Bank-bank yang memiliki kredit seret (non-performing loan/NPL) tinggi akhirnya bisa bernapas lega. Dalam pernyataan yang dikeluarkan Rabu pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mengemukakan bahwa batas waktu pemenuhan batas maksimum kredit seret sebesar lima persen diundur dari akhir tahun ini menjadi akhir Juni 2003.
Pengunduran tenggat ini memang tak terelakkan karena dalam laporan keuangan perbankan nasional per September lalu terungkap bahwa rata-rata kredit seret perbankan saat ini masih 10,8 persen—dari total pinjaman Rp 387,7 triliun, kredit bermasalahnya mencapai Rp 41,9 triliun. ”Keputusan ini dikeluarkan bukan karena ketidaksiapan perbankan, melainkan karena adanya peledakan bom di Bali,” kata Syahril Sabirin kepada pers Rabu pekan lalu.
Tak jelas apakah ada hubungan antara kredit seret dan bom atau tidak. Yang pasti, beberapa bank besar memang menghadapi rasio kredit bermasalah tinggi, di antaranya tiga bank pemerintah: Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank Tabungan Negara. Berdasarkan laporan keuangan per September 2002, ketiganya memiliki kredit seret 9,15 persen, 8,38 persen, dan 9,49 persen.
Menurut ekonom Dradjad H. Wibowo, BI tak punya cara lain untuk menyelesaikan masalah itu kecuali mengundur tenggat waktunya. ”Mustahil bank-bank ini bisa menekan kredit bermasalahnya di bawah lima persen,” katanya. Dia menyarankan kepada pemerintah agar memberikan stimulus fiskal yang besar supaya sektor riil bergerak. Pada gilirannya nanti, perbankan yang akan melanjutkannya dengan pemberian kredit baru. Jika besaran kredit yang dikucurkan bertambah, angka kredit seretnya otomatis akan turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini