Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPAKSALAH Rizal Mallarangeng menginap dua malam di rumah sakit, pekan lalu. Dokter menghadiahinya dua cincin di pembuluh darah jantungnya, gara-gara mengalami penyumbatan hingga 80 persen. "Jika tak sengaja diperiksa, saya mungkin sudah tidak bertemu Anda," kata juru bicara tim perunding pemerintah dengan ExxonMobil itu, tergelak.
Toh, sekeluarnya dari rumah sakit, doktor ilmu politik ekonomi lulusan Universitas Ohio, Amerika Serikat, itu tetap saja bergegas kembali mengikuti rapat di kantor pusat PT Pertamina hingga petang hari, Jumat pekan lalu. Tim ini sedang membahas poin-poin terakhir perundingan perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur.
Perundingan mengenai masa depan Cepublok dengan cadangan minyak dan gas raksasamungkin telah memacu jantung berbagai pihak kian kencang selama dua bulan terakhir. Pembicaraan demi pembicaraan dilakukan maraton setiap hari, sejak tim perunding gabungan Pertamina dan pemerintah bekerja pada 20 April lalu.
Jangan bayangkan rapat berlangsung di hotel berbintang dengan camilan lezat. "Rapat diadakan di Pertamina," kata Rizal. "Dan hanya disuguhi pisang rebus, jagung rebus, dan kacang rebus." Meski disuguhi makanan sehat rendah lemak, bercangkir-cangkir kopi dengan kafein pekat serta berpuluh bungkus rokok jadi kawan setia.
Hingga pekan lalu, kerja keras tim perunding, yang meliputi berbagai elementermasuk Pertaminamembuahkan kemajuan berarti. Pada pertengahan pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan persetujuannya atas pola bagi hasil dan porsi (participating interest) dalam pengelolaan Blok Cepu.
Menurut Umar Said, anggota tim perunding, Presiden menyetujui porsi 45 persen bagi Pertamina, 45 persen bagi ExxonMobil, dan 10 persen untuk Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. "Itu sesuai dengan undang-undang," katanya kepada Tempo. Ketiganya akan bergabung dalam satu perusahaan patungan baru, sebagai kontraktor Cepu.
Presiden juga menyetujui pola bagi hasil (production sharing contract/PSC), yang disepakati dalam negosiasi. Kontrak ini akan menggantikan kontrak bantuan teknis (technical assistance contract/ TAC) yang sekarang berlaku di Cepu.
Lazimnya, pembagian dalam kontrak bagi hasil adalah 85 persen pemerintah, 15 persen bagi kontraktor minyak. Namun, khusus untuk Cepu, kata Rizal, pola itu akan disesuaikan mengikuti harga minyak mentah dunia. Pola ini dikenal sebagai kombinasi bagi hasil (adjusted split). "Semakin tinggi harga minyak, pendapatan pemerintah semakin besar," kata juru bicara tim perunding itu.
Pendapatan tertinggi akan diperoleh pemerintah, mengikuti pola 85:15, jika harga minyak dunia masih bertengger di kisaran dewasa inidi atas US$ 45 per barel. Sebaliknya, jika harga minyak anjlok, misalnya kembali ke level di bawah US$ 30 per barel, pendapatan pemerintah dijamin tak kan berkurang drastis.
Lantas, bagaimana pendapatan bagi kontraktor Cepu? Rizal mengatakan, kontraktor tidak akan dirugikan karena semakin rendah harga minyak, bagian mereka justru akan naik. Bahkan pada level harga terendah, baik ExxonMobil maupun Pertamina masih bisa bernapas lega. "Mereka masing-masing bisa mendapat bagian sekitar 13,5 persen."
Dibandingkan dengan pelbagai perundingan yang bergulir sejak empat tahun lalu, kesepakatan awal mengenai bagi hasil dicapai dalam waktu tergolong singkat. Namun sesungguhnya tak mudah proses yang dilalui.
Dari 11 pokok bahasan yang diagendakan, pola bagi hasil dan porsi pengelolaan Blok Cepu merupakan topik yang mendominasi negosiasi dalam dua bulan terakhir ini. Selama bertahun-tahun pun, kedua hal itulah momok paling menentukan nasib perundingan.
Awalnya, Pertamina mengajukan tuntutan sangat tinggi. Wajar, karena menurut Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, semua wilayah kontrak TAC adalah wilayah kerja Pertamina. Jika kontrak ExxonMobil di Blok Cepu berakhir pada 2010, wilayah itu akan dikembalikan ke perusahaan minyak pelat merah itu.
Pada Agustus tahun lalu, Pertamina sempat menghentikan proses negosiasi dan menyatakan akan mengelola sendiri wilayah itu setelah kontrak ExxonMobil habis. Tapi, sebagai satu-satunya pemilik saham, pemerintah Yudhoyono akhirnya menitahkan Pertamina berunding kembali pada Februari lalu.
Kembali ke meja perundingan, Pertamina meminta porsi bagi hasil ala TAC, yakni 60 persen untuk pemerintah dan 40 persen bagi Pertamina. ExxonMobil mengikuti pola 85:15. Perusahaan negara itu juga akan menjadi operator dengan porsi pengelolaan 70 persen, dan sisanya milik ExxonMobil.
Hak penjualan minyak juga berada di tangan Pertamina demi mengamankan suplai minyak dalam negeri. Tapi ExxonMobil diharuskan menanggung seluruh biaya investasi, sekitar US$ 1,6 miliar.
Tuntutan itu langsung ditampik ExxonMobil. Perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu semula menginginkan bagi hasil seperti yang sempat disepakati dalam head of agreement dengan dewan direksi Pertaminaketika masih dipimpin Ariffi Nawawipada Juni tahun lalu, yakni sama rata dari 40 persen bagian Pertamina.
Alhasil, perundingan macet ketika membicarakan pola bagi hasil saja. Anggota tim perunding di luar Pertamina membaca gelagat kurang menguntungkan. Mereka menyarankan, perundingan harus bisa memberi keputusan adil bagi semua pihak, dari kaca mata bisnis. Tuntutan Pertamina itu dinilai terlalu berat sebelah.
Akhirnya, rapat internal tim memutuskan untuk mengikuti pola kontrak bagi hasil, meninggalkan pola TAC. "Skema ini jauh lebih sederhana," kata Umar Said. ExxonMobil menyambut positif usul ini, dan perundingan akhirnya bisa bergulir setapak demi setapak.
Pada saat itulah Pertamina sempat bersuara keras ketika rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi DPR, dua pekan lalu. Direktur Utama Widya Purnama mengatakan, dia tak kan sudi membubuhkan tanda tangan jika perundingan merugikan negara. "Saya rela dipecat," katanya. Segala kerja sama dengan Pertamina, katanya, harus menguntungkan Pertamina, negara, dan investor.
Umar Said berpendapat lain. Menurut dia, sejauh ini negara tidak dirugikan karena memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pola TAC pada kontrak-kontrak sebelumnya. Pertamina, ExxonMobil, dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga akan berbagi keuntungan, biaya investasi, dan operasi. Jadi, "Risiko ditanggung bersama."
Lantas, mengapa pola kombinasi bagi hasil (adjusted split) yang dipilih? Rizal mengakui, pola ini tergolong baru dalam sejarah kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi di Indonesia. Selama lebih dari 20 tahun, kontrak bagi hasil minyak Indonesia hanya menggunakan pola baku 85:15.
Sebetulnya kontrak bagi hasil ala Indonesia tergolong bagus dan diadopsi berbagai negara. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, kata Rizal, investor menilik pola ini tak lagi seksi. Pola ini mengalami modifikasi di berbagai belahan dunia, sehingga akhirnya muncul pola kombinasi bagi hasil, yang kini makin marak di beberapa negara.
Jika diterapkan di Indonesia, diharapkan pola ini memberikan sinyal positif bagi investor lainnya bahwa iklim investasi kian membaik. Nyatanya, kata Rizal, ExxonMobil juga menggunakan pola ini di berbagai negara. Makanya, pola kombinasi ini sempat diajukan perusahaan itu.
Perdebatan alot justru terjadi di kalangan tim perunding gabungan. Masing-masing memiliki pendapat berbeda. Penyebabnya, baik praktisi perminyakan maupun pembuat kebijakan di Indonesia belum mengenal pola itu. Apalagi pola itu dikhawatirkan bakal mengurangi pendapatan negara atau terlalu menguntungkan investor.
Perdebatan itu kemudian menghasilkan kesimpulan yang sama: dalam perhitungan di atas kertas, terbukti pola ini tak merugikan negara. Satu per satu anggota tim mendukung pola itu, hingga kemudian direstui Presiden.
Tak dapat dimungkiri, potensi minyak dan gas bumi di Blok Cepu memang menggiurkan. Ketika Humpuss Patragas masih menjadi operator di wilayah ini, tim yang dipimpin ahli geologi R.P. Koesoemadinata telah mendeteksinya. "Hasil survei seismik serta penentuan lokasi pengeboran sudah ada sejak sebelum 1995," katanya kepada Tempo.
Dalam laporan Humpuss ke Pertamina, pada 1995, tercatat total potensi minyak di kedalaman lebih dari 2.000 meter (prospek dalam/deep prospect) mencapai 11 miliar barel minyak dan 63 triliun kaki kubik gas. Potensi ini tersebar di 29 titik, di antaranya Banyu Urip, Cendana, dan Jambaran.
Selain temuan prospek dalam, juga ditemukan potensi di kedalaman kurang dari 2.000 meter (prospek dangkal/shallow prospect). Potensinya diperkirakan 1,1 miliar barel minyak, yang tersebar di 20 titik. Sayangnya, potensi ini tak sempat dibuktikan selama era Humpuss Patragas.
Belakangan, setelah ExxonMobil mengambil alih seluruh saham Humpuss, barulah ditemukan cadangan minyak pada 2001. Di antaranya, 250 juta barel minyak di Banyu Urip, yang semula diperkirakan potensinya mencapai 2,6 miliar barel. Menurut sumber Tempo, total cadangan minyak di Blok Cepu bisa mencapai 600 juta barel.
Jika kontraknya diperpanjang tahun ini, ExxonMobil menargetkan produksi minyak dari wilayah itu bisa mencapai sekitar 170 ribu barel per hari, mulai 2008. Tapi para ahli geologi memperkirakan, produksi baru mencapai 20-40 ribu barel per hari pada tahun pertama. Sumber Tempo mengatakan, puncak produksi baru bisa dicapai pada 2009.
Rizal mengatakan, negara setidaknya akan meraup pendapatan sekitar Rp 15-20 triliun per tahun dari perpanjangan itu, tergantung harga minyak mentah dunia. Pertamina akan memperoleh Rp 2 triliun hingga Rp 3 triliun setiap tahun. Keuntungan lain, perusahaan negara itu juga akan memperoleh kompensasi US$ 400 juta dari ExxonMobil.
"Sekitar US$ 70 juta akan dibayarkan tunai begitu perpanjangan kontrak ditandatangani," katanya. "Sisanya dicicil selama tiga tahun." ExxonMobil juga setuju dengan pembayaran kembali biaya investasi (cost and recovery) sesuai dengan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menilik kemajuan yang telah dicapai, Rizal optimistis, pembahasan akan memakan waktu tak terlalu lama lagi. Tapi Umar Said lebih berhati-hati. "Kalau tergesa-gesa, nanti malah salah baca," katanya.
ExxonMobil telah mengajukan seluruh item yang diinginkannya, termasuk kesepakatan awal tadi. Tapi, hingga saat ini, pembicaraan setiap item di pihak Indonesia masih bolak-balik. "Belum deal, kok," kata Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie.
Ahli perminyakan Kurtubi berpendapat, jalan keluar yang nasionalistis-pragmatis sudah tak bisa ditunda lagi. Negara membutuhkan pemasukan untuk mendongkrak defisit anggaran. Apalagi produksi dalam negeri terus menuju titik nadir, bahkan sudah dua tahun terakhir gagal mencapai target.
Dengan produksi hanya sekitar 900 ribu barel per hari, Indonesia harus menomboki kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri karena konsumsi naik terus. Juru bicara Pertamina, M. Harun, mengatakan konsumsi BBM tahun ini naik 10 persen. Dia mencontohkan konsumsi premium, yang naik dari 42 ribu kiloliter menjadi 46 ribu kilo liter per hari.
Jika kondisi itu dibiarkan, Indonesia akan menjadi net importer minyak. Dampaknya akan sangat dirasakan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pos subsidi BBM dipastikan akan membengkak. Pertamina memperkirakan subsidi BBM tahun ini mencapai Rp 90 triliun. Karena itulah produksi minyak Cepu akan sangat berarti bagi Indonesia.
Dara Meutia Uning, Agriceli
Cepu, Jalan Berliku
1893 Adrian Stoop, sarjana pertambangan Belanda, menemukan cadangan minyak di Cepu. Inilah awal mula pertambangan minyak di Jawa.
Sebelum Perang Dunia II Lapangan Cepu di Jawa Timur merupakan konsesi BPM/Shell (Belanda).
1950-1958 Dikembalikan kepada Shell.
1958-1965 Lapangan Cepu diambil alih oleh PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Nasional). Perusahaan ini ditutup karena dianggap terlibat G30S/PKI.
1965-1980 Digunakan oleh Lemigas dan dijadikan tempat latihan dan pendidikan karena banyak sumur tua peninggalan zaman Belanda.
5 Maret 1987 Pemerintah menyerahkan pengelolaan lapangan minyak dan gas Cepu yang meliputi empat kabupaten (Bojonegoro, Tuban, Blora, Grobogan) kepada Pertamina Unit III. Di wilayah itu terdapat 519 sumur. Uji seismik dilakukan pada medio 1980-an, dan menemukan beberapa prospek. Pengeboran dilakukan pada satu prospek, tapi gagal. Uji seismik belum mendeteksi terumbu di kedalaman 2.000 meter karena teknologi belum memadai.
April 1990 PT Humpuss Patragas ditetapkan sebagai kontraktor TAC dan operator di Cepu.
Desember 1995 Humpuss melapor kepada Pertamina mengenai potensi sumur dangkal dan dalam di Cepu.
Mei 1996 Ampolex membeli 49 persen saham Humpuss, padahal kontrak melarang keikutsertaan asing.
Desember 1996 Mobil Oil mengakuisisi Ampolex.
Maret 1997 Amendemen kontrak TAC yang memperbolehkan keikutsertaan asing ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe, Direktur Utama Humpuss Patragas Bernadino M. Vega, dan Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana.
1998 Pengeboran di Banyu Urip dimulai.
November 1999 Exxon dan Mobil merger.
29 Juni 2000 Mobil Cepu Ltd. (anak perusahaan ExxonMobil) mengakuisisi sisa 51 persen saham Humpuss.
April 2001 Cadangan minyak dan gas raksasa ditemukan, antara lain di Banyu Urip (lebih dari 250 juta barel minyak) dan Jambaran (0,7-1.250 triliun kaki kubik). Perundingan perpanjangan kontrak TAC ExxonMobil di Cepu hingga 2030 dimulai.
Juli 2002 Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), yang dipimpin Purnomo Yusgiantoro, secara prinsip menyetujui perpanjangan kontrak ExxonMobil di Cepu.
Agustus 2002 Pertamina meminta jatah kepemilikan 17,5 persen saham di Cepu dan meminta bonus US$ 400 juta. ExxonMobil hanya bersedia memberikan 16,25 persen saham dan bonus US$ 40 juta. Petinggi ExxonMobil bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri.
Agustus 2002 Pertamina menolak perpanjangan kontrak ExxonMobil di Cepu. Deputi Direktur Hulu Pertamina, Eteng S. Salam, mengatakan secara komersial kontrak TAC tidak menguntungkan karena pemerintah hanya mendapat 65 persen, Pertamina 15 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Dipertimbangkan agar Pertamina dan ExxonMobil membagi sama rata.
September 2002 Anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina, Kwik Kian Gie, menolak perpanjangan kontrak ExxonMobil di Cepu. Menurut dia, seharusnya wilayah itu dikembalikan ke Pertamina. Padahal mayoritas anggota Dewan Komisaris telah setuju.
2003 Presiden Megawati menginstruksikan perundingan dilanjutkan. Bulan Mei, kedua pihak bernegosiasi kembali.
Agustus 2003 Pertamina dan ExxonMobil akhirnya setuju membentuk kontrak kerja sama khusus. Pola bagi hasilnya, 65 persen untuk pemerintah. Sisanya dibagi antara Pertamina (60 persen) dan ExxonMobil (40 persen).
September 2003 Pertamina setuju menyediakan US$ 2 miliar untuk biaya eksplorasi di Cepu. Pola bagi hasilnya disetujui: 60 persen untuk pemerintah, sisanya dibagi sama rata antara Pertamina dan Exxon-Mobil. Tapi ExxonMobil meminta investasinya diperhitungkan kembali dalam negosiasi. Audit BPKP dan Pertamina menunjukkan investasi yang bisa dipertanggung-jawabkan hanya sekitar 25 persen dari US$ 459 juta.
November 2003 Direktur Utama Pertamina yang baru, Ariffi Nawawi, menargetkan penandatanganan nota kesepahaman dengan ExxonMobil awal 2004. Kedua pihak belum setuju mengenai dana kompensasi maupun pembayaran kembali biaya investasi. Sebulan sebelumnya, Presiden George W. Bush bertemu Presiden Megawati di Bali. Kwik mengabarkan petinggi ExxonMobil dari Houston, Amerika Serikat, terbang langsung dari Jakarta untuk melobi pemerintah.
Maret 2004 Bagi hasil 20 persen untuk ExxonMobil dikritik karena dianggap memberikan keistimewaan kepada kontraktor itu dibanding kontraktor lainnya, dan merugikan negara.
Juni 2004 Head of agreement (HoA) diparaf oleh ExxonMobil dan direksi Pertamina. Kesepakatannya, antara lain, bagi hasil 60 persen untuk pemerintah, sisanya dibagi sama rata antara Pertamina (20 persen) dan ExxonMobil (20 persen). Pertamina juga diberi hak pengelolaan 100 persen atas Sukowati dan Kedung Tuban, kompensasi tunai, serta bantuan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja Pertamina lainnya di Indonesia.
29 Juli 2004 Dewan Komisaris tak menyetujui HoA, dan menyarankan direksi agar kontrak ExxonMobil diselesaikan hingga 2010. Selanjutnya, Pertamina mengelola sendiri wilayah itu.
26 Agustus 2004 Direktur Utama Pertamina yang baru, Widya Purnama, menghentikan perundingan dengan ExxonMobil, dan akan melanjutkan sendiri kegiatan di Cepu setelah kontrak ExxonMobil selesai pada 2010.
Februari 2005 Pemerintah Yudhoyono memerintahkan Pertamina agar melanjutkan kembali perundingan.
29 Maret 2005 Tim perunding gabungan Pertamina dan pemerintah terbentuk melalui surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian. Sesuai dengan Inpres No. 4/2005, permasalahan yang melibatkan lebih dari dua departemen diambil alih koordinasinya oleh Menteri Koordinator. Pola bagi hasil di Cepu merupakan wewenang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan porsi pengelolaan (participating interest) menyangkut kepentingan Menteri Negara BUMN.
20 April 2005 Tim perunding gabungan memulai kembali negosiasi dengan ExxonMobil. Targetnya, 30 hari tercapai kesepakatan.
20 Mei 2005 Kedua pihak belum mencapai kesepakatan. Presiden Yudhoyono bertolak ke Amerika Serikat dan bertemu dengan para petinggi ExxonMobil. Tim perunding, didampingi Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, juga bertemu dengan para pucuk pimpinan ExxonMobil di Dallas, Amerika Serikat.
17 Juni 2005 Secara prinsip, pemerintah dan ExxonMobil sudah setuju soal participating interest antara Pertamina, ExxonMobil, dan pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Kedua pihak juga setuju pola bagi hasilnya. Masih ada beberapa soal yang belum selesai dirundingkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo