannya yang
pertama -- yang disangkanya sama sekali tak punya bobot - muncul
di mingguan Kappi Beriuang. Salman mulai gembira. Lewat berbagai
media di Banda Aceh ia menumpahkan penderitaannya dengan menulis
cerita pendek. "Walau tak pernah menerima honor sebagai imbalan,
saya senang dengan pekerjaan itu," katanya.
Tatkala ayahnya meninggal (1968) Salman oleh kakaknya diboyong
ke RSUP Banda Aceh. Dokter yang merawatnya kontak dengan RSC
Solo. Jawaban duka datang: "Kadar kelumpuhan terlalu tinggi."
Tapi Salman tak kecewa. Apa lagi ada anjuran dari Rumah Sakit
Banda Aceh supaya ia diberi latihan kejuruan dan pekerjaan.
Dokter telah berbaik pula meminjami kursi roda Rumah Sakit
Tentara. Meskipun tanpa kaki, Salman mampu lagi menggelinding
melihat kehidupan.
Kursi itu bagai tenaga, semangat dan juga inspirasi. Kreativitas
Salman maju, ia terus menulis. Sisa waktunya ia bunuh dengan
bekerja di poliklinik bedah di bagian kasir dan pembuatan
statistik. Honorarium bulan pertama yang diterimanya: Rp 25
(harap diingat situasi uang saat itu). "Saya malu menerima,
sebab yang memberi juga tersipu mengulurkam Maklum hanya
sebungkus rokok," kata Salman.
Untung ada bantuan yang menunjang. Ia dapat fasilitas kamar,
(Jbat-obatan dan segala tetek bengek untuk menyambung hidup.
Yang menjadi fikirannya adalah: ia tidak ditetapkan sebagai
pegawai tetap. Padahal keintimannya dengan para karyawan sudah
bikin ia hetah. Jua seoran dokter telah mau memberikan surat
kir yang dapat membenarkan kalau Salman diangkat sebagai
pegawai. Sampai sekarang, dengan horlor Rp 6.000 sebulan tambah
berbagai fasilitas, dialah satu-satunya makhluk di RSUP itu yang
berstatus honorer.
Tahun 1972, sebuah tulisannya muncul di harian Indonesia Raya
dengan judul: Surat Dari Banda Aceh - Peluru Pnguasa
Memusnahkan Masa Depanku. Tulisan ini membuat PT Tunggal yang
berkedudukan di Jakarta bersimpati. Lewat harian itu, Salman
diberi hadiah sebuah kursi roda. Ia seakan lambang dari sesuatu
yang tertindas. Harian itu memberi tempat istimewa.
Cerpen-cerpen Salman yang lebih berbobot mulai lahir.
Tulisannya berkembang biak, masuk berbagai media. Tak puas
dengan menulis cerita, ia juga menterjemahkan karya-karya Alfred
Hitchcok, Agatha Christie dan Guy de Maupasant -- betapapun ia
tidak begitu menyukainya. Karena demikianlah selera
majalah-majalah yang sanggup membayar satu cerpen terjemahan Rp
4.500. Salman sesungguhnya lebih memuja Hemingway. Apa boleh
buat. Jangankan cerpen, surat-surat dari CIP (yayasan luar
negeri yang mengurus anak-anak di negara berkembang) juga ia
sabet untuk diterjemahkan.
Kincir Emas
Karena tak bisa banyak bergerak, Salman menderita decubitus
parah. Ini semacam kelumpuhan yang termasuk kategori plegia
atrimutus inferior dengan kondisi incontenentia alvi ateveri
(beser berak dan kencing). Tapi Salman tetap optimis untuk
meneruskan hidup. Ia berjuang. Tauf1q Ismail, penyair yang jadi
Rektor LPKJ, termasuk banyak membantunya d,engan bacaan sastra.
Ini banyak hasilnya.
Tahun 1975 Salman bikin cerpen untuk ikut sayembara 'Kincir
Emas' dari Radio Nederland. Tidak sia-sia, meskipun hanya dapat
tanda penghargaan yang kini dipasang dengan bingkai di tempat
tidurnya. Kebanggaan yang lumayan. Dalam barisan saingannya
terdapat juga misalnya A.A. Navis dan Ramadhan K.H. Padahal
tadinya ia mengharapkan bisa dimasukkan ke dalam kumpulan cerpen
pemenang yang kemudian bernama Dari Jodoh Sampai Supiyah.
Seorang jaksa, keponakannya sendiri, pernah ingin mencoba
mengurus perhitungannya dengan camat yang sudah membuat ia hidup
di atas roda itu. Salman menolak. "Saya banyak belajar Tafsir
dan buku-buku agama lainnya karya Syaltout, Hamka dan Hasbi,"
kata Salman. Dia mengutip satu ayat Qur'an yang artinya: "Bila
kamu disakiti maka balaslah, tapi lebih baik bagimu bila kamu
memaafkannya. Itu kalau kamu mengerti."
Ayat itu rupanya menjadi mottonya sampai sekarang. Atas dasar
itu ia tidak pernah mengutik-utik lagi kasus pistol tersebut.
"Saya mengerti, saya tahu," katanya dengan terharu. Tak tahu apa
sebenarnya yang ada dalam hatinya. Anak ini pada dasarnya
menolak sifat memelas. Meskipun mengherankan kenapa Camat
tersebut tak pernah memberi bantuan. Menjenguk pun tidak.
Setiap Sabtu sore dan Minggu pagi, bila anda di Banda Aceh, anda
masih selalu bisa melihatnya. Didorong oleh seorang perawat ia
berkeliling kota. Masih tetap senang sastra dan musik klasik.
Rajin sembahyang di kursi roda itu juga. Bulan kemarin Gubernur
Aceh Muzzakir Walad sempat menjenguknya. Ia bikin potret bersama
Salman. Lalu memberi salam tempel dengan duit Rp 5.000. Bagi
Salman, yang bagai pahlawan dalam novel Rusia, itu sudah satu
kegembiraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini