KEMUNGKINAN minyak dari RRC mengalir ke Amerika makin besar saja
tampaknya. Sekitar dua bulan lalu, 5 wakil maskapai minyak AS
telah diutus ke Peking. Mereka, antara lain raksasa Exxon,
Pennzoil dan Standard Oil, menyambut tawaran pemerintah Hua
Kuo-feng, agar melakukan eksplorasi di lepas pantai Laut Cina
Selatan. Sementara penjajagan kemungkinan tengah giat
dilaksanakan, pekan lalu tak kurang dari James A. Schlesinger,
Menteri Enerji AS, yang diutus oleh Presidcn Carter untuk
berunding ke Peking.
Schlesinger, 48 tahun, bekas Menteri Pertahanan sewaktu kabinet
Nixon, kabarnya disambut dengan permadani merah. Tamu penting
itu juga tidak bergegas ia akan tinggal selama 13 hari di RRC
sampai 5 Nopember, untuk kemudian singgah dua hari di Tokyo,
sebelum melapor ke Wahington. Bisa dipastikan banyak yang
dilihat dan dirundingkan selama Schlesinger berada di sana. Ada
14 pejabat penting, termasuk orang-orang Deplu AS, yang
menyertainya. Mereka diberitakan akan membahas secara detil
kemungkinan kerjasama di bidang enerji.
Rezim baru di RRC rupanya ingin cepat bisa menyedot harta karun
yang selama ini lebih banyak dibiarkan terpendam. Beberapa waktu
sebelum misi Schlesinger datang, RRC sudah pula membeli lima
macam menara bor terapung dari Amerika, Jepang dan Norwegia.
Mereka juga telah membeli beberapa kapal untuk survai dan
menunjang usaha pencarian minyak.
Tidak mengherankan jika rezim Hua Kuo-feng yang pragmatis itu
memusatkan perhatian pada usaha pencaharian minyak. RRC yang
ingin membangun industrinya secara modern, tentu ingin
memperbesar ekspor minyaknya agar mampu membiayai pembangunan
di dalam negeri.
Kunjungan Wakil PM Teng Hsiaoping ke Jepang dua pekan lalu, yang
menghasilkan suatu kemungkinan kerjasama ekonomi meliputi $ 100
milyar, juga banyak bicara soal minyak. Bahkan jauh sebelum Teng
ke Tokyo, Jepang telah menandatangani persetujuan untuk membeli
sebanyak 7,1 juta ton minyak dari RRC selama lima tahun pertama
ini. Jumlah tersebut akan meningkat 100% dalam tahap 5 tahun
berikutnya.
Bahaya?
Bahaya untuk Indonesia Banyak orang beranggapan begitu.
Lebih-lebih, sebagaimana diakui oleh seorang pejabat minyak di
Jakarta, harga jual minyak RRC itu rata-rata $ 50 sen lebih
rendah dari rata-rata minyak Indonesi yang $ 12,80 per barrel.
Tapi Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, yang ditemui TEMPO akhir
pekan lalu, tidak melihat bahaya itu akan terasa dalam waktu
dekat. Membalik-balik catatannya, Piet memastikan ekspor minyak
kita ke Jepang masih tetap sama, kecuali jenis LSWR (waxy
residue), yang tahun ini sulit dijual (lihat: Tetap Tak Mau Cari
Hutan Sendiri).
Sekalipun demikian, orang pertama Pertamina itu mengakui bahaya
itu mungkin bakal datang 8 sampai 10 tahun mendatang. Kalau saja
RRC kelak tampil sebagai negara penghasil minyak yang besar,
aliran minyaknya pasti akan bisa mengacau pasaran OPEC. Dan
Indonesia, yang terutama mengekspor minyaknya ke Jepang dan
Pantai Barat AS, pasti akan terkena.
Kekhawatiran Dir-Ut Pertamina itu memang beralasan. Selain
kelima perusahaan minyak AS itu, dari Jepang sudah lebih dulu
giat memancing minyak di RRC. Salah satu adalah di Teluk Pohai,
tepat di sebelah timur kota pelabuhan Tientsin, yang
diperkirakan menelan investasi sebanyak $ 2 milyar. Kalau
Jepang nanti berhasil mengail minyak, bisa dipastikan yang lain
akan menyusul pula.
Satu-satunya jalan bagi Indonesia, menurut Piet Haryono, adalah
dengan memproduksi lebih banyak minyak di sini. Itu berarti
pencarian ladang-ladang baru, di samping menyuntik ladang lama
seperti dilakukan oleh Caltex di Sumatera. Untuk itu rupa-rupa
usaha sudah dilakukan Pertamina agar orang-orang minyak itu
tergiur mencari sumur baru.
Tapi sampai sekarang masih belum banyak sambutan. Tak bisa lain,
seperti diakui seorang pejabat Pertambangan, mereka harus diberi
rangsangan ekstra. Apa pula bentuknya, masih belum diketahui.
Tapi bagaimanapun Piet setuju, "kita memang harus berpacu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini