BISA dimengerti bila Dir-Ut Pertamina Piet Haryono menyapa
tamunya dengan: dozzo, dozzo, silakan duduk. Sabtu pagi pekan
lalu, serombongan pengusaha Jepang baru saja meninggalkan ruang
kerjanya di Jl. Perwira 6, Jakarta. Dan Piet tampak gembira.
Tawaran kredit untuk proyek hydrocracker di Dumai? "Bukan dari
Jepang yang itu," katanya seraya menunjuk ke arah pintu.
Dir-Ut Pertamina itu membenarkan ada tiga bank terkenal di
Jepang yang berminat untuk mempelajari proyek hydrocracker yang
diperkirakan akan menelan antara $ 680 sampai $ 700 juta itu:
Bank of Tokyo, The Industrial Bank of Japan dan Mitsui Bank.
Ketiga raksasa bank di Jepang itu kabarnya juga telah mengirim
utusannya ke Jakarta.
Dir-Ut Piet belum bersedi bicara banyak tentang tawaran kredit
dari tiga bank Jepang itu. Tapi dengan tegas dia mengatakan
bahwa "Pertamina tak akan langsung terjun untuk mencari hutang
di pasar uang internasional." Belakangan ini ada dugaan bahwa
Piet Haryono seakan mengulangi jejak Pertamina di aman Ibnu
Sutowo, yakni mencari hutang sendiri di luar negeri. Selain
membantah dugaan itu, Piet juga mengatakan dia tak ingin kalau
untuk proyek itu, Pemerintah meminta Bank Indonesia misalnya
untuk mencari dananya. Lalu bagaimana?
Ia lebih suka menempuh cara pembiayaan seperti halnya proyek LNG
di Arun dan Badak. Yakni dengan membentuk suatu perusahaan
patungan yang terdiri dari bank luar negeri, para pengusaha yang
sekaligus adalah pembeli hasilnya dan Pertamina. "Pokoknya
dengan suatu cara yang tak akan menambah beban debt service
ratio (perbandingan antara pencicilan hutang dengan penghasilan
ekspor)", katanya. Dengan kata lain, Piet ingin agar pembayaran
kembali hutangnya kelak dikaitkan dengan hasil produksi proyek
itu.
Kalau ketiga bank Jepang itu ternyata setuju dengan prinsip
hutang yang dikemukakan Piet Haryono, maka pengilangan minyak di
Dumai -- seperti halnya yang sudah terjadi di kilang minyak
Sungai Pakning, Riau -- nantinya bisa juga ditutup untuk
selamanya. Kedua pabrik pengilangan minyak itu tadinya rajin
menyuling Minas crude atau Sumatran Light crude yang berasal
dari ladang-ladang PT Caltex.
Jenis minyak mentah yang berkwalitas tinggi itu sampai sekarang
tetap disukai para pembelinya. Tapi yang menjadi soal buat
Pertamina adalah bagian Minas yang harus dikilang di Indonesia.
Setiap barrel Minas, menghasilkan tak kuran dari 55% LSWR (low
sulphur waxy residue), yang tahun ini dan mungkin juga untuk
waktu yang lebih lama -- mati pasarannya di Jepang dan AS.
Maka satu-satunya jalan yang paling ampuh untuk memecah dan
mengolah LSWR itu adalah dengan mendirikan hydrocracker. Para
Dewan Komisaris Pertamina, yang mulanya belum sepakat, kini
kabarnya sudah lebih bulat melihat vitalnya proyek tersebut buat
Indonesia. Barangkali itu pula yang membuat Piet Haryono kini
kembali gembira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini