Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Gagasan "tangan kiri sakti"

Sakti alamsyah (pemred), meninggal dunia. meninggalkan harian pikiran rakyat yang sedang jaya dan sejumlah usaha lain. (md)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARIS wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan seumur hidup dia memang tidak juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika berita kematiannya tersebar, yang nampak paling kehilangan justru orang Jawa Barat. Ketika Jumat petang lalu, jenazahnya diantarkan ke TMT Cikutra, Bandung, bukan cuma tembakan salvo yang mengiringkan kepergian Veteran itu. Jalan macet oleh ribuan pengantar termasuk para pejabat tinggi setempat. Besoknya, dengan tajuk rencana, harian Pikiran Rakyat (PR) koran terbesar di Ja-Bar meratapi kepergiannya: "Pemimpin kami, guru kami, ayah kami, sahabat dan kalega kami, tiba-tiba pergi meninggalkan kita semua." Sakti Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon, almarhum itu, rupanya bukan cuma seorang pemimpin umum sebuah surat kabar yang kebetulan besar di daerah seperti PR. Tapi, kata Haji Ahmad Saelan, ketua PWI Ja-Bar dan seorang staf redaksi PR, "dia kaya dengan gagasan besar." Di awal 1970 adalah masa sulit bagi pers daerah. Jaringan komunikasi dan transportasi yang membaik menyebabkan koran ibukota menyelusup ke mana-mana. Tapi Sakti dengan PR-nya tidak muncul dengan semangat berperang. Prinsipnya: "Biar orang pegang koran Jakarta di tangan kanan, kita cukup di tangan kiri." Untuk itu, resepnya, dia memperbesar porsi berita daerah di PR. "Sekarang di Ja-Bar, kami yakin PR bukan koran tangan kiri lagi," tambah Atang Ruswita, Pemred I PR sedikit bangga. Memang dengan oplah sekarang 115.000, dan nyaris sepertiga dari 12 halamannya disita iklan, harian ini tak cuma menjadi koran daerah yang paling mapan: Betul, 80% oplahnya beredar di Ja-Bar, tapi beberapa tahun terakhir PR sudah berani memasuki Medan, Solo, Surabaya, bahkan Jakarta. Sebagai pengganti peranan koran "tangan kiri" itu, menurut Atang, diterbitkanlah PR edisi Ciamis (1972) dan PR edisi Cirebon (1980), dua koran milik PR yang jadi proyek KMD. Di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, sebuah kantor baru nyaris rampung, untuk menampung karyawannya yang hampir 350 orang. "Padahal semua itu kami mulai dengan modal dengkul," kata Atang, yang kini menjabat ketua Pelaksana Harian PWI Pusat sambil tertawa. Meletakkan dasar bagi perusahaannya, saham perusahaan dibagi-bagikan Sakti kepada 30 orang para pendiri, masing-masing 3 saham biasa dan 3 saham istimewa. "Dia sendiri memegang saham yang sama jumlahnya dengan kami," cerita Atang. Tapi Atang Ruswita, orang paling senior di sana setelah Sakti pergi, merasakan kelemahan sistem itu. Misalnya, sampai kapan pembagian saham itu bisa berlangsung, karena pemegang saham-terus bertambah seiring dengan membengkaknya jumlah karyawan yang mempunyai masa kerja 10 tahun. Sementara itu ada peraturan bahwa saham karyawan yang meninggal dunia dapat diwariskan. Maka, menurut anggota DPR dari FKP ini," kita sedang pikirkan jalan keluarnya, tapi prinsipnya tak berubah." Selain itu, setelah Sakti tak ada, siapa pun penggantinya akan memikul beban yang berat. Sebab Sakti betul-betul orang nomor I. Dia adalah direktur PT Pikiran Rakyat yang mengelola PR dan anak usahanya yang lain seperti bengkel, armada angkutan dan perusahaan periklanan. Dia juga direktur PT Granesia yang mengusahakan percetakan. Dan di situ dia tak punya orang nomor 2. Belum tampak tampil siapa kader-kader almarhum. Lahir 1922 di Sungai Karang, sebelah selatan Medan, setamat sekolah kejuruan tingkat SLA Sakti Alamsyah kemudian terlempar ke Bandung. Menjadi redaktur di Siaran Radio Bandung (sekarang RRI Bandung), sampai kemudian dia menjadi wartawan PR, 1951. Karirnya cepat melompat: empat tahun di situ dia sudah menjabat Pemred. Dia ada mencipta beberapa lagu. Bahkan sempat jadi pemeran utama di dalam film Kabut Desember, bersama Dahlia, di tahun 1950-an. Ketika dia kesal karena beslitnya sebagai dosen di Fakultas Publisistik Unpad tak kunjung keluar, meski sudah bertahun-tahun mengajar di sana, dia lampiaskan kekesalannya itu pada secarik kertas dan diselipkannya di dalam map di rumahnya. Surat kabar memang tak mampu menampung semua tulisan wartawannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus