Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyuruh Perang tanpa Senjata

Pertamina dan PLN kalah dalam arbitrase. Ada dugaan sengaja dibuat kandas.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA nasi telah jadi bubur, bisakah diolah kembali menjadi nasi? Inilah mission impossible yang sedang digodok di Jakarta dalam sengketa Karaha Bodas Company (KBC), proyek patungan listrik berbasis energi panas bumi (geotermal) di Jawa Barat, yang kini masuk babak akhir: eksekusi. Putusan terakhir, pengadilan tinggi New York, 4 Oktober lalu, menghukum Pertamina dan PLN harus membayar klaim US$ 299 juta.

Dua hari kemudian, simsalabim, dana pemerintah yang tersimpan di 15 rekening di Bank of New York dan Bank of America sebesar US$ 29 juta langsung disita pengadilan. Dikhawatirkan, rekening-rekening lain?tanpa melihat rekening itu milik Pertamina atau PLN?bakal disikat pula. Sebab, putusan arbitrase itu sudah didaftarkan di pengadilan Hong Kong dan Singapura.

Keputusan pengadilan New York ini baru satu titik dari perjalanan panjang gugatan perusahaan berbadan hukum di Kepulauan Cayman itu. Gugatan arbitrase pertama melalui Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional (United Nations Commission on International Trade Law, Uncitral) dikirimkan ke pemerintah Indonesia pada awal 1998.

Mekanisme Uncitral dipilih sendiri oleh Pertamina dan PLN dengan KBC dalam dua kontrak mereka (joint of contract dan energy sales contract). Dalam dua kontrak itu, Pertamina dan PLN sepakat menganulir yurisdiksi hukum Indonesia bila muncul sengketa atas kontrak mereka. Mereka juga sepakat, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat serta bisa dimintakan eksekusi di pengadilan mana pun.

Setelah delapan tahap persidangan, dalam keputusan akhir arbitrase (final award), Desember 2000, Pertamina dan PLN dinyatakan bersalah dan dihukum membayar US$ 261 juta, sebagai ganti biaya proyek (damnum emergens) senilai US$ 111 juta, dan keuntungan yang hilang (lucrum cessans) sebesar US$ 150 juta?plus bunga 4 persen per tahun selama keterlambatan membayar.

Menurut majelis arbiter Uncitral yang diketuai advokat asal Prancis Yves Derains, pembatalan kontrak KBC tidak bisa diterima, karena bukan disebabkan kondisi kahar (force majeure), melainkan wanprestasi atau pelanggaran kontrak sepihak. Kondisi kahar hanya berlaku untuk Pertamina dan PLN, berkaitan dengan Keputusan Presiden No. 5/1998 tentang penundaan sejumlah proyek besar?di antaranya KBC?yang bertujuan mengurangi beban negara akibat krisis ekonomi.

Banyak kalangan, selain menyesali Pertamina dan PLN karena meneken kontrak yang menjerat kaki mereka sendiri, juga kecewa pada para pembela di sidang arbitrase yang digelar di Jenewa dan Paris itu. ?Pembela kita tak berdaya, seperti kehilangan keahlian hukumnya,? kata Eddy Sumarsono, Ketua Lembaga Advokasi Reformasi Indonesia (LARI). ?Padahal mereka dibayar mahal.? LARI turut melaporkan dugaan korupsi dan kolusi dalam kasus KBC ke Komisi Pemberantasan Korupsi, November lalu.

Ada beberapa kesalahan mendasar tim pembela, lokal maupun internasional. Misalnya, tak ada hakim arbiter yang ditunjuk Indonesia, karena hingga 30 hari sejak gugatan diterima, pemerintah cuek saja. Sekjen Uncitral akhirnya menunjuk sepihak Prof. Ahmed El Kosheri dari Mesir sebagai arbiter mewakili Indonesia. Sanggahan kuat berupa bukti korupsi KBC dalam persidangan juga tak dinyatakan.

Tim pembela juga tidak mengungkap bahwa KBC telah melakukan perbuatan licik (exeptio doli prae sintis) dengan menyembunyikan informasi bahwa Caithness Energy?salah satu pemegang saham KBC?telah mendapat ganti rugi asuransi dari Berry Palmer and Lyle Limited, Loyds Brokers, London, dengan nilai pertanggungan US$ 80 juta. Hak klaim KBC berdasarkan asas subrogasi sebenarnya gugur karena sudah beralih pada si penanggung asuransi.

Pertamina dan PLN pernah mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan Swiss. Karena tidak membayar biaya perkara hingga lewat waktu, permohonan itu ditolak. Ini tentu amat memalukan. ?Tai kucing itu semua,? kata advokat senior Adnan Buyung Nasution, tanpa menyembunyikan kemarahannya. Buyung mengaku, tim pembela disabot dari dalam.

?Banyak pejabat kita jadi pengkhianat, membocorkan rahasia kita. Sekarang mereka salahkan pembela,? katanya. Pejabat-pejabat kunci di lingkungan Departemen Keuangan dan Bappenas, misalnya, menolak bersaksi karena terkait kasus tersebut. ?Mereka sudah terima upeti, makanya tak mau bersaksi,? kata Buyung. Mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, menurut Buyung, berperan membuat kontrak yang mencekik leher sendiri.

Pengacara Maqdir Ismail, yang turut menyiapkan pembelaan kasus itu, mengakui proses pembelaan memang buruk. Pemerintah baru menunjuk kantor hukum Adnan Buyung Nasution sebagai kuasa menjelang sidang pertama arbitrase di Jenewa, November 1998. Mereka bergandengan dengan tim pengacara internasional Pertamina dari Firma Bishop and Mason Solicitor, London.

Persiapan persidangan bisa dibilang terburu-buru. ?Gugatan masuk pada awal tahun, masih semasa Pak Harto,? kata Maqdir. ?Dan kesannya dibiarkan saja.? Baru setelah B.J. Habibie menjadi presiden, kasus itu ditangani. Atas usul Buyung, Presiden Habibie sempat menggelar rapat di Patra Kuningan, di kediaman pribadinya. Hadir dalam rapat itu Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan Hartarto, Direktur PLN Adi Satria, Jaksa Agung Andi M. Ghalib, Adnan Buyung, dan Maqdir Ismail.

Dalam rapat itu diputuskan, Kejaksaan Agung akan membuka perkara korupsi KBC sebagai bahan pembuktian di sidang. Namun, entah mengapa, kesepakatan itu menguap begitu saja. ?Mereka bilang akan dikerjakan, tapi sampai sekarang omong kosong,? Buyung menggerutu. Ia lantas berinisiatif mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan kontrak. ?Tak hanya KBC, tapi semua kontrak listrik swasta,? katanya.

Ia sudah memperkirakan, Pertamina dan PLN bakal kalah, karena dalam kontrak posisi mereka sengaja ?diikat?. Tapi, ketika Abdurrahman Wahid naik menjadi presiden, gugatan itu diperintahkan ditarik. ?Gus Dur dipengaruhi pejabat yang main dengan Bank Dunia dan IMF,? ujar Buyung, yang mengaku marah atas keputusan itu. Apa daya, keputusan tak bisa ditarik.

Menurut Maqdir, administrasi proyek KBC di Pertamina dan PLN juga sama jeleknya. ?Kami bahkan tak mendapatkan bukti tambahan apa pun dari sana,? katanya. Dengan persiapan minim, para pengacara ini kemudian berangkat ke Paris. ?Ini sama seperti menyuruh perang tanpa bekal senjata,? kata Maqdir.

Di Hotel Mercure, Paris, tempat sidang arbitrase digelar, tim pengacara menyampaikan empat poin eksepsi, yakni tribunal atau majelis arbiter tidak berwenang mengadili sengketa itu; tribunal tidak dibentuk menurut prosedur karena tidak melibatkan tergugat; proses ?perdamaian? (amicable settlement) belum ditempuh secara maksimal. Terakhir, pemerintah bukan termasuk pihak yang bisa digugat.

Dari empat eksepsi itu, hanya satu yang diterima dalam preliminary award, September 1999, yakni pemerintah dinyatakan bukan pihak yang bisa digugat. Lumayan, karena berhasil mencabut pemerintah Indonesia dari daftar tergugat. Sayangnya, entah mengapa, kuasa para pembela ternyata tak diperpanjang. Pengacara asing pun diganti menjadi Kantor Mishkin, Cleary, Gottlieb Steen and Hamilton, New York. Keluarlah putusan pada akhir Desember 2000. Dalam keputusan akhir ini, klaim KBC senilai US$ 521 juta dapat dipangkas menjadi ?hanya? US$ 261 juta.

Majelis arbitrase tercatat melakukan beberapa keputusan yang memberatkan Pertamina dan PLN, yakni tidak melakukan verifikasi atas klaim KBC bahwa KBC dapat menghasilkan listrik sebesar 210 megawatt yang menjadi perhitungan klaim lost of profits. Padahal, penelitian menunjukkan potensinya cuma 30 megawatt.

Jumlah pengeluaran KBC sama sekali tidak diverifikasi oleh majelis arbitrase. Padahal seorang saksi KBC, Cristopher McCallin, mengakui adanya pengeluaran-pengeluaran tak jelas (questionable payment) sebesar US$ 10 juta, yang diduga para pengacara Indonesia merupakan suap untuk memuluskan proyek. Kesaksian ini terekam dalam catatan sidang arbitrase, Juni 2000. Sayangnya, kesaksian kuat itu tak bisa ?dimainkan? pembela karena tak ada bukti penyidikan korupsi dari Indonesia.

Arif A. Kuswardono, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus