KEPAHITAN masih menyelimuti pabrik gula Camming di Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan. Kontraktor India, Triveni Works Engineering, konon telah merampungkan proyek bernilai Rp 18 milyar itu dengan berbagai ganjalannya. Para stafnya sudah pulang ke India, sedangkan manajer umumnya, yang pulang Jumat lalu, enggan memberikan penjelasan. Hanya, diungkapkan oleh sekretarisnya bahwa pabrik telah diserahkan kepada PTP XX, belum lama ini. Triveni, menurut beberapa pejabat yang membawahkan proyek gula Camming, kini didesak untuk membayar ganti rugi karena sangat lambat menyelesaikan proyek. Pabrik yang mulai dibangun sejak Mei 1982 itu seharusnya selesai Mei 1984. Ternyata, Triveni, yang dibantu subkontraktor PT Aneka Usaha Perkebunan dengan rekanannya, seperti PT Gruno Nasional, melanggar batas kontrak.Akibatnya, perkebunan tebu seluas 600 ha yang dibuka PTP XX tahun 1983 itu mengalami kerugian: sekitar 600 ton tebu panen 1984 harus diangkut sekitar 100 km ke pabrik pengolahan di Bone. Para mitra usaha jadinya tertunda-tunda melaksanakan pekerjaan. Gruno, misalnya, yang kebagian pekerjaan rumah ketel (boiling house). Semula kontraktor itu memperhitungkan bisa melaksanakan pekerjaan 200 ton sebulan, tapi nyatanya hanya 20 ton. Berbagai sumber mengatakan bahwa banyak penyebab kelambatan itu. Yang terang menurut Abdul Rasjid, Direktur Pengembangan PTP XX, pemilik proyek tidak pernah menunda pembayaran. Jadi, pangkal kelambatan utama adalah tidak jelasnya koordinasi pelaksanaan proyek dari awal. Misalnya Triveni, yang menguasai porsi 70% pekerjaan bernilai sekitar Rp 16,5 milyar, sebenarnya harus menempatkan diri sebagai kontraktor utama. Tapi, ternyata, ia bersikap seolah-olah hanya sebagai pemasok barang modal berupa mesin dan peralatan. Kenyataan lain, sebagian besar material peralatan diimpor bukan dari India, tapi dari Taiwan dan Jepang yang ternyata juga tersendat-sendat. Direktur Produksi PT Gruno Nasional, W.L.U. Pondaag, menambahkan bahwa Triveni rupanya juga melalaikan pekerjaan perangkat lunak, seperti rancang bangun dan rekayasa. Pada waktu proyek gula Camming ditenderkan, kabarnya, semula Triveni berada di bawah urutan kontraktor Jepang dan Pakistan. Namun, kontraktor yang memiliki beberapa pabrik komponen pabrik gula di India itu rupanya mendapatkan keberuntungan oleh kunjungan Perdana Menteri India, waktu itu, Indira Gandhi. Lagi pula, pabrik itu dibangun sebagian besar dengan biaya pinjaman lunak dari India: 148.410.000 rupee berjangka 10 tahun, dengan masa bebas angsuran dan pinjaman empat tahun. Dana dalam negeri hanya Rp 6 milyar. Sewaktu tender diadakan, India masih merupakan pemasok gula terbesar bagi Indonesia. Tahun 1982, Indonesia mencatat rekor impor gula 689,8 ribu ton, di antaranya 54% dari India. Latar belakang hubungan ekonomi dengan India itu, agaknya, ikut dipertimbangkan dalam program pembangunan pabrik-pabrik gula di luar Jawa dalam usaha mewujudkan swasembada gula. Pabrik gula di Camming adalah salah satu dari enam yang dibangun untuk tahap I. Lima pabrik lain bisa rampung sesuai dengan rencana. Hanya pabrik di Camming yang ditangani Triveni itu yang sangat terlambat. Menurut Sekjen Departemen Pertanian, Sjarifudin Baharsjah, negosiasi ganti rugi akibat keterlambatan penyelesaian proyek Camming itu sudah dilangsungkan. Sumber lain mengatakan bahwa negosiasi itu sampai dibicarakan di jalur diplomasi tingkat tinggi. Hasilnya masih harus ditunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini