Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kontribusi UMKM dalam rantai pasok industri nasional hanya 4,1 persen.
Pemerintah mendorong UMKM bermitra dengan pelaku usaha besar agar dapat masuk ke rantai pasok industri.
Pemerintah memberi insentif bagi industri besar yang menggandeng UMKM ke dalam rantai pasoknya.
JAKARTA — Tingkat kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam rantai pasok industri nasional masih sangat kecil, yakni baru sebesar 4,1 persen. Hal ini diungkapkan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki di gedung Smesco, Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah akan terus mendorong program kemitraan antara UMKM dan pelaku usaha besar. "Kami menargetkan angka kontribusi tersebut bisa naik dua kali lipat pada 2024. Sebab, kemitraan UMKM dengan usaha besar ini sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja," tutur Teten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam UU Cipta Kerja, terdapat aturan pemberian insentif bagi pelaku usaha besar yang melibatkan pelaku UMKM dalam rantai pasok mereka. Insentif yang diberikan pemerintah, kata Teten, antara lain, terkait dengan pengupahan dan pajak. "Harus ada insentif buat pelaku usaha besar yang mau membagi sebagian produksinya kepada pelaku usaha kecil."
Sebagai implementasi program kemitraan itu, pada September tahun lalu, Kementerian Koperasi dan UKM menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Sebagai uji coba, enam BUMN dilibatkan untuk menjalin kemitraan dengan koperasi, UMKM, serta industri skala kecil dan menengah dalam rantai pasok mereka.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (kanan), Menteri BUMN Erick Thohir (tengah), dan Dirut Bank Syariah Indonesia (BSI), Hery Gunardi, melihat produk UMKM dalam peluncuran Talenta Wirausaha BSI di gedung Smesco, Jakarta, 19 Januari 2022. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Keenam BUMN yang terlibat adalah Pertamina, PLN, Kimia Farma, Krakatau Steel, Perum Perhutani, dan Rajawali Nusantara Indonesia. Tahun ini, Kementerian Koperasi kembali menjajaki program kemitraan usaha kecil dengan BUMN.
Melalui program semacam ini, Teten berharap, akan terjadi transfer teknologi dan pengetahuan dari pelaku usaha besar ke pelaku usaha kecil. Dengan demikian, UMKM bisa mengembangkan produk berbasis inovasi dan teknologi. "Jadi, kalau industri maju, UMKM-nya maju juga," kata Teten.
Sekretaris Kementerian Koperasi, Arif Rahman Hakim, memaparkan, selain dengan BUMN pelaku usaha, swasta dilibatkan dalam program kemitraan. Ia mencontohkan perusahaan produk busana asal Jepang, Uniqlo, yang membuat program Neighborhood Collaboration. Lalu perusahaan furnitur asal Swedia, Ikea, lewat program Teras Indonesia. “Perusahaan lain yang sudah terlibat adalah InaProduct, Accor Group, MNC Group, dan lainnya," ujar Arif kepada Tempo, kemarin.
Lebih rinci, Arif mengatakan, pada 2021, setidaknya ada 307 unit koperasi dan UMKM yang mengikuti program kemitraan dengan BUMN maupun perusahaan swasta tersebut. Estimasi nilai kerja samanya mencapai Rp 284,28 miliar. Ia berharap kolaborasi ini bisa mendorong animo pelaku usaha lain untuk terlibat. Kemudian insentif yang disediakan pemerintah juga bisa membuat program kemitraan berjalan secara berkesinambungan.
Upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan produk UMKM nasional dalam rantai nilai global. Saat ini tingkat rasionya masih sangat rendah, yaitu hanya 6,3 persen. Jauh di bawah Malaysia sebesar 46,2 persen, Thailand (29,6 persen), Vietnam (20,1 persen), dan Filipina (21,4 persen). "Kontribusi ekspor (UMKM) Indonesia juga masih di angka 14 persen. Masih jauh dibandingkan dengan Jepang yang sudah sebesar 54 persen dan Cina sebesar 70 persen."
Dari kiri, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki; Menteri BUMN Erick Thohir; Dirut Bank Syariah Indonesia (BSI), Hery Gunardi; serta Deputi Bidang Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM, Siti Azizah, saat peluncuran program Talenta Wirausaha BSI di gedung Smesco, Jakarta, 19 Januari 2022. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai rendahnya keterlibatan UMKM dalam rantai pasok industri nasional terjadi karena perusahaan besar masih memandang usaha kecil sebagai obyek program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Di sisi lain, kualitas produk UMKM juga masih menjadi persoalan.
“UMKM harus punya standar kualitas yang cukup, misalnya, dalam hal kontrol kualitas, pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga pengembangan sumber daya manusia. Dengan begitu, mereka mampu memenuhi spesifikasi yang diminta perusahaan besar,” kata Bhima.
Persoalan lainnya adalah pelaku usaha kecil yang ingin bermitra dengan perusahaan besar menghadapi kesulitan pembiayaan atau permodalan. Apalagi perusahaan besar biasanya membutuhkan kepastian kontrak jangka panjang. Hal itu, ujar dia, akan berimplikasi pada UMKM dengan kapasitas permodalan kecil. “Mereka akan sulit memenuhi permintaan skala besar.”
Bhima mengatakan keterlibatan UMKM dalam rantai pasok industri sangatlah penting agar mereka bisa meningkatkan status menjadi usaha besar. Rendahnya kontribusi UMKM dalam rantai pasok industri nasional mengakibatkan jumlah usaha berskala mikro di Indonesia masih sangat banyak. Saat ini diperkirakan 90 persen dari 64 juta unit UMKM masih berupa usaha mikro.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo