Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiga syarat sarbini

Menurut prof. sarbini, untuk tinggal landas Indonesia harus mengerahkan semua tenaga, terutama tenaga semua penduduk dari semua segmen. pandangan ini sangat berbeda dengan pakar ekonomi lainnya.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Tiga syarat sarbini
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BARAT pohon nyiur di tengah rum pun bambu, Prof. Sarbini Sumawinata nampak tak gamang untuk lain sendiri. Berbeda dengan banyak rekannya, dialah ekonom yang serius mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi. Dia juga yang melontarkan kritik cukup keras pada rekan seprofesinya, antara lain lewat buku Menuju Masyarakat Adil Makmur, yang disusun untuk memperingati ulang tahunnya ke-70. Senin malam pekan ini, di lantai tiga Gedung Bank Duta -- tempat penyerahan pertama buku tersebut -- Sarbini dikelilingi oleh rekan-rekannya sesama ekonom, dan kawan-kawan seperjuangan, yang menyempatkan diri untuk datang ke sana. Beberapa wajah amat dikenal: Menperdag Arifin Siregar, Menmud Keuangan Nasrudin Sumintapura, bekas Menkeu Frans Seda, bekas Menteri Pertambangan Prof. Mohammad Sadli, cendekiawan Dr. Sudjatmoko dan Subadio Sastrosatomo. Saat itu, ada kalimat berbau kompromi yang dilontarkan Sarbini, "Perlu ada forum antara para ekonom yang terlibat di dalam pemerintahan, dan yang di luar pemerintahan." Apa maksudnya? Inilah yang tak sempat dijabarkan. Sekalipun begitu, prinsipnya tentang pembangunan ekonomi tetap tak berubah. Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang dikukuhkan pada tahun 1963 ini berpendapat, banyak ekonom sekarang yang terpukau pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang digariskan pemerintah. Dengan seperangkat kebijaksanaan ekonomi itu, para ekonom menganggap, masalah-masalah yang muncul dalam proses menuju era tinggal landas bisa teratasi. Nah, "Karena sibuknya menyusun economic-policy dalam arti ekonomi makro cenderung terjadi peremehan masalah-masalah mikro," tulis Sarbini. Padahal, ada tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat masuk ke tahap take-off. Selain mengukur tingkat investasi, pendapatan nasional, dan kenaikan jumlah penduduk, ada dua syarat lain yang tak kalah penting. Pertama, perlu adanya pertumbuhan pada beberapa cabang industri manufaktur, dengan laju pertumbuhan yang agak tinggi. Kedua, perlu adanya kerangka politik, sosial, dan institusional, yang siap menampung tiap ekses dari akibat tinggal landas. Ini penting untuk mendorong sebuah pertumbuhan agar menjadi sebuah gerakan yang tak henti-hentinya. Soalnya, seperti pesawat yang sudah take-off, semakin tinggi terbang, akan semakin kencang angin menerjang. Banyak contoh yang mendukung pentingnya tiga syarat take-off, yang dipopulerkan oleh pakar ekonomi Amerika Serikat W.W. Rostow ini. Jepang dan Inggris, misalnya, adalah negara yang telah mencapai era take-off dengan mulus, nyaris tanpa impor modal dari luar. Lain halnya Cina dan India. Sudah sejak tahun 1952 Rostow melihat bahwa kedua negara ini memiliki peluang besar untuk segera lepas landas. Itu tampak pada perkembangan investasi maupun perkembangan sektor manufakturnya. Tapi apa yang terjadi? Hingga sekarang, tetap saja keduanya tidak lebih maju ke arah tinggal landas. Ini karena tingkat produktivitasnya masih jauh di bawah jumlah penduduk dan luas negaranya. Lain halnya empat Naga Asia (Hong Kong, Korea, Taiwan, dan Singapura), yang mempunyai produktivitas jauh lebih tinggi jika dibandingkan jumlah penduduknya. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Kelihatannya masih memerlukan beberapa langkah panjang menuju take-off. Pertumbuhan industri manufakturnya saat ini baru 10%. Sedang berdasarkan standar internasional, pertumbuhan itu harus 20-25%. Contohnya: India, yang produksi bajanya sudah mencapai 10 juta ton setahun, masih ketinggalan dibanding negara-negara maju yang berproduksi 1 00 jura ton. Apalagi Indonesia, yang hanya 2-3 juta ton. Singkatnya, dalam konsep Sarbini, untuk tinggal landas Indonesia harus mengerahkan semua tenaga -- terutama tenaga penduduk dari semua segmen. Jangan seperti Iran, Pakistan, Filipina, Burma, dan negara-negara Indocina, yang berantakan karena tidak mampu mengadakan perubahan dalam struktur sosial dan kebudayaan. Pemerintah Iran, misalnya, dalam pembangunan hanya mengajak satu segmen penduduknya, sedangkan mayoritas di pinggiran dibiarkan begtu saja. Pandangan ini memang sangat berbeda dengan yang biasa dikemukakan oleh banyak pakar ekonomi lainnya. Seperti dikemukakan Sarbini dalam bukunya, "banyak ekonom yang mengesampingkan faktor non-ekonomi dalam perhitungannya." Tapi siapakah Sarbini? Mengapa ia begitu menarik perhatian para tokoh ekonomi politik, dan budayawan -- ini tercermin dalam bukunya, yang didukung oleh tulisan dari tujuh tokoh yang terkenal. Mungkin karena pandangannya yang agak lain, ia jadi tidak populer. Orang hanya mengenalnya ketika Sarbini ditangkap, dituduh terlibat peristiwa Malari, 1974. Padahal, dialah salah satu yang mengkonsep Deklarasi Ekonomi di zaman Orla, dan Sarbini pulalah yang di awal Orde Baru (pertengahan Oktober 1966) menyerahkan sebuah konsep pembangunan ekonomi pada Presiden Soeharto. Hanya setelah Malari, bekas Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) ini tak lagi terdengar gemanya. Kini, pada pemunculannya kembali, ia masih seperti dulu. Katanya, "Pembangunan masyarakat harus multidimensional. Tidak hanya menyangkut pembangunan ekonomi, tapi juga dari segi dan aspek seluruh kehidupan masyarakat."Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum