SERTIFIKAT bukti hak (SBH) masih jadi silang sengketa. Pekan lalu giliran Komite Pemantau mengingatkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengenai sikap mereka dalam soal SBH ini. Dalam memonya, komite ini menilai bank pemegang SBH tidak berhak menerima hasil penagihan atas penjualan kredit bermasalahnya setelah waktu tiga tahun terlampaui. Dana juga harus digunakan membeli saham milik pemerintah seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 53 Tahun 1999 tentang Rekapitalisasi Bank Umum.
Memo ini dikeluarkan karena komite kebijakan sektor keuangan, Juni lalu, mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan bank rekap menerima hasil penjualan kredit bermasalahnya setelah batas jatuh tempo tiga tahun. Alasannya, ketika jatuh tempo, kredit bermasalah belum direstrukturisasi atau dijual BPPN. Lembaga ini berbaik hati memberikan batas maksimum 25 persen tingkat pengembalian. KKSK bahkan membolehkan penggunaan dana itu untuk membayar kewajiban ke BPPN kalau pemilik lama bank termasuk yang tidak lulus uji kelayakan dan kepantasan.
Menurut Komite Pemantau, perubahan nilai dan penggunaan SBH harus mendapat persetujuan dari pembuat SKB, yaitu Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Kalaupun disetujui, masih harus ditelaah kembali apakah penggunaan nilai rata-rata hasil penjualan yang telah dilakukan BPPN sudah mencerminkan nilai wajar kredit bermasalah.
Sebelumnya, gencar diisukan keputusan KKSK itu untuk mengakomodasi kepentingan pemegang saham lama Bank Internasional Indonesia (BII). Ketika jatuh tempo Mei lalu, dari Rp 7,2 triliun kredit macet Grup Sinar Mas, yang dapat dijual BPPN hanya Rp 380 miliar. Berarti seharusnya SBH pemilik lama hanya sebesar itu. Nyatanya, keputusan KKSK membuat nilai SBH BII melonjak menjadi lebih dari Rp 1,4 triliun. Dana itu kemudian mereka gunakan untuk membayar sebagian kewajibannya ke negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini