PERS Indonesia bak pemain akrobat yang meniti seutas tambang.
Atau, bak sebuah perahu yang menuju ke pulau "Kepentingan
Nasional" yang perairannya penuh ranjau. Itulah antara lain
gambaran pers kita menurut sejumlah karikaturis peserta
sayembara karikatur untuk merayakan ulang tahun harian Sinar
Harapan, Jakarta, yang ke-22. Dan 24-30 April lalu, 106 dari dua
ribu karikatur peserta sayembara, terpilih untuk dipamerkan di
lobi Gedung Utama PT Sinar Kasih (yang menerbitkan harian
tersebut).
Dari sayembara karikatur yang bertemakan "Peran Serta Pers dalam
Pembangunan Nasional" ini, tergambarkan berbagai hambatan yang
menjegal pers kita untuk "membangun". Budiman Latief dari
Jakarta menggambarkan kritik sosial yang dilancarkan pers
bisa-bisa menjadi bumerang. Pena wartawan yang sedang berlari
itu terlepas, dan tiba-tiba berbalik langsung menuju dadanya.
Yang lain, karikatur Lim Bun Chai, dari Jakarta pula,
menggambarkan betapa kebudayaan teguran lewat telepon bisa
menjatuhkan semangat wartawan. Sudah susah-susah, gentayangan
mencari kebenaran sebuah isu, ketika mau naik cetak tersandung
kabel telepon. Mau apa, coba. Pun yang ini: sementara pers
bersusah payah menumbuhkan pohon pembangunan, tiba-tiba datang
oknum yang membabat pohon itu dengan kelewang.
Sejumlah surat kabar memang sudah secara rutin memasang
karikatur sebagai salah satu cara beropini koran tersebut -- di
samping tajuk rencana. Tapi, kebanyakan karikatur di koran-koran
kita tidak terlalu digarap gambarnya, dan biasanya masih
mengandalkan kata-kata untuk menyampaikan isinya.
Pemenang pertama sayembara karikatur Sinar Harapan pun
sesungguhnya tidak mengandalkan gambar, tapi kata-kata. Seorang
tuan besar tengah memaki-maki pelayan restoran sambil menggebrak
meja: "Sudah saya bilang: satu porsi kritik tanpa cabe! Tanpa
cabe!!!" Si pelayan, yang lengan bajunya bertuliskan "pers" itu,
cuma berdiri bengong dan tubuhnya berlumuran "satu porsi kritik"
itu tadi. Inilah karya Thomas Aquino Lionar dari Bangka, yang
mengingatkan karikatur Muchsin Zain yang dimuat TEMPO, 29
Januari 1972. Sang wartawan (tampangnya mengingatkan pada Jakob
Utama, Pemimpin Redaksi Kompas) bertanya kepada seorang pejabat:
"Kritik manis atau pedas?"
Dilihat dari segi gambar karya Mochamad Imam Bahtera, pemenang
ke-2, lebih tampil. Karikatur ini menggambarkan pena wartawan
yang menjadi melengkung, impoten, ketika telepon berdering.
Sederhana tapi cukup berbicara.
Secara keseluruhan pameran karikatur ini tidak mencerminkan
gerak kreativitas. Karikatur yang sebenarnya diharapkan memiliki
kebebasan menajamkan suatu masalah hingga menjadi begitu khas,
atau menjadi begitu kocak, tak tertampilkan di sini. Sebagian
besar bila tidak hanya sekadar ilustratif (misalnya
mengibaratkan pers sebagai becak di tengah lalu lintas mobil dan
motor yang gegap gempita), ya, menjadi semacam poster
pembangunan (pers dengan cetok penanya menyemen bata pembangunan
dengan berita-berita). Apa lagi hampir semuanya mencoba membela
pers, sambil memojokkan keadaan. Suatu sikap yang hambar,
mengingat pameran ini diselenggarakan pihak pers. Mirip
karikatur yang mengejek mereka yang tertindas -- terasa
berlebihan dan tidak adil. Semestinya karikatur memencongkan
mereka yang berada di atas, atau memencengkan diri sendiri.
Maka sebuah karikatur yang mengejek bagaimana wartawan ketakutan
dikejar polisi, dalam pameran ini, bisa sangat menarik. Karya
Jaya Rahmad ini menampilkan gambar sebuah tustel besar dan
seorang wartawan yang gemetar ketakutan bersembunyi di balik
lampu blitz. Sementara di sudut kiri tustel ini berjalan seorang
polisi memutar-mutar pentungannya. Siapa bilang wartawan tak
kenal takut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini