MULAI bulan ini, pelbagai bank pemerintah akan memberikan bunga
menarik untuk deposito berjangka 6 bulan. Beleid untuk menyedot
kembali dana rupiah, yang membanjir sesudah devaluasi itu,
dikemukakan Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan lalu. Tanpa
menyebut ancar-ancar kenaikan bunga itu, Menkeu Radius
mengatakan pihak bank mempunyai kebebasan penuh menentukan
tingkat bunga baru deposito itu.
Sejumlah bankir swasta menduga tingkat bunga deposito berjangka
6 bulan itu akan naik dari 6% jadi sekitar 8% per tahun. Tapi
berapa persisnya tingkat bunga itu, Dirut Bank Bumi Daya Omar
Abdalla, yang mula-mula mengungkapkan beleid baru di bidang
perbankan itu kepada Suara Kaya, belum bersedia mengatakannya.
Ketika dihubungi, Dirut BNI 1946 Somala Wiria, juga masih belum
bisa memberikan angka perkiraan. "Kami masih harus menghitungnya
secara cermat," katanya.
Perhitungan cermat memang harus dilakukan. Jika volume deposito
berjangka 6 bulan itu lebih besar dibandingkan dengan yang
berjangka 3 bulan dan 24 bulan, kenaikan tingkat bunga tentu
tidak akan besar. Sampai minggu pertama Maret, volume deposito 6
bulan di pelbagai bank pemerintah seperti BBD, dan BNI 1946,
tercatat Rp 11,6 milyar atau hanya 1,3% dari jumlah total
deposito Rp 905,3 milyar. Mengingat volume deposito 6 bulan itu
tidak besar, kenaikan bunga 1 sampai 2% tentu tidak akan
menyebabkan pengeluaran operasional untuk biaya bunga naik
menyolok.
Kendati demikian, menurut Somala Wiria, bank tetap harus
memperhitungkan dengan baik pengeluaran biaya bunga untuk
deposito dengan komponen dana lainnya. Sebagai sumber dana dari
pihak ketiga, deposito memang merupakan sumber dana mahal jika
dibandingkan rekening giro, tabungan, 'maupun likuiditas dana
dari Bank Indonesia. Untuk dana likuiditas dari BI bagi kredit
ekspor, misalnya, bank hanya mengeluarkan biaya bunga 4%. Besar
kecilnya setiap komponen sumber dana itu Jelas turut menentukan
volume biaya dana (cost of fund), yang harus dikeluarkan, "Jadi
kalau sumber dana yang mahal itu tidak banyak, ya tidak sakit
buat bank," ujar Somala.
Buat bank swasta nasional, dan asing, pengeluaran biaya bunga
untuk deposito 6 bulan cukup besar mengingat suku bunga yang
mereka berikan berkisar antara 1618% per tahun. Citibank,
misalnya, memberikan bunga 16% untuk deposito 6 bulan dengan
minimum simpanan Rp 5 juta. Panin Bank, untuk jangka yang sama,
dengan simpanan minimum Rp 2 juta, berani memberikan bunga 17%
per tahun. Karena titak memperoleh dana likuiditas dari BI,
mereka memang didorong untuk menyedot sebesar mungkin dana
deposito dengan menawarkan tingkat bunga yang bersaing
dibandingkan bank pemerintah.
"Kami tidak akan menaikkan suku bunga deposito lagi, sebab masih
banyak dana rupiah masyarakat di bawah bantal," kata Fuady
Mourad, direktur Panin Bank. James Riady, dirut Bank Perniagaan
Indonesia, juga belum merasa khawatir menghadapi usaha
pemerintah menyedot rupiah itu. "Dana di masyarakat masih
besar," katanya kepada wartawan TEMPO Marah Sakti.
Dia benar. Sampai akhir Maret lalu jumlah uang kartal yang
beredar di masyarakat meliputi Rp 2,9 trilyun (41%), sedang uang
giral yang berada dalam bentuk dana di pelbagai bank mencapai Rp
4,2 trilyun. Pada September tahun lalu, posisi uang giral itu
berjumlah Rp 4,7 trilyun. Tapi ketika muncul desas-desus rupiah
akan didevaluasi, banyak anggota masyarakat yang panik,
melakukan penarikan danadana mereka. Perubahan sikap pemilik
rupiah itu telah menyebabkan berkurangnya pelbagai dana di
perbankan (uang giral) sebesar Rp 500 milyar hingga Maret lalu.
Dana sebesar itulah yang diperkirakan masih banyak mengeram di
bawah "bantal": biasanya berbentuk emas, valuta asing (dollar
AS), rupiah tunai, dan berupa tanah atau rumah. Bertolak dari
kenyataan itu, James menganggap tindakan pemerintah menaikkan
bunga deposito 6 bulan memang "perlu untuk merangsang
masyarakat, yang selalu pegang uang tunai agar menyimpan uang
mereka di bank." Fuady dari Panin Bank menilai kenaikan bunga
deposito itu "wajar" adanya mengingat tingkat bunga sebesar itu
sudah berlaku sejak 1978. "Kalau tingkat bunga itu tidak
dinaikkan, banyak deposito bank pemerintah akan semakin lari ke
bank swasta," katanya.
Empat tahun lalu, volume deposito 6 bulan ini mencapai Rp 74,7
milyar. Sesudah pelbagai bank swasta maupun asing berani
menawarkan tingkat bunga lebih tinggi, jumlah itu secara
berangsur berkurang banyak. Apalagi kemudian di masyarakat
muncul pula instrumen investasi yang cukup bersaing: sertifikat
saham dengan dividen menarik, obligasi dengan bunga 15,5% per
tahun, dan dollar AS yang cenderung naik nilainya (lihat
grafik).
Karena itulah untuk menangkal tawaran investasi yang kompetitif
tadi, pemerintah mengizinkan bank di lingkungannya menaikkan
bunga deposito, dan menerbitkan obligasi. Persoalannya, sesudah
dana deposito berhasil didongkrak, maukah bank pemerintah itu
memasarkannya? "Sulit memasarkan dana itu jika pagu pertambahan
kredit kami masih dibatasi," kata seorang bankir pemerintah.
Jika benar pagu pertambahan kredit tahun anggaran ini hanya akan
mencapai 15% (tahun sebelumnya 40%), menurut bankir itu, akan
banyak dana nganggur.
Untuk mencegah terjadinya likuiditas berlebihan itu, bankir
pemerintah tadi rnengimbau agar pemerintah mengizinkan bank di
lingkungannya melakukan operasi di luar negeri. Misalnya turut
dalam memberikan pinjaman sindikasi kepada negara lain, atau
investasi, dianggapnya merupakan salah satu upaya pemasaran dana
yang cukup menarik. "Pemerintah sebaiknya sedikit demi sedikit
melepaskan kendalanya," kata seorang bankir lain. "Kita
seyogyanya kini bersikap sedikit agresif kalau ingin besar,
jangan konservatif melulu."
Imbauan bankir itu memang masuk akal. Setidaknya kalau
pemerintah ingin meminyaki roda bisnis yang sekarang terasa
makin lesu. Tapi agaknya itu tak akan terjadi dalam tahun
anggaran sekarang. Sebab, seperti kata seorang pejabat ekonomi,
seluruh perhatian pemerintah sekarang adalah: bagaimana untuk
mengamankan neraca pembayaran, agar tidak menanggung beban
defisit yang terlalu besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini