Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat peningkatan pembayaran klaim program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hingga mencapai Rp 41,64 miliar sepanjang tahun lalu. Kenaikan itu terjadi seiring dengan maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di pengujung 2022 akibat pelemahan permintaan global dan proyeksi resesi perekonomian yang terus menguat.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar-Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, menuturkan jumlah pekerja yang menerima tunjangan pengangguran tersebut mencapai 9.794 kasus, yang kemudian berhak mendapat tiga manfaat dari program JKP. "Tiga manfaat itu meliputi bantuan uang tunai, informasi lowongan kerja, dan pelatihan kerja," ujarnya, kemarin.
Sebagaimana diketahui, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dirancang untuk pekerja segmen penerima upah, seperti karyawan dan buruh pabrik. Tujuannya agar pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup ketika terkena PHK. Menurut Oni, setidaknya ada tiga sektor usaha yang paling mendominasi pengajuan klaim JKP per November 2022.
Pekerja yang paling banyak mengajukan klaim, kata dia, berasal dari sektor industri barang konsumsi, seperti industri rokok, pakaian, dan tekstil. "Besarnya mencapai 40 persen," ujar Oni.
Sebagai gambaran, pada Oktober 2022, total laporan klaim tercatat sebanyak 2.169 pekerja. Jumlah itu melonjak 105 persen dibanding pengajuan klaim pada September 2022 yang sebanyak 1.056 pekerja. Adapun nilai klaim yang dibayarkan pada periode tersebut sebesar Rp 7,09 miliar. Pencairan pengajuan klaim juga masih berjalan karena harus dilakukan secara bertahap. "Kami bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan secara end-to-end untuk memberikan pelatihan dan pendampingan sampai bekerja kembali," ujar Oni.
Penerima manfaat program JKP akan memperoleh bantuan berupa uang tunai setiap bulan selama paling banyak enam bulan berturut-turut. Klaim baru dapat dicairkan setelah pekerja yang terkena PHK diverifikasi BPJS Ketenagakerjaan dan memenuhi syarat sebagai penerima JKP.
Pencairan dana jaminan hari tua (JHT) di kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, 15 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Antisipasi Lonjakan Klaim Tahun Ini
Pada 2023, BPJS Ketenagakerjaan pun menyiapkan antisipasi lonjakan pembayaran klaim dengan menyiapkan strategi pengelolaan investasi untuk menghadapi ancaman resesi global yang diprediksi terjadi tahun ini. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo, sebelumnya mengatakan lembaganya senantiasa antisipatif dan fleksibel dalam mengelola portofolio investasi.
Adapun sejak akhir 2021, perusahaan sudah mulai berfokus pada penempatan portofolio yang bersifat jangka pendek, seperti deposito. Strategi ini sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dan suku bunga yang mungkin terjadi. Selain deposito, portofolio investasi yang dimiliki antara lain surat utang negara (SUN) dengan tenor pendek. BPJS memilih tenor pendek karena
Setali tiga uang, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan gelombang PHK memang masih terus berlanjut pada tahun ini. Pasalnya, resesi global akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor hasil industri, khususnya industri padat karya. Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan, sejak paruh kedua tahun lalu, industri padat karya, khususnya tekstil dan produk tekstil serta alas kaki, mengalami penurunan permintaan hingga 50 persen dari pasar ekspor.
Kondisi tersebut memaksa perusahaan-perusahaan di sektor itu mengerem produksi dan melakukan PHK terhadap karyawannya. "Kemungkinan PHK masih berlanjut. Kami berharap ekspor padat karya bisa rebound di kuartal II 2023 dan semoga permintaan terhadap komoditas ekspor akan bertambah," ujarnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menambahkan, gelombang PHK massal masih berisiko berlanjut, terutama di empat kategori usaha. Pertama, industri berorientasi ekspor, khususnya dengan negara tujuan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Cina. Kedua, perusahaan yang memiliki utang dalam jumlah besar sehingga terjadi kenaikan suku bunga yang membebani keuangan perusahaan. Ketiga, jenis usaha yang sensitif terhadap kenaikan inflasi. "Terakhir, perusahaan digital yang terlalu mengandalkan valuasi, sedangkan investor mulai menuntut profitabilitas dan pertumbuhan simultan," ucap Bhima.
GHOIDA RAHMAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo