Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyedot rupiah dari bawah bantal

Bank-bank pemerintah (bni '46, bbd), akan menaikkan suku bunga deposito berjangka 6 bulan agar bisa bersaing dengan bank swasta. (eb)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULAI bulan ini, pelbagai bank pemerintah akan memberikan bunga menarik untuk deposito berjangka 6 bulan. Beleid untuk menyedot kembali dana rupiah, yang membanjir sesudah devaluasi itu, dikemukakan Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan lalu. Tanpa menyebut ancar-ancar kenaikan bunga itu, Menkeu Radius mengatakan pihak bank mempunyai kebebasan penuh menentukan tingkat bunga baru deposito itu. Sejumlah bankir swasta menduga tingkat bunga deposito berjangka 6 bulan itu akan naik dari 6% jadi sekitar 8% per tahun. Tapi berapa persisnya tingkat bunga itu, Dirut Bank Bumi Daya Omar Abdalla, yang mula-mula mengungkapkan beleid baru di bidang perbankan itu kepada Suara Kaya, belum bersedia mengatakannya. Ketika dihubungi, Dirut BNI 1946 Somala Wiria, juga masih belum bisa memberikan angka perkiraan. "Kami masih harus menghitungnya secara cermat," katanya. Perhitungan cermat memang harus dilakukan. Jika volume deposito berjangka 6 bulan itu lebih besar dibandingkan dengan yang berjangka 3 bulan dan 24 bulan, kenaikan tingkat bunga tentu tidak akan besar. Sampai minggu pertama Maret, volume deposito 6 bulan di pelbagai bank pemerintah seperti BBD, dan BNI 1946, tercatat Rp 11,6 milyar atau hanya 1,3% dari jumlah total deposito Rp 905,3 milyar. Mengingat volume deposito 6 bulan itu tidak besar, kenaikan bunga 1 sampai 2% tentu tidak akan menyebabkan pengeluaran operasional untuk biaya bunga naik menyolok. Kendati demikian, menurut Somala Wiria, bank tetap harus memperhitungkan dengan baik pengeluaran biaya bunga untuk deposito dengan komponen dana lainnya. Sebagai sumber dana dari pihak ketiga, deposito memang merupakan sumber dana mahal jika dibandingkan rekening giro, tabungan, 'maupun likuiditas dana dari Bank Indonesia. Untuk dana likuiditas dari BI bagi kredit ekspor, misalnya, bank hanya mengeluarkan biaya bunga 4%. Besar kecilnya setiap komponen sumber dana itu Jelas turut menentukan volume biaya dana (cost of fund), yang harus dikeluarkan, "Jadi kalau sumber dana yang mahal itu tidak banyak, ya tidak sakit buat bank," ujar Somala. Buat bank swasta nasional, dan asing, pengeluaran biaya bunga untuk deposito 6 bulan cukup besar mengingat suku bunga yang mereka berikan berkisar antara 1618% per tahun. Citibank, misalnya, memberikan bunga 16% untuk deposito 6 bulan dengan minimum simpanan Rp 5 juta. Panin Bank, untuk jangka yang sama, dengan simpanan minimum Rp 2 juta, berani memberikan bunga 17% per tahun. Karena titak memperoleh dana likuiditas dari BI, mereka memang didorong untuk menyedot sebesar mungkin dana deposito dengan menawarkan tingkat bunga yang bersaing dibandingkan bank pemerintah. "Kami tidak akan menaikkan suku bunga deposito lagi, sebab masih banyak dana rupiah masyarakat di bawah bantal," kata Fuady Mourad, direktur Panin Bank. James Riady, dirut Bank Perniagaan Indonesia, juga belum merasa khawatir menghadapi usaha pemerintah menyedot rupiah itu. "Dana di masyarakat masih besar," katanya kepada wartawan TEMPO Marah Sakti. Dia benar. Sampai akhir Maret lalu jumlah uang kartal yang beredar di masyarakat meliputi Rp 2,9 trilyun (41%), sedang uang giral yang berada dalam bentuk dana di pelbagai bank mencapai Rp 4,2 trilyun. Pada September tahun lalu, posisi uang giral itu berjumlah Rp 4,7 trilyun. Tapi ketika muncul desas-desus rupiah akan didevaluasi, banyak anggota masyarakat yang panik, melakukan penarikan danadana mereka. Perubahan sikap pemilik rupiah itu telah menyebabkan berkurangnya pelbagai dana di perbankan (uang giral) sebesar Rp 500 milyar hingga Maret lalu. Dana sebesar itulah yang diperkirakan masih banyak mengeram di bawah "bantal": biasanya berbentuk emas, valuta asing (dollar AS), rupiah tunai, dan berupa tanah atau rumah. Bertolak dari kenyataan itu, James menganggap tindakan pemerintah menaikkan bunga deposito 6 bulan memang "perlu untuk merangsang masyarakat, yang selalu pegang uang tunai agar menyimpan uang mereka di bank." Fuady dari Panin Bank menilai kenaikan bunga deposito itu "wajar" adanya mengingat tingkat bunga sebesar itu sudah berlaku sejak 1978. "Kalau tingkat bunga itu tidak dinaikkan, banyak deposito bank pemerintah akan semakin lari ke bank swasta," katanya. Empat tahun lalu, volume deposito 6 bulan ini mencapai Rp 74,7 milyar. Sesudah pelbagai bank swasta maupun asing berani menawarkan tingkat bunga lebih tinggi, jumlah itu secara berangsur berkurang banyak. Apalagi kemudian di masyarakat muncul pula instrumen investasi yang cukup bersaing: sertifikat saham dengan dividen menarik, obligasi dengan bunga 15,5% per tahun, dan dollar AS yang cenderung naik nilainya (lihat grafik). Karena itulah untuk menangkal tawaran investasi yang kompetitif tadi, pemerintah mengizinkan bank di lingkungannya menaikkan bunga deposito, dan menerbitkan obligasi. Persoalannya, sesudah dana deposito berhasil didongkrak, maukah bank pemerintah itu memasarkannya? "Sulit memasarkan dana itu jika pagu pertambahan kredit kami masih dibatasi," kata seorang bankir pemerintah. Jika benar pagu pertambahan kredit tahun anggaran ini hanya akan mencapai 15% (tahun sebelumnya 40%), menurut bankir itu, akan banyak dana nganggur. Untuk mencegah terjadinya likuiditas berlebihan itu, bankir pemerintah tadi rnengimbau agar pemerintah mengizinkan bank di lingkungannya melakukan operasi di luar negeri. Misalnya turut dalam memberikan pinjaman sindikasi kepada negara lain, atau investasi, dianggapnya merupakan salah satu upaya pemasaran dana yang cukup menarik. "Pemerintah sebaiknya sedikit demi sedikit melepaskan kendalanya," kata seorang bankir lain. "Kita seyogyanya kini bersikap sedikit agresif kalau ingin besar, jangan konservatif melulu." Imbauan bankir itu memang masuk akal. Setidaknya kalau pemerintah ingin meminyaki roda bisnis yang sekarang terasa makin lesu. Tapi agaknya itu tak akan terjadi dalam tahun anggaran sekarang. Sebab, seperti kata seorang pejabat ekonomi, seluruh perhatian pemerintah sekarang adalah: bagaimana untuk mengamankan neraca pembayaran, agar tidak menanggung beban defisit yang terlalu besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus