SATU-satunya produsen perkakas berat, misalnya roda lori, bantalan kereta api, dan pelbagai peralatan pabrik dan tambang, PT Barata Foundry Centre (BFC) mantap menargetkan kenaikan produksi baja cornya dari 2.500 ton/tahun mendekati kapasitas terpasang 6.000 ton/tahun. "Soalnya, perusahaan baru dapat berproduksi secara komersial jika mencapai di atas 3.500 ton," ujar S. Dardjan, manajer eksekutif BFC Gresik kepada TEMPO, pekan lalu. PT Barata Indoncsia, dengan enam anak perusahaan termasuk BFC, memang berniat meningkatkan produksinya yang 8.000 ton/tahun menjadi 30.000 ton/tahun. Tetapi "Selama ini kami hanya melayani job order," kata Dardjan tentang perusahaan yang berdiri pada 1978 dengan investasi Rp 4,6 milyar itu. Dari tiga komponen pasar, original equipment, public market, dan suku cadang, BFC baru mengisi komponen terakhir. Dardjan mengakui uluran tangan pemerintah untuk pemasaran produksinya. Misalnya, pesanan 200 bogie dari PJKA, yang dimenangkan Korea, 1982. "Dari jumlah itu, lima puluh ditarik dan diserahkan kepada kami," ujar pria 47 tahun itu. Bogie, perangkat roda kereta api yang berharga Rp 29,5 juta per buah itu, akhirnya dibuat BFC berdasarkan lisensi dari Commonwealth Steel Australia. Pembuatan bogie, yang bobotnya sekitar tiga ton itu, memang menjanjikan prospek cerah. Paling tidak dibutuhkan sekitar 210 bogie/tahun. Belum lagi melayani kebutuhan pembuatan kereta api, onderdil pabrik pupuk dan semen, serta keperluan alat angkutan laut dan tambang. Hanya, di samping order yang masih sedikit, "Kami juga harus bersaing dengan produk impor," tutur Toto Pramono, plant manager BFC Gresik. Barata masih memiliki sebuah BFC di Pulogadung, Jakarta, khusus untuk mengecor besi. Sebagai badan usaha milik negara, BFC memang diserahi pemerintah menangani kebutuhan strategis. Juga agar tidak menyaingi industri tradisional pengecoran, seperti yang terdapat di Ceper, Klaten, atau Tegal. Karena itu, "Kami membuat komponen yang tak bisa diproduksikan secara tradisional," ujar seorang staf direksi PT Barata. Dalam soal tungku, misalnya, industri tradisional hanya bisa mencapai 1.350C. BFC menggunakan bahan baku besi tua yang dibeli dari pedagang swasta. Tentu ada bahan tambahan, yang bobotnya sekitar 2% sampai 3%. Bahan tambahan ini antara lain nikel, krom, dan mangan. Dua yang terakhir masih diimpor. Baja mangan biasa digunakan sebagai pisau pemecah batu pada mesin pengaduk beton Sebelum diproduksikan di dalam negeri, baja mangan ini mencapai harga Rp 17.000/kg. Setelah BFC mulai memproduksikannya, harga itu anjlok sampai Rp 5.000/kg. PT Semen Gresik termasuk yang menggunakan produk BFC - bahkan sejak 1979. Mereka mula-mula menggunakan bola baja (grinding balls) buatan BFC, yang berfungsi menggiling bahan mentah, seperti batu kapur, pasir silika, dan pasir besi, dalam proses basah. Bola baja juga digunakan menghaluskan produk setengah jadi, baik dalam proses basah maupun kering. Tahun ini, Semen Gresik memesan sekitar 35 ton bola baja BFC, atau sekitar 10% kebutuhan setahun. Sisa kebutuhan itu ditutup dengan memesan bola baja dari AS, Belgia, Australia, Filipina, dan Jepang. Lalu, mengapa memakai produk BFC? "Selain mendukung produk dalam negeri, juga mengingat faktor jarak dan jaminan kontinuitas pengadaan," sahut Subroto, humas Semen Gresik. Dari segi harga, Subroto mengakui produk BFC lebih mahal ketimbang barang impor. Dari segi mutu, ia belum berani mengambil kesimpulan. "Masih terus dilakukan pengamatan, dengan harapan mutu bola baja BFC tersebut akan menjadi lebih baik," katanya. Perbedaan harga ini diakui Toto Pramono, dengan alasan pabrik belum bekerla menurut kapasitas terpasang. Hanya, untuk job order, kata Toto, harga produk BFC bisa lebih rendah 10% sampai 15%. Dardjan sendiri tak membantah, kecilnya order sering membuat perusahaannya tidak mencapai keuntungan komersial. "Tetapi tidak rugi, kok," katanya cepat. "Yah, hitung-hitung untuk promosi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini