GARIS wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan seumur hidup
dia memang tidak juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika
berita kematiannya tersebar, yang nampak paling kehilangan
justru orang Jawa Barat. Ketika Jumat petang lalu, jenazahnya
diantarkan ke TMT Cikutra, Bandung, bukan cuma tembakan salvo
yang mengiringkan kepergian Veteran itu. Jalan macet oleh ribuan
pengantar termasuk para pejabat tinggi setempat.
Besoknya, dengan tajuk rencana, harian Pikiran Rakyat (PR) koran
terbesar di Ja-Bar meratapi kepergiannya: "Pemimpin kami, guru
kami, ayah kami, sahabat dan kalega kami, tiba-tiba pergi
meninggalkan kita semua."
Sakti Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon, almarhum itu,
rupanya bukan cuma seorang pemimpin umum sebuah surat kabar yang
kebetulan besar di daerah seperti PR. Tapi, kata Haji Ahmad
Saelan, ketua PWI Ja-Bar dan seorang staf redaksi PR, "dia kaya
dengan gagasan besar."
Di awal 1970 adalah masa sulit bagi pers daerah. Jaringan
komunikasi dan transportasi yang membaik menyebabkan koran
ibukota menyelusup ke mana-mana. Tapi Sakti dengan PR-nya tidak
muncul dengan semangat berperang. Prinsipnya: "Biar orang pegang
koran Jakarta di tangan kanan, kita cukup di tangan kiri." Untuk
itu, resepnya, dia memperbesar porsi berita daerah di PR.
"Sekarang di Ja-Bar, kami yakin PR bukan koran tangan kiri
lagi," tambah Atang Ruswita, Pemred I PR sedikit bangga.
Memang dengan oplah sekarang 115.000, dan nyaris sepertiga dari
12 halamannya disita iklan, harian ini tak cuma menjadi koran
daerah yang paling mapan: Betul, 80% oplahnya beredar di Ja-Bar,
tapi beberapa tahun terakhir PR sudah berani memasuki Medan,
Solo, Surabaya, bahkan Jakarta. Sebagai pengganti peranan koran
"tangan kiri" itu, menurut Atang, diterbitkanlah PR edisi Ciamis
(1972) dan PR edisi Cirebon (1980), dua koran milik PR yang jadi
proyek KMD.
Di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, sebuah kantor baru nyaris
rampung, untuk menampung karyawannya yang hampir 350 orang.
"Padahal semua itu kami mulai dengan modal dengkul," kata Atang,
yang kini menjabat ketua Pelaksana Harian PWI Pusat sambil
tertawa.
Meletakkan dasar bagi perusahaannya, saham perusahaan
dibagi-bagikan Sakti kepada 30 orang para pendiri, masing-masing
3 saham biasa dan 3 saham istimewa. "Dia sendiri memegang saham
yang sama jumlahnya dengan kami," cerita Atang. Tapi Atang
Ruswita, orang paling senior di sana setelah Sakti pergi,
merasakan kelemahan sistem itu. Misalnya, sampai kapan pembagian
saham itu bisa berlangsung, karena pemegang saham-terus
bertambah seiring dengan membengkaknya jumlah karyawan yang
mempunyai masa kerja 10 tahun. Sementara itu ada peraturan bahwa
saham karyawan yang meninggal dunia dapat diwariskan. Maka,
menurut anggota DPR dari FKP ini," kita sedang pikirkan jalan
keluarnya, tapi prinsipnya tak berubah."
Selain itu, setelah Sakti tak ada, siapa pun penggantinya akan
memikul beban yang berat. Sebab Sakti betul-betul orang nomor I.
Dia adalah direktur PT Pikiran Rakyat yang mengelola PR dan anak
usahanya yang lain seperti bengkel, armada angkutan dan
perusahaan periklanan. Dia juga direktur PT Granesia yang
mengusahakan percetakan. Dan di situ dia tak punya orang nomor
2. Belum tampak tampil siapa kader-kader almarhum.
Lahir 1922 di Sungai Karang, sebelah selatan Medan, setamat
sekolah kejuruan tingkat SLA Sakti Alamsyah kemudian terlempar
ke Bandung. Menjadi redaktur di Siaran Radio Bandung (sekarang
RRI Bandung), sampai kemudian dia menjadi wartawan PR, 1951.
Karirnya cepat melompat: empat tahun di situ dia sudah menjabat
Pemred.
Dia ada mencipta beberapa lagu. Bahkan sempat jadi pemeran utama
di dalam film Kabut Desember, bersama Dahlia, di tahun 1950-an.
Ketika dia kesal karena beslitnya sebagai dosen di Fakultas
Publisistik Unpad tak kunjung keluar, meski sudah bertahun-tahun
mengajar di sana, dia lampiaskan kekesalannya itu pada secarik
kertas dan diselipkannya di dalam map di rumahnya. Surat kabar
memang tak mampu menampung semua tulisan wartawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini