Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tuan tanah

Uu pokok agraria tercetus tgl 24 sep 1960 membatasi pemilikan tanah cuma 5 ha. banyak orang bekerja sama dengan pejabat membuat sertifikat tanah diatas namakan orang lain. mereka tuan tanah pancasilais.

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI bapak Sampurno, semua perbuatan orla itu buruk, tapi yang terburuk adalah UU Pokok Agrarianya. Ini betul-betul perbuatan setan yang dapat dilihat mata. Bagaimana mungkin ada perundang-undangan yang membatasi hak milik atas tanah, padahal Belanda yang kolonial sekalipun tidak berbuat segila itu? Membela kaum Tani? Omong kosong. Dia sendiri merasa Tani juga, biar pun tidak pernah turun ke sawah seumur hidupnya. Bukankah Tani itu, seperti juga batu-batuan ada jamrud ada kerikil, ada Tani penggarap ada Tani pemilik, yang hanya berhubungan dengan padi apabila panen lewat laporan pabrik penggiling. Perbedaan ini berdasar pembagian jalur rezeki yang tunduk pada ketentuan gaib yang tidak bisa dicampuri manusia. Inilah yang disebut nasib. Apabila ada perundang-undangan yang coba-coba mengobrak-abrik pengotakannya, dia mesti ditolak. Tapi, karena bapak Sampurno bukanlah orang bodoh, dia tahu bahwa menolak peraturan perundangan itu suatu perbuatan seni. Caranya macam-macam. Bukankah perawan zaman bahari menolak pinangan bukan dengan kata-kata, atau surat lewat pos, melainkan cukup pergi ke dapur, mengambil seutas tali, dan menggantung batang lehernya di pinggir sumur? Maka dari itu, cara menolak yang dipilih bapak Sampurno adalah mengembangkan semaksimal mungkin bakat manipulatornya, yang tampaknya terbawa lahir dari perut ibunya. Bakat itu, apabila dijabarkan, sebetulnya sederhana saja: menggunakan sedikit akal, meramunya dengan kerakusan individuil, seraya tak henti-hentinya bermanis muka di depan Pemerintah kita mengentuti peraturan-peraturannya. Pemerintah itu, menurut penelitian seksama bapak Sampurno, bagaikan seorang separo umur yang mesti dihormat, betapa pun orang membelot di belakang punggungnya. Itulah akhlak berwarganegara. Syahdan tatkala UU Pokok Agraria itu lahir tanggal 24 September i960, tatkala orang menyambutnya sebagai langkah pembaharuan hukum agraria, tatkala orang menganggapnya sebagai usaha penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah, tatkala penduduk melihatnya sebagai pengakhiran penghapusan feodalisme secara berangsur-angsur, tatkala kaum Tani kecil bersorak-sorak menyaksikan adanya perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah, dan tatkala tanggal 24 September itu diresmikan sebagai "Hari Tani", bapak Sampurno sedang repot dengan urusannya sendiri. Jauh di Mata . . . Betapa takkan repot! Di pulau Jawa yang begitu padat, nyaris tiap pantat bersinggungan sesamanya, bapak Sampurno memiliki tidak kurang dari 200 Ha tanah. Padahal, UU membatasinya cuma 5 Ha. Apa akal? Bapak Sampurno bekerja keras "menghibah"kan tanahnya 4 Ha seorang kepada anak kemenakan, menantu serta besan, lewat akte yang dibubuhi tanggal mundur, sebelum 24 September 1960. Bagaimana mungkin? Bukankah akte itu diketahui pqabat? Tentu saja. Akte yang tidak diketahui pejabat harganya lebih buruk dari koran bekas. Dan tentu saja, bapak Sampurno sudah menguasai adat-istiadat menyelesaikan kemelut seperti itu. Sedangkan terhadap tanah-tanah yang tergolong absentee owner ship, dia pun bisa mengatasinya tanpa hirukpikuk. Biar tanah-tanah itu jauh di mata, tapi dekat di hati. Sekarang, biarpun UU Pokok Agraria itu formil masih berlaku, tapi boleh dibilang seperti tidak ada saja. Paling-paling dia diperbincangkan orang di seminar atau lokakarya, seperti Lokakarya "Masalah Pemukiman" yang diselenggarakan oleh Dirjen Cipta Karya itu, kemudian hilang menguap. Bahkan, seringkali terasa orang enggan menyebut-nyebutnya kembali, khawatir disangka orla, atau kalau awak lagi apes, dianggap berindikasi. Sedangkan DPR sebagai lembaga pembikin UU dan pengawasnya acuh tak acuh, mengapa pula orang biasa repot-repot mempersoalkannya? Toh kaum Tani sekarang sudah baik-baik, tidak banyak tingkah, punya sepotong tanah syukur, tidak punya ya bertransmigrasi. Akan halnya tokoh cerita kita bapak Sampurno, rasa tertekannya sudah sirna sesirna-sirnanya. Sekarang dia tidak merasa perlu munafik lagi, main hibah pura-pura atau main selingkuh terhadap hak miliknya sendiri, melainkan segala sesuatu, entah beli atau jual tanah, dilakukan berterang-terang. Semua akte, semua keterangan pemilikan, tersusun dengan nama jelas, dan dalam bahasa Indonesia yang bisa difaham tiap orang. Tidak peduli berapa luas tanah kepunyaannya, tidak peduli di mana letak tanah itu, segalanya tercantum sebaRaimana adanya. Landreform, absentee ownership, itu sudah bukan persoalan. Yang penting sekarang ini adalah apa yang disebut serikat. Barangsiapa sudah pegang sertifikat tanah, kedudukannya kokoh seperti dewa. Dan apabila dia masuk ke Bank, dia akan disambut seperti seorang paman yang baik hati. Hambatan satu-satunya adalah kalau ada sertifkat dobel. Ini baru celaka. Ikhlas Perlu ditegaskan di sini, supaya jangan salah sangka, bapak Samprno itu tak ubahnya seperti manusia biasa, yaitu perasa. Dia tidak bisa tidur, bahkan sesak nafas, bilamana orang memanggilnya "tuantanah". Panggilan itu bernada sindiran. Dia cinta Tanah air, khususnya tanah, tapi "tuantanah" adalah lain samasekali. Berhubung nyatanya memang dia tuantanah, maka orang-orang sekeliling mencari akal bagaimana caranya supaya ada sebutan yang tidak menyinggungnya. Bagaimana kalau "tuantanah Pancasilais"? Kedengarannya serasi dan persis sasarannya. Bapak Sampurno pun menerima dengan hati ihlas. Sebab, meskipun dia punya rumah yang pekarangannya 1 Ha, karena itu pagarnya diberi strom listrik, dan tanahnya di tepi kota dan di pedalaman beratus Ha, toh bapak Sampurno tidak merasa merugikan siapapun, bahkan semut pun tidak. Kaum Tani yang tak bertanah, daripada narik beca atau gelandangan, boleh menggarap tanahnya, asal tunduk pada perjanjian bagi-hasil yang progresif, artinya bisa berubah-ubah menurut keadaan. Mereka yang berhasrat naik haji dan mau jual murah sawahnya, boleh lekas-lekas berhubungan dengan bapak Sampurno, tanggung beres. Kesempatan serupa juga terbuka buat orang-orang yang perlu uang mendadak, misalnya untuk pesta kawin atau sunatan. Pahala dapat, untung apalagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus