Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lakon Gus Dur Jadi Bankir

Setelah membeli Bank Papan Sejahtera, Ketua PB Nahdlatul Ulama, K.H. Abdurrahman Wahid, mengambil alih Bank Ficorinvest. Manuver apa lagi, Gus?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA predikat yang cocok bagi Gus Dur? Kiai, pemikir, pemimpin umat, tokoh partai, ketua organisasi massa dan calon presiden itu kini punya sebutan yang sama sekali lain dari citranya selama ini. Gus Dur, yang selama ini "berwajah" umat dan bercitra politik, kini mulai "berbau" duit. Bayangkan. Cuma dalam tempo dua bulan, Gus Dur membeli dua bank sekaligus. Setelah memborong saham Bank Papan Sejahtera, Desember lalu, awal bulan ini giliran Gus Dur mencaplok Bank Ficorinvest. Hebatnya, kedua bank itu dijala Gus Dur melalui transaksi di Bursa Efek Jakarta dengan melibatkan dana ratusan miliar rupiah. Sulit dibantah, Gus Dur, kiai lulusan Fakultas Sastra Universitas Bagdad, pemimpin 100 juta kaum "sarungan" itu, tampak seperti sedang bertiwikrama. Ia malih rupa, berubah wujud dalam banyak wajah. Dengan memborong jutaan saham bank dari bursa bernilai ratusan miliar, kiai dari Denanyar, Jombang, itu lebih mirip bankir ketimbang pimpinan umat. Lebih dahsyat lagi, Gus Dur tak mau melangkah tanggung-tanggung. Ia memborong saham begitu banyaknya sehingga menjadi pemegang mayoritas saham sekaligus memegang kendali bank. Dengan permainan saham ini, Gus Dur kemudian tercatat sebagai Ketua Dewan Komisaris Bank Papan Sejahtera, kursi yang sebelum ini diduduki orang seperti ekonom kondang Sumitro Djojohadikusumo. Aksi Gus Dur di pasar modal tampaknya menjadikan tokoh spiritual ini makin tak terduga. Manuver politiknya mengejutkan, langkah bisnisnya juga membingungkan. Banyak analis bertanya-tanya: mengapa Gus Dur bermain di saham perbankan? Di zaman ketika bisnis bank sedang sembelit seperti sekarang, para penasihat investasi selalu menyarankan agar investor menghindari saham bank. "Yang punya bank saja kalau bisa mau cabut," kata seorang analis, "Kok ini ada investor baru yang coba-coba masuk." Bisnis bank memang sedang muntah darah. Harga dolar yang cenderung menanjak dan bunga bank yang tetap tinggi di awang-awang membuat bisnis bank kelengar. Kredit macet membengkak, bank-bank beroperasi dengan merugi. Modal bank tergerus hingga habis tandas, bahkan negatif. Agar bisa sekadar siuman saja, bank-bank harus disuntik modal sampai triliunan rupiah. Makin aneh lagi, Gus Dur memborong saham-saham bank yang kinerjanya tak patut dibanggakan. Bank Papan Sejahtera, misalnya. Berdasar laporan keuangan per 30 September 1998, bank papan menengah ini harus beroperasi dengan kerugian hampir Rp 380 miliar. Modalnya terkikis sehingga sudah negatif Rp 180 miliar lebih. Simpanan dana masyarakat tak sampai Rp 140 miliar. Bank ini hidup kembang kempis dengan dana pinjaman senilai Rp 2,3 triliun lebih! Menurut hasil audit terakhir, Bank Papan masuk golongan C, yang terancam kehidupannya jika tak disetor modal ratusan miliar. Sudah begitu, lebih ganjil lagi karena Gus Dur memborong saham Bank Papan dengan harga jauh di atas harga pasar. Melalui PT Harawi Sekawan, Gus Dur kabarnya membeli 25 juta unit saham Bank Papan dengan harga Rp 1.200 per unit. Padahal ketika itu harga pasarnya cuma Rp 125! Kemahalan? "Jelas," kata Ferry Yosia Hartoyo, analis saham perbankan dari Vickers Ballas Tamara. Tapi, bagi orang-orang dekat Gus Dur, harga pembelian saham itu biasa-biasa saja. "Mahal bagi yang tak punya duit." Itu kata Syarifuddin Harahap seperti dikutip Warta Ekonomi. Syarifuddin, Ketua Umum Partai Republik yang mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden Indonesia keempat itu, kini terpilih menjadi Komisaris Bank Papan. Lalu dari mana duitnya, kok berani membayar begitu mahal untuk bank yang tidak sehat? Ada yang menduga pengusaha Edward Seky Soeryadjaya berada di belakang transaksi ini. Kongsi Edward-Gus Dur memang kental. Sembilan tahun lalu, Bank Summa yang dipimpin Edward menggandeng Gus Dur mendirikan BPR Nusumma. Meski BPR ini tak berkembang lantaran Bank Summa keburu dilikuidasi, hubungan mereka rupanya tetap mesra. Edward masih sering terlihat sowan, berkunjung ke kediaman Gus Dur di Ciganjur. Anak konglomerat William Soeryadjaya itu juga yang membantu Gus Dur memodali Harawi. Edward sendiri mengaku tak tahu menahu tentang pencaplokan bank-bank ini. Ia mengaku tahu transaksi itu dari koran. "Lalu, saya lalu tanya Gus Dur," katanya, "Dia menjawab, ya." Ketika ditanya lebih rinci, Edward mengaku tak mau ikut campur soal-soal yang bukan urusannya. Tapi, benarkah Edward yang membandari Gus Dur? Seorang analis pasar modal tak yakin benar. Menurut kepala riset perusahaan sekuritas asing ini, Edward tak punya cukup uang dan juga keberanian untuk menduiti sendiri transaksi yang sangat berisiko seperti itu. "Ini tipe transaksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan uang mudah," katanya. Uang mudah? Dari mana, Gus? Jawaban Gus Dur memang belum diperoleh. Tapi, dalam sejumlah kesempatan, ia berkali-kali mengatakan hal yang sama kepada TEMPO. "Diam-diam begini," katanya, "naluri bisnis saya sering tepat." Naluri, bakat, memang modal terbesar yang harus dimiliki seorang bankir. Tapi membeli saham bank yang kedodoran dengan harga begitu mahal di saat begini sulit tampaknya tak bisa cuma mengandalkan naluri. Bukan begitu, Gus? Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus