BARU saja melalui usianya yang ke-40, Garuda kembali diguncang dari dalam. Kali ini tak seperti drama yang pecah di awal 1980, ketika hampir 150 pilotnya melakukan aksi mogok terbang. Bahkan, boleh dibilang, keresahan para pilot tak sampai mencuat ke permukaan. Sebab, dalam acara dengar pendapat dengan Komisi V DPR-RI bulan lalu, manajemen Garuda langsung membantah: itu isapan jempol belaka. Hanya saja, ini kesamaannya, kedua kasus itu muncul dengan pemicu yang itu-itu juga, ya soal gajilah. Tak mampukah Garuda memberikan gaji yang sama seperti yang diberikan penerbangan asing pada para pilotnya? "Mampu sih mampu, tapi kalau tidak mau . . . ," kata seorang pilot. Memang, setelah melalui perjalanan panjang, Garuda sekarang berbeda dengan Garuda 10 tahun lalu. Flag carrier republik itu, yang mampu memetik laba Rp 127 milyar tahun lalu, tidaklah sama dengan BUMN lainnya. Ia, dengan 74 burung besarnya, mulai tampil sebagai perusahaan raksasa. Apalagi kalau 21 pesawat baru Boeing 744-400 dan Airbus pesanannya datang di tahun 1995. Kini, karyawan darat dan udaranya ada sekitar 11 ribu orang. Namun, bisakah keadaan seperti di zaman Dirut Wiweko terulang? Ketika itu, banyak pesawat menganggur, karena pembelian pesawat baru dianggap tak seimbang dengan pertumbuhan penumpang. Akibatnya, biaya membengkak, karena pesawat yang tak terbang toh makan duit juga. Lihat saja. Di tahun 1980 Garuda merugi sekitar US$ 1,5 juta. Tapi di tahun-tahun berikutnya, 1981-84, kerugian membengkak dari US$ 15 j uta menjadi 25 j uta, lalu 45 juta, dan puncaknya pada 1984 dengan beban rugi 65 juta. Nah, di saat seperti itulah, November 1984, turun R.A.J. Lumenta, anak didik Wiweko, sebagai orang No. 1 di Garuda. Lumenta, yang gemar naik motor tapi tidak perlente, mulai dengan gebrakan-gebrakan baru, untuk mengoperasikan semua pesawat yang menganggur. Itu memang dimungkinkan karena manajemen Garuda berubah luwes dalam arti mulai membuka pintu Bali buat penerbangan asing. Suatu hal yang amat dipantangkan oleh Wiweko. Langkah Lumenta yang pertama adalah menjalin kerja sama dengan penerbangan Hong Kong, untuk membuka jalur Hong Kong--Denpasar. Menyusul kerja sama serupa dengan MAS, SIA, dan KLM. Sukses. Tak ada lagi pesawat menganggur. Bahkan, "Akhirnya kami kekurangan pesawat," kata Lumenta, yang sekarang memimpin perusahaan pemasok suku cadang pesawat Garuda. Dampak kerja keras itu perlahan-lahan mulai terasa. Dan rugi yang diderita, dari tahun ke tahun, pun mulai menipis. Pada 1985, misalnya. Garuda hanya rugi Rp 34 milyar. Dan 1986, minusnya cuma tinggal Rp 21,5 milyar. Hingga akhirnya, di akhir kepemimpinan Lumenta yang tiba-tiba di akhir 1987, Garuda bisa melaba Rp 299 juta. Kecil, memang, tapi itu prestasi yang patut dicatat. Prestasi Garuda di tangan Dirut M. Soeparno semakin yahud nampaknya ketika dia mengungkapkan Garuda melaba Rp 27 milyar. Bayangkan, 424 kali laba tahun sebelumnya. Percaya atau tidak, tapi Soeparno punya data. Menurut dia, sisa hasil usaha di tahun 1988 mencapai Rp 238 milyar. Nah, dari jumlah itu, Garuda mencicil utang plus bunganya Rp 111 milyar. Hingga tersisa laba bersih yang Rp 127 milyar itu. Pemetikan laba terus berlangsung, seiring dengan makin mengecilnya beban utang. Menurut Direktur Niaga Sunarjo, utang Garuda sekarang tinggal 380 juta dolar (sekitar Rp 669 milyar), dan diperkirakan akan lunas pada tahun 1991. Derap langkah manajemen Garuda semakin efisien, agaknya. Itu terlihat, misalnya, dan penggunaan pesawat yang semakin optimal. Seperti armada Boeingnya, sekarang mencapai rata-rata 14 jam terbang sehari. Prestasi cemerlang, menurut ukuran internasional. Ada juga, memang, pesawat yang penggunaannya belum optimal. Seperti DC-9 yang seluruhnya berjumlah 18. Tapi, menurut Sunarjo, itu disebabkan banyak pelabuhan udara yang disinggahi tak dapat dlgunakan untuk terbang malam. Sehingga sering DC-9 Garuda harus menginap di pelabuhan tujuan. Hal tersebut tak membuat manajemen Garuda menunda penambahan pesawat. Sebab, dengan membuka jalur-jalur penerbangan baru - terakhir ke Vietnam yang kabarnya laris - Garuda melanglang di 28 kota di lima benua. Makanya, Soeparno yakin, jumlah penumpang yang sekarang rata-rata 18 ribu per hari akan meningkat. "Walau kecil, saya kira akan ada kenaikan, paling tidak 5%-lah," katanya. Itu terlihat dengan naiknya pendapatan angkutan luar negerinya. Tahun-tahun sebelumnya, penghasilan dari dalam negeri lebih besar, tapi tiga tahun terakhir berbalik. Bahkan, tahun lalu, 70% pendapatan Garuda diperoleh dari penerbangan internasionalnya. Dengan kata lain, sekarang penerbangan domestiklah yang disubsidi oleh penerbangan internasional. Mungkin, karena itulah, bulan lalu Garuda mulai berancang-ancang untuk menaikkan tarif penerbangan domestiknya. "Idealnya, tarif domestik naik 40% dari yang sekarang,"kata sebuah sumber di Garuda. Kenapa? Soalnya, setiap penumpang sekarang hanya membayar sekitar Rp 140 per kilometer. Padahal, idealnya, tutur sumber ini, tarif itu tidak boleh kurang dari Rp 315 per kilometer. Contohnya penerbangan 45 menit dari Frankfurt ke Hamburg, yang ongkosnya 150 dolar, atau sekitar Rp 262.500. Sedangkan di Indonesia, untuk jarak yang sama (seperti Jakarta-Yogya), penumpang rata-rata hanya membayar Rp 61,5 ribu. Akankah Pemerintah mengabulkan kenaikan tarif Garuda? Masih harus kita tunggu jawabannya. Yang jelas, itu merurakan salah satu bukti bahwa, sebagai BUMN, manajemen Garuda masih tergantung beleid Pemerintah. Buktinya, selain soal tarif tadi, Pemerintah telah menaikkan penyertaan modalnya dari Rp 600 milyar menjadi Rp 1 trilyun tahun silam. Garuda juga memperoleh pinjaman modal kerja yang hanya dikenai bunga kategori kredit ekspor, 11%. Ada satu lagi, dan ini menentukan untung-rugi Garuda dua tahun terakhir yakni beban devaluasi yang dibebaskan. Begini ceritanya. Ketika nilai rupiah disunat dua kali, 1983 dan 1986, Garuda menderita rugi kurs Rp 700 milyar. Nah Soeparno meminta kepada Pemerintah agar kerugian itu dihitung pada tahun buku yang bersangkutan. Dan dikabulkan. Ini berarti, Garuda tak perlu lagi mencicil kerugian itu di tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, lewat dari tahun itu mulai lagi dengan tahun buku yang baru. Maka, tuntutan kenaikan gaji oleh para penerbang memang masuk akal, sekalipun perlu berhati-hati agar tak sampai mengacau yang namanya cashflow.Budi Kusumah, Liston P. Siregar, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini