Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi memberikan pelajaran pembangunan berkelanjutan.
Undang-Undang Cipta Kerja jadi tantangan berat
PANDEMI adalah bencana kemanusiaan. Hingga 4 Desember 2020, menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah orang yang terjangkit virus corona mencapai 64,3 juta dengan angka kematian hampir 495 ribu. Ekonomi pun mengalami kontraksi hingga 6 persen. Menurut Bank Dunia, pandemi corona menjadi krisis paling buruk sejak Perang Dunia II.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia turut terpengaruh. Kontraksi ekonomi mencapai 5,32 persen pada kuartal kedua dan 3,49 persen pada kuartal ketiga. Pada akhir November lalu, Menteri Keuangan mengumumkan jumlah penganggur bertambah 2,67 juta menjadi 9,77 juta orang. Menurut survei Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 98 persen usaha mikro atau sekitar 63 juta usaha terkena dampak pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program pemulihan pemerintah lebih banyak ditujukan untuk perlindungan sosial dan stimulus bagi dunia usaha, terutama usaha kecil dan mikro. Ini saatnya pemerintah meningkatkan kemampuan adaptasi dan daya lenting masyarakat serta dunia bisnis agar bisa mengatasi segala dampak dari macam-macam krisis, terutama krisis iklim yang mengakibatkan bencana kemanusiaan.
Dengan target menurunkan emisi 41 persen atau 1,1 gigaton setara CO2 pada 2030, Indonesia membutuhkan US$ 247,2 miliar atau sekitar US$ 19 miliar per tahun. Menurut Menteri Keuangan, pendanaan iklim di bawah 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menurun pada tahun ini karena anggaran tersedot untuk mengatasi pandemi.
Di luar APBN, sumber pembiayaan melalui obligasi hijau sejak 2018 mendapat US$ 2,75 miliar per tahun. Dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek energi terbarukan, efisiensi energi, serta mitigasi banjir. Semua pendanaan iklim terpusat di lembaga baru Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, yang mengelola US$ 103,78 miliar. Ekspektasi penurunan emisi dari pendanaan itu sebesar 8,9 gigaton setara CO2.
Dari pendanaan publik itu, dalam lima tahun terakhir (2016-2020) Indonesia telah mampu mendanai sekitar 34 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim nasional setiap tahun. Untuk mengatasi gap pembiayaan sebesar 66 persen, Indonesia membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta. Cara efektif mobilisasi kontribusi sektor swasta dalam investasi hijau adalah meningkatkan peran sektor keuangan, termasuk bank, lembaga keuangan nonbank, dan pasar modal.
Komitmen Indonesia dalam keuangan berkelanjutan dijabarkan dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan 2015-2019 yang diprakarsai Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017 tentang keuangan berkelanjutan. Pada 2018, delapan bank masuk kelompok keuangan hijau, yang membiayai proyek-proyek energi terbarukan, efisiensi energi, bangunan hijau, infrastruktur hijau, pencegahan polusi dan pengelolaan sampah, pertanian berkelanjutan, perikanan berkelanjutan, serta pariwisata berkelanjutan.
Pariwisata masih dianggap berisiko tinggi. Di sektor infrastruktur, perbankan menanggung sebagian besar pendanaan. Secara berurutan, pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan dengan tingkat non-performing loan rendah hingga tinggi pada 2017 adalah pembiayaan pada sektor energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, perikanan berkelanjutan, bangunan hijau, efisiensi energi, pariwisata berkelanjutan, infrastruktur hijau, serta pencegahan polusi dan pengelolaan sampah.
Pemerintah juga mendorong asuransi, reasuransi, dan lembaga pembiayaan memberikan pembiayaan berkelanjutan. Dari survei Ismalina et al (2018) terhadap 44 perusahaan asuransi, 78 persen responden memahami pengembangan produk asuransi yang menimbang manfaat ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Di sektor pasar uang, dorongan membentuk pasar modal yang berkelanjutan muncul sejak 2009 melalui pembentukan indeks investasi berkelanjutan dan bertanggung jawab. Indeks ini menilai bermacam bentuk pertimbangan usaha yang berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis yang diterima di tingkat internasional.
Di tengah pandemi dan usaha-usaha ramah lingkungan itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Jika tidak dikawal peraturan pelaksanaannya, pasal-pasal yang mengatur lingkungan hidup, terutama tentang analisis mengenai dampak lingkungan, kemudahan perizinan usaha untuk kawasan hutan lindung, pemusatan pengurusan izin lingkungan, hingga pemberian bebas konsesi kepada perusahaan pertambangan, akan menjadi jalan mundur pembangunan berkelanjutan.
Penurunan emisi karbon nasional terhadap target 2030—hingga 7,85 persen pada 2018—menunjukkan inkonsistensi kebijakan dan penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran aturan lingkungan hidup. Akibatnya, skor pembangunan berkelanjutan 2020 Indonesia masih di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Skor Indonesia 101, hanya di atas Myanmar dan Kamboja.
Pandemi seharusnya memberikan pelajaran dengan tidak membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan pembangunan berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo