MEREKA cuma pengusaha kecil dan menengah di negerinya, Amerika
Serikat. Tapi selama tiga hari penuh mereka giat berunding
dengan para pejabat penting dan pengusaha di sini. Mereka juga
sempat dipertemukan dengan Presiden Soeharto yang antara lain
menjelaskan makna dari Trilogi Pembangunan di Indonesia. Dan
Minggu siang lalu, berangkatlah ke-25 pengusaha AS itu ke negara
ASEAN lainnya.
Banyak kenangan dibawa pulang para pengusaha itu. Ketika bertemu
dengan Menteri Perindustrian A.R Suhud, mereka dipersilakan
melihat sendiri proyek industri di Pulo Gadung, Jakarta. Tapi
banyak dari mereka tentu bertanya-tanya, apa yang dimaksudkan
menteri bahwa proyek industri itu tidak melulu bertujuan mencari
uang. Dengan Menteri Riset dan Teknologi J.E. Habibie, yang kini
juga menjadi Ketua Otorita Proyek Pengembangan Industri Batam,
selain mendapat ceramah, mereka juga ditawari untuk menanam uang
di pulau itu.
Misi yang disponsori oleh OPIC -- sebuah badan penanaman modal
swasta AS untuk LN -- memang tak menyia-nyiakan kesempatan
gratis yang diberikan pemerintahnya untuk berkeliling di lima
ibukota ASEAN. OPIC sendiri didirikan pada 1971 oleh pemerintah
AS untuk memberi dan menjamin pinjaman kecil dan sedang bagi
pengusaha mereka. Juga untuk melindungi investasi swastanya
terhadap risiko di bidang keuangan dan politik. Pinjaman
langsung dari OPIC biasanya tak melebihi $ 3 juta. "Tapi kalau
memang dibutuhkan, bisa saja mencapai $ 50 juta," kata Charles
W. Robinson, pemimpin rombongan.
Awal
Tapi dalam konperensi persnya di Hotel Jakarta Hilton, Robinson
baru bisa menyebutkan satu perusahaan - itupun tanpa menyebut
namanya - yang akan menanamkan modalnya dalam pabrik bata
tahan-api, dengan investasi awal sebesar, mungkin, $ 5 sampai $
10 juta. Satu usaha lain adalah di bidang industri penunjang
pertanian, yang masih dirundingkan. Apa itu? "Belum bisa
disebutkan, karena kelewat awal," jawab Robinson.
Dalam nada rendah, pemimpin rombongan pengusaha AS itu mengakui
"misi kami ini baru dalam taraf penjajagan awal," katanya. "Jadi
masih panjang jalannya sebelum sampai pada hasil nyata."
Sebelumnya ada cerita lain dari seorang pejabat BKPM, yang
menyatakan bahwa para pengusaha AS itu datang kemari bukan lagi
untuk melihat-lihat. Tapi sudah dalam taraf "mencari partner
usaha".
Banyak yang merasa skeptis. Selain kecilnya modal, kedatangan
mereka ke Indonesia juga di tengah makin runyamnya nilai dollar
terhadap mata-uang kuat lainnya. Lagi pula, beberapa ketentuan
OPIC sendiri juga bisa menghalangi suatu rencana investasi.
Misalnya pengusaha AS yang bersangkutan harus memegang jumlah
saham tertentu dan harus dijamin kelangsungan suaranya di dalam
pimpinan perusahaan bersangkutan. Ini tentunya jika si pengusaha
meminta dukungan OPIC. Maka faktor saham dan manajemen itulah
yang oleh Robinson disebut sebagai "dua kemungkinan yang
menghalangi investasi di luar negeri."
Maka tak heran kalau orang dari AS itu menutup keterangannya
dengan berkata "Saya lebih senang berbicara dari segi harapan."
Memang sulit untuk menebak apa yang akan terjadi. Tapi yang
agaknya pasti dari muhibah itu adalah ini: kesan bahwa
pemerintahan Carter masih tetap memperhatikan kawasan Asia
Tenggara di bidang bisnis.
Mungkin ini secara kebetulan. Tapi beberapa jam setelah misi
OPIC itu terbang dari Halim Perdanakusumah ke Kuala Lumpur, John
L. Moore, presiden Bank Ekspor-Impor AS tiba. Moore, yang
didampingi 4 anggota stafnya dan nyonya, juga mengunjungi
keempat negara ASEAN lainnya. Dalam suatu pernyataan setibanya
di Jakarta, presiden dari bank yang bertujuan mempromosikan
ekspor AS itu berkata: "Eximbank sedang berusaha membantu
membiayai proyek-proyek yang memperkuat perekonomian
masing-masing negara ASEAN. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini