Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - PT Reasuransi Maipark Indonesia merilis total perkiraan nilai klaim atau pertanggungan kerugian asuransi akibat tsunami yang terjadi di pesisir Selat Sunda dengan nilai Rp 15,9 triliun. "Klaim ini terdiri atas 191 risiko yang berlokasi di bibir pantai dengan kemungkinan besar terkena dampak tsunami," kata Direktur Utama PT Reasuransi Maipark Indonesia, Ahmad Fauzie Darwis, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fauzie mengatakan harta benda atau risiko yang diasuransikan terdiri atas hotel, bangunan, rumah, hingga tempat usaha. Total eksposur atau nilai harta benda yang diasuransikan di Provinsi Banten dan Lampung mencapai Rp 307 triliun dan terdiri atas 17.843 risiko. "Kami sudah menginformasikan kepada perusahaan asuransi umum untuk melaporkan klaim bila terjadi kerusakan atas risiko-risiko yang diasuransikan tersebut," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosedur ini, kata Fauzie, sesuai dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/SEOJK.05/2017 tentang Penetapan Tarif Premi atau Kontribusi pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda dan Asuransi Kendaraan Bermotor. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pertanggungan diberikan untuk kerugian atau kerusakan harta benda yang disebabkan oleh gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Banyaknya bencana yang terjadi pada semester kedua tahun ini berdampak peningkatan klaim industri asuransi umum. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat jumlah laporan pengajuan klaim pada bencana gempa dan tsunami di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, serta gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebanyak 969 laporan hingga Oktober lalu. Nilai pertanggungannya masing-masing Rp 5,8 triliun dan Rp 47 triliun.
"Klaim gempa di Lombok dan Palu diperkirakan akan masuk pada kuartal IV 2018, dan sebagian yang belum settled. Klaim tsunami di Selat Sunda diperkirakan masuk di kuartal I 2019," ujar Direktur Eksekutif AAUI, Dody Dalimunthe, kepada Tempo, kemarin.
Dody menjelaskan, klaim bencana umumnya terdiri atas kerugian harta benda bangunan, inventaris, mesin, stok, hingga kendaraan. "Di samping itu, ada klaim meninggal, cacat, dan biaya pengobatan akibat kecelakaan," ucapnya.
Menurut Dody, setelah terjadinya beberapa bencana, AAUI mencatat kian tingginya kesadaran masyarakat untuk berasuransi. "Terutama masyarakat yang wilayahnya rawan bencana," ucapnya. Tahun depan, AAUI memproyeksikan pertumbuhan industri asuransi umum mencapai 10 persen. "Tapi, dengan catatan, semua asumsi ekonomi yang ditargetkan pemerintah tercapai."
Sejumlah perusahaan asuransi sudah membayar klaim pasca-bencana. PT Axa Mandiri Financial Services, misalnya, awal Desember lalu telah membayarkan klaim kepada 19 keluarga korban gempa dan tsunami di Palu. "Kami proaktif melakukan pendataan nasabah yang terkena dampak bencana," ujar Direktur PT Axa Mandiri, Henky Oktavianus.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, meskipun kesadaran meningkat, belum tentu belanja asuransi rata-rata per kapita masyarakat ikut naik. Menurut dia, belanja asuransi per kapita di Indonesia masih rendah. "Bahkan terendah di negara ASEAN," katanya. Penetrasi premi asuransi terhadap produk domestik bruto hanya 1,73 persen, dengan densitas asuransi per kapita sebesar US$ 57,9 tahun 2015. Angka tersebut jauh di bawah Malaysia sebesar 5 persen dengan densitas US$ 472,3 dan Singapura 7,25 persen dengan densitas US$ 3.825.
Irvan mengatakan masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana dapat menambah jaminan perlindungan dalam polisnya. Dia mencontohkan, jika dalam polis standar pertanggungannya hanya kebakaran, konsumen bisa membayar premi tambahan untuk risiko khusus. "Termasuk tsunami, gempa, letusan gunung berapi, juga kerusuhan," ujarnya. GHOIDA RAHMAH
Merugi Akibat Bencana
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo