Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Michael Jackson adalah sebuah kesepian. Pada suatu hari, ketika umurnya menjelang 30 tahun, ia mengubah warna kulitnya yang gelap jadi hampir sepucat langsat, hidungnya yang pesek jadi mirip gading diraut, dan rambutnya yang kribo jadi bak mayang terurai. Lihat, kata orang yang kesal, si negro itu menampik asal-usulnya! Ia malu akan ciri rasnya sendiri!
Mereka tak bertanya kenapa, mereka merasa tahu kenapa. Kata mereka Michael ingin jadi kejora yang paling berkerlap. Ia bersolek habis-habisan. Wajah itu jadi topeng, tubuh itu jadi manekin di etalase. Tapi itu semua hasil kemasan yang dicocokkan dengan selera kecantikan orang putih, karena merekalah yang sejak berabad-abad menentukanberkat penaklukan di masa lalu dan media massa di masa kiniapa yang "bagus" atau "tak bagus" di dunia.
Tapi sebaliknya bisa dikatakan: bukankah Michael Jackson yang membuat dirinya sebuah boneka yang siap bagi mereka yang ingin menontonnya terus-menerus? Ia seorang pesulap. Tiap pesulap tahu, di depan khalayak ia berdusta, karena dusta itu mengasyikkan para hadirin. Di situlah Michael tak sekadar sebuah manekin. Ia subyek yang bermain.
Memang subyek itu akhirnya tak kentara, sebab transformasi itu tak kunjung berhenti. Michael mengenakan topeng sampai lepas panggung. Tapi apa boleh buat: ia penyanyi yang jadi selebriti: tiap saat adalah sebuah pertunjukan, tiap jengkal tanah sebuah pentas, tiap posisi sebuah pose.
Ia memang tampak tak "alamiah" dan ganjil. Tapi bukankah justru itu tanda ia melebur diri jadi bagian hasrat orang ramai?
Sebenarnya ia juga seperti kita. Atau tiap kita adalah Michael Jackson: aku sebagai seonggok kecemasan. Ketika aku bercermin atau melihat pasfoto dalam KTP-ku, tampak sebuah sosok. Kusepakati sosok itu diriku. Tapi cermin itu, juga pasfoto KTP itu, sebetulnya sebuah medium permufakatan sosial. Di baliknya ada masyarakat, kekuasaan, juga hukum: sebungkah pihak "Sana" yang memberi diriku, di "sini", sebuah stabilitas, sebuah nama, sebuah identitas.
Tapi aku tahu cermin itu, pasfoto KTP dan kesepakatan itu, sebenarnya tak menunjukkan aku seutuhnya. Dengan bercermin sesungguhnya aku jadi bagian dari "Sana" yang hanya melihat diriku dari luar pada suatu saat. Yang selalu luput dalam identifikasi itu adalah "aku" yang tak tampil pada saat itu. Maka di depan cermin terkadang aku cemas kalau-kalau tak memenuhi ukuran "Sana", terkadang aku juga cemas kalau-kalau "Sana" menaklukkan aku sepenuhnya.
Tapi di teater yang tak berbatas, Michael Jackson (berbeda dari kita) berkaca tak henti-henti. Di mana sebenarnya, dan seharusnya, dirinya?
Saya kira ia sadar: ia orang hitam, bagian dari ras yang dianggap nista. Maka ia jadikan dirinya topeng, sengaja atau tidak, sebagai cara menunjukkan bahwa cermin yang dipasang pihak "Sana" yang memberinya identitas itu telah menjepit dirinya. Ia tak mau. "I am not going to spend/My life being a color," begitulah sebaris syair rap dari Black or White.
Bahkan dalam lirik They Don't Care About Us, protes itu tajam: di Amerika, tanah kelahirannya, ia capek jadi korban yang selalu dipermalukan:
I'm tired of bein' the victim of shame They're throwing me in a class with a bad name I can't believe this is the land from which I came
Mungkin sebab itu pula, seluruh hidupnya adalah kisah melepaskan diri.
Ia melepaskan diri dari citra lelaki "negro" yang tersebar ke seluruh dunia sejak si budak Mandingo sampai si petinju Mike Tyson: otot jantan yang brutal, obyek fantasi seks, sumber rasa ngeri dan iri. Michael Jackson justru tampil bak Arjuna dalam wayang Jawa: lelaki yang semampai, lembut, "feminin", meskipun pada Michael, itu berarti kesepian.
Ada paradoks dalam kesepian itu. Di satu pihak ia ingin membentuk ceritanya sendiri (dalam Scream yang menjeritkan ketidakadilan Michael berkata ketus: "Tired of you tellin' the story your way"). Tapi, seperti tadi dikatakan, ia juga pesulap yang ingin membuat dirinya jadi bagian keasyikan orang ramai. Ia "pembeda", dalam arti ia membuat perbedaan jadi tampak; tapi ia jugajika kita pakai kata Jawa beda di sinimengusik, berseloroh, menarik-ulur orang lain.
Namun sesuatu hilang dalam proses "beda" itu: Michaelmakhluk showbiz yang sejak umur enam tahun selalu merelakan diri jadi sebuah konstruksi pasartak pernah punya dunia di mana ia bergerak polos, "alamiah". Ia tak punya masa kanak seperti kita. Ia bukan seperti Si Wendy dan adik-adiknya dalam The Adventures of Peter Pan. Ia kehilangan masa itu. Kita baca sebait liriknya:
Have you seen my childhood? I'm searching for the world that I come from
Masa kanak yang hilang itu selalu ia cari, tapi ia tahu tak seorang pun memahaminya. Orang melihatnya sebagai kelakuan eksentrik:
They view it as such strange eccentricities... 'Cause I keep kidding around Like a child
Demikianlah ketika di usia hampir 40 ia terus bermain dan tidur bersama anak-anak di estate-nya yang ia sebut "Neverland" seperti dunia Peter Pan, orang pun mengejeknya sebagai "Wacko Jacko". Orang berteriak: awas, ia pedofiliak!
Ia terbukti tak bersalah. Tapi ia tetap sebuah kesepian. Ia gagal melepaskan diri dari sebuah dunia yang menentukan bahwa jadi "dewasa" adalah jadi "normal" dan lurus, hingga mudah bagi proses produksi yang digerakkan modal, seperti kayu yang diketam.
Dengan kata lain, ia tak bebas dari dunia yang ditakutkan Peter Pan.
Di penutup yang sedih dari cerita J.M. Berrie itu, Petermakhluk yang datang sebagai khayal anak-anak itumenolak bersekolah, kerja di kantor, dan jadi "laki-laki". Malam itu ia lihat Wendy jadi dewasa dan tak bisa lagi terbang mengikutinya. Ia dapatkan Michael, si adik, sudah besar dan lupa akan petualangan mereka bersama dalam dongeng. Dengan sayu Peter Pan pun berkata, sebelum lenyap: "Halo, Wendy, selamat tinggal."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo