Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Serangan di Jalan Thamrin

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERKUTUKLAH mereka yang memindahkan medan perang ke kawasan sipil, seperti yang dilakukan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Gerombolan itu meledakkan kafe tempat puluhan orang bekerja atau sekadar minum kopi pagi, menembaki polisi di keramaian massa, lalu meledakkan diri di sekitar jalan protokol yang padat.

Serangan itu mengagetkan, terutama karena aparat keamanan belum lama ini mengklaim telah menggagalkan rencana teror yang diberi sandi "konser" pada Natal dan tahun baru. Kejahatan di Thamrin pun dilakukan setelah serangkaian penangkapan sejumlah orang yang dituduh terlibat terorisme di berbagai daerah oleh Detasemen Antiteror sepanjang pekan lalu.

Jenis serangan di Jalan Thamrin berbeda dengan teror di Jakarta sebelumnya yang menargetkan hotel bintang lima atau kantor kedutaan besar. Teroris menyerang Kedutaan Filipina pada 2000, Hotel Marriott 2003, Kedutaan Australia 2004, lalu Hotel Marriott dan Ritz-Carlton pada 2009. Tempat-tempat lama dijaga lebih ketat, mereka menyasar target yang lebih mudah, seperti kafe Starbucks.

Anggota komplotan itu juga tak segera menghilang setelah bom meledak, tapi menembaki sasaran dengan pistol. Cara ini tak pernah terjadi di Indonesia, tapi muncul di kota-kota besar negara lain, misalnya Paris pada akhir tahun lalu. Untuk pertama kali pula kelompok Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan di Jalan Thamrin.

Meski mengikuti pola serangan internasional—yakni menargetkan kawasan sipil yang lebih lunak—teror di Jalan Thamrin tetap memiliki "kekhasan" teroris Indonesia, yaitu menjadikan polisi sebagai sasaran. Dari berbagai rekaman video dan foto, terlihat anggota komplotan menembakkan pistolnya ke arah polisi. Satu di antaranya dalam jarak yang sangat dekat. Serangan ini bisa jadi merupakan balas dendam para teroris kepada polisi yang terus mengejar kelompok-kelompok radikal.

Klaim keterlibatan ISIS memang harus diselidiki kebenarannya. Jika benar, sel-sel ini jauh lebih berbahaya dan militan daripada kelompok Noor Din M. Top, yang pada 2000-2009 dituduh bertanggung jawab atas serangkaian serangan bom di Indonesia. ISIS dalam peta terorisme internasional juga lebih brutal dibandingkan dengan Jamaah Islamiyah, organisasi tempat kelompok Noor Din berafiliasi. Inilah lawan yang kini harus dihadapi polisi, juga kita semua: teroris generasi baru dan model yang juga baru.

Ancaman ini sangat nyata mengingat ratusan orang Indonesia diduga masuk Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Sebagian di antaranya, menurut polisi, telah kembali ke Tanah Air. Aparat keamanan sepatutnya mengawasi karena mereka memiliki kemampuan melakukan serangan. Sejauh ini, angka yang dimiliki polisi bisa jadi jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Kita tahu, banyak jalur gelap di sepanjang perbatasan yang bisa dilalui para "jihadis" masuk dan keluar Indonesia tanpa terdeteksi.

Pola ini menyerupai arus balik anggota Jamaah Islamiyah dari Afganistan—tempat mereka berperang melawan Uni Soviet—pada 1990-an. Sebagian dari merekalah yang kemudian terlibat dalam berbagai teror di Indonesia, termasuk pengeboman malam Natal 2000 dan Bali pada 2002. Ancaman sekarang bisa jauh lebih besar mengingat teknologi Internet yang semakin maju, yang membuat komunikasi di antara mereka lebih mudah.

Kepolisian mesti meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman baru ini. Pada teror Kamis pekan lalu, harus dipuji, polisi relatif cepat melumpuhkan teroris dengan korban relatif sedikit. Tapi yang patut dicatat: aparat abai mensterilkan area setelah ledakan pertama, membiarkan orang berkumpul, hingga membuat teroris leluasa menembakkan pistolnya. Padahal pengosongan area sangat penting mengingat kemungkinan adanya serangan berikutnya yang lebih besar. Sebagai contoh, serangan besar Sari Club, Legian, Bali, pada 12 Oktober 2002, dilakukan setelah ledakan kecil sebagai pengalih perhatian di Paddy's Pub di kawasan yang sama.

Bersama lembaga lain, termasuk Badan Intelijen Negara dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kepolisian harus berpacu dengan waktu. Dengan anggaran besar—tahun ini anggaran Kepolisian meningkat Rp 20 triliun dibanding tahun sebelumnya—semestinya mereka tak kesulitan meningkatkan kemampuan menghadapi teror. Mereka tak boleh lagi kecolongan atau gagap ketika menghadapi serangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus