Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tetap Tak Mau Cari Hutang Sendiri

Untuk proyek hydrocracker di Dumai, Pertamina mendapat tawaran kredit dari 3 bank terkenal di Jepang. Proyek ini penting untuk mengolah LSWR yang dalam waktu dekat tak punya pasaran di jepang & as. (eb)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimengerti bila Dir-Ut Pertamina Piet Haryono menyapa tamunya dengan: dozzo, dozzo, silakan duduk. Sabtu pagi pekan lalu, serombongan pengusaha Jepang baru saja meninggalkan ruang kerjanya di Jl. Perwira 6, Jakarta. Dan Piet tampak gembira. Tawaran kredit untuk proyek hydrocracker di Dumai? "Bukan dari Jepang yang itu," katanya seraya menunjuk ke arah pintu. Dir-Ut Pertamina itu membenarkan ada tiga bank terkenal di Jepang yang berminat untuk mempelajari proyek hydrocracker yang diperkirakan akan menelan antara $ 680 sampai $ 700 juta itu: Bank of Tokyo, The Industrial Bank of Japan dan Mitsui Bank. Ketiga raksasa bank di Jepang itu kabarnya juga telah mengirim utusannya ke Jakarta. Dir-Ut Piet belum bersedi bicara banyak tentang tawaran kredit dari tiga bank Jepang itu. Tapi dengan tegas dia mengatakan bahwa "Pertamina tak akan langsung terjun untuk mencari hutang di pasar uang internasional." Belakangan ini ada dugaan bahwa Piet Haryono seakan mengulangi jejak Pertamina di aman Ibnu Sutowo, yakni mencari hutang sendiri di luar negeri. Selain membantah dugaan itu, Piet juga mengatakan dia tak ingin kalau untuk proyek itu, Pemerintah meminta Bank Indonesia misalnya untuk mencari dananya. Lalu bagaimana? Ia lebih suka menempuh cara pembiayaan seperti halnya proyek LNG di Arun dan Badak. Yakni dengan membentuk suatu perusahaan patungan yang terdiri dari bank luar negeri, para pengusaha yang sekaligus adalah pembeli hasilnya dan Pertamina. "Pokoknya dengan suatu cara yang tak akan menambah beban debt service ratio (perbandingan antara pencicilan hutang dengan penghasilan ekspor)", katanya. Dengan kata lain, Piet ingin agar pembayaran kembali hutangnya kelak dikaitkan dengan hasil produksi proyek itu. Kalau ketiga bank Jepang itu ternyata setuju dengan prinsip hutang yang dikemukakan Piet Haryono, maka pengilangan minyak di Dumai -- seperti halnya yang sudah terjadi di kilang minyak Sungai Pakning, Riau -- nantinya bisa juga ditutup untuk selamanya. Kedua pabrik pengilangan minyak itu tadinya rajin menyuling Minas crude atau Sumatran Light crude yang berasal dari ladang-ladang PT Caltex. Jenis minyak mentah yang berkwalitas tinggi itu sampai sekarang tetap disukai para pembelinya. Tapi yang menjadi soal buat Pertamina adalah bagian Minas yang harus dikilang di Indonesia. Setiap barrel Minas, menghasilkan tak kuran dari 55% LSWR (low sulphur waxy residue), yang tahun ini dan mungkin juga untuk waktu yang lebih lama -- mati pasarannya di Jepang dan AS. Maka satu-satunya jalan yang paling ampuh untuk memecah dan mengolah LSWR itu adalah dengan mendirikan hydrocracker. Para Dewan Komisaris Pertamina, yang mulanya belum sepakat, kini kabarnya sudah lebih bulat melihat vitalnya proyek tersebut buat Indonesia. Barangkali itu pula yang membuat Piet Haryono kini kembali gembira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus