Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Imbal hasil obligasi T-bill terus meningkat.
The Fed diperkirakan masih menaikkan suku bunga.
Mata uang negara maju dan negara berkembang tertekan dolar.
PEKAN-PEKAN ini, pasar keuangan global bergejolak, terutama pasar obligasi. Lebih khusus lagi pasar obligasi pemerintah Amerika Serikat yang populer dengan sebutan Treasury bill atau T-bill. Imbal hasil atau yield T-bill berjangka waktu 10 tahun, misalnya, naik hingga 4,72 persen pekan lalu dan masih terus menanjak dari hari ke hari menembus rekor tertinggi sejak 2007.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang awam mungkin tak menyadari adanya gejolak ini. Namun ada salah satu dampaknya yang terasa dalam kehidupan sehari-hari: melonjaknya nilai tukar dolar Amerika Serikat. Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah sudah melewati 15.600 per dolar Amerika, naik 1,82 persen hanya dalam sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dolar Amerika tak cuma menggerus nilai rupiah dan mata uang negara berkembang lain. Mata uang negara-negara maju pun tertekan. Hal ini tampak pada naiknya Dollar Index (DX) yang merefleksikan pergerakan nilai dolar Amerika terhadap enam mata uang utama, yaitu euro, yen, pound sterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.
Pekan lalu, DX sempat menyentuh level 107,170. Dalam tiga bulan terakhir, DX naik 4,34 persen, angka tertinggi sejak November tahun lalu. Ini memang sebuah paradoks. Naiknya imbal hasil T-bills, yang berarti harganya rontok, sebetulnya terjadi karena pasar sedang mengantisipasi datangnya resesi yang berpotensi mencekik ekonomi Amerika Serikat.
Logika awam otomatis akan menyimpulkan begini: karena ekonominya bakal susah, semestinya nilai dolar Amerika akan melorot. Namun sebaliknya, dolar Amerika justru kian kuat. Sebab, pasar tetap menganggap dolar Amerika sebagai instrumen paling aman untuk menyimpan kekayaan.
Sejauh ini, dominasi dolar Amerika sebagai mata uang utama dunia, baik untuk penyimpan cadangan devisa maupun sebagai alat pembayaran transaksi internasional, memang masih belum terusik. Bahkan kisruh politik dalam negeri Amerika, yang membuat pemerintah Federal nyaris tak bisa beroperasi karena macetnya persetujuan anggaran, tak menggoyahkan dominasi dolar.
Lengsernya Ketua Kongres Amerika Serikat Kevin McCarthy yang memicu ketidakstabilan politik di Washington, DC, seolah-olah tak berdampak apa-apa pada dolar. Ketika pasar menggelegak dalam ketidakpastian itu, investor di seluruh dunia malah menyelamatkan diri dengan memindahkan aset finansial mereka ke dolar Amerika, mencari aman. T-bill yang harganya sedang berguguran justru menjadi sasaran investasi.
Dalam logika pasar, potensi keuntungan akan lebih besar jika orang membeli aset saat harganya murah. Bisa dibilang pertimbangan utama pasar dalam menilai dolar hanyalah kebijakan The Fed, terutama soal suku bunga. Inilah tongkat pengukur utamanya. Banyak investor memasuki tahun ini dengan keyakinan kuat bahwa nilai dolar Amerika akan turun karena The Fed mulai menurunkan bunga.
Sejak Maret 2022, The Fed sangat agresif menaikkan bunga demi memerangi inflasi. Setelah ada pertanda inflasi mulai melunak di awal tahun, wajar pasar menilai The Fed akan membalik arah suku bunga. Sayangnya, berbagai data ekonomi Amerika bulan-bulan ini malah berseberangan dengan perkiraan itu.
Inflasi memang melunak, tapi masih jauh dari target The Fed memperlambat ekonomi agar inflasi turun ke bawah 2 persen tanpa memicu resesi. Pasar kini yakin The Fed masih akan menaikkan bunga minimal sekali lagi menjelang akhir tahun ini. Setelah itu, bunga akan bertahan tinggi hingga pertengahan tahun.
Banyak analis menilai ekonomi Amerika Serikat tak akan sanggup hidup normal di tengah rezim bunga tinggi yang berlangsung lebih lama. Alih-alih melambat pelan-pelan dengan mulus, seperti keinginan The Fed, ekonomi Amerika akan masuk resesi karena bunga tinggi yang berlangsung cukup lama.
Pekan-pekan ini, semestinya pasar sudah mencapai titik keseimbangan baru. Berbagai faktor itu sudah tecermin pada harga berbagai aset finansial. Dengan demikian, tekanan depresiasi nilai rupiah berpotensi mereda. Itulah dinamika pasar keuangan global. Berbagai kebijakan Bank Indonesia ataupun pemerintah tak akan mampu mengubah apa-apa. Rupiah sepenuhnya bergantung pada belas kasihan pasar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rupiah Pasrah di Tangan Pasar "