Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jip

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di altar Katedral Jakarta, malam itu, menghadap ke jenazah Romo Mangun yang terbaring, pastur muda dalam jubah ungu itu bercerita tentang sebuah jip Willys tua. Mobil itu sebuah kado ulang tahun ke-70 yang disiapkan sejak beberapa bulan yang lalu. Romo Mangun, kini wafat—dan disemayamkan beberapa jam di ruang dalam katedral itu—tentu tak akan membutuhkannya lagi. Tapi pernah ia mengatakan bahwa ia menyenangi kendaraan jenis itu, dan para pastur yang lebih muda, yang sangat menghormatinya, mendengar. Diam-diam mereka berusaha, dan akhirnya sebuah jip Willys tua dapat mereka beli di Bandung. Mereka ingin memberikan kado itu 6 Mei 1999 nanti.. Desember 1998, Romo Windiyatmoko, bersama Romo Mudji Sutrisno, datang ke rumah Romo Mangun di Yogya. Mereka sudah memberitahukan bahwa sebuah jip Willys telah didapat untuk Romo Mangun. Pastur berambut putih itu bangun dari duduknya: "Kalau begitu saya tidak jadi mati", katanya. 10 Februari itu Romo Mangun meninggal. Ia tak sampai ke usia 70. Di tahun 1995 para dokter sudah tahu bahwa penyakit jantungnya tak akan tertolong. Tapi ia jalan terus, sampai hari itu, ketika di sebuah seminar tentang buku di Jakarta, ia tiba-tiba harus berangkat ke kehidupan yang tak memerlukan apa pun: jip atau sejarah. Ada yang sedih dalam anekdot ini. Sejarah sangat penting bagi Y.B. Mangunwijaya—sejarah dan mitos, dan ia tak akan mendapatkannya kembali. Jip Willys ia sukai karena benda itu mengingatkan sebuah masa silam yang sangat berarti baginya: masa perang kemerdekaan, ketika ia jadi anggota Tentara Pelajar, ketika ia suatu saat menyetir sebuah jip Willys untuk Sri Sultan, sebuah masa yang digambarkan dengan kagum (justru dari sudut pandang seorang kapten tentara Belanda) dalam Burung-Burung Manyar. Jip Willys—sesuatu yang kini nampak sederhana tapi juga langka, sesuatu yang pernah menandai kegagahan yang terbuka dan lempang, sesuatu yang kini punah dan digantikan oleh Mercedes-Benz yang berpendar. Sejarah sangat penting bagi Mangunwijaya—terutama ketika sejarah bertaut dengan mitos, dan mitos bertaut dengan kefanaan. Salah satu elemen dalam kefanaan adalah mati dan kekalahan. Mitos justru hidup karena itu. Ada kalimat Roland Barthes yang agaknya cocok untuk karya Mangunwijaya. Mitos, kata Barthes, "bukan kebohongan, bukan pula pengakuan, melainkan pentasrifan". Dalam Roro Mendut, Burung-Burung Menyar, Durga Umayi, mitos bergerak sebagai sesuatu yang diimbuhkan dan mengubah cerita dasar yang diterima secara umum. Dalam wujudnya yang baru, para pahlawan bukan mereka yang tak pernah jatuh. Salah satu adegan dalam Burung-Burung Manyar yang menurut saya menarik ialah ketika si kapten tentara Belanda melihat para pemimpin Republik Indonesia ditangkap, setelah ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki, Desember 1948. Di hari itu siapa akan percaya Indonesia akan berdiri lagi? Tapi kapten itu melihat wajah Sjahrir di antara para tahanan. Ia tak melihat wajah seorang yang kehilangan. Sjahrir: bagi Mangunwijaya, tokoh ini juga sesosok mitos. Tak gampang memahami kekaguman Romo Mangun pada Sjahrir. Mangunwijaya bisa hidup dikelilingi kere di tepi Kali Code. Sementara itu, Sjahrir, seperti digambarkan oleh Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, dengan enak bergerak di antara nona dan tuan muda yang bahkan di masa pendudukan Jepang berdansa sembunyi-sembunyi mengikuti jazz Benny Goodman di radio klandestin. Tentu saja harus dicatat: ada masanya Sjahrir juga, seperti dilakukannya di tahun 1930-an, bisa bergerak di antara kaum buruh, sambil menyiarkan Das Kapital Karl Marx yang dijelaskan secara populer oleh Bung Hatta. Tapi mungkin Romo Mangun tertarik pada Sjahrir karena Sjahrir melihat perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekadar perlawanan dendam. Ketika Perang Dunia II meletus dan Jerman menghantam Belanda, Sjahrir tak bertepuk, meskipun Hitler jadi populer di tanah jajahan. Dari pengasingannya di Bandaneira, Sjahrir menulis, "Aku membenci [Hitler] dengan sepenuh tenagaku, sebab aku tahu ia adalah personifikasi dari semua kekuatan yang melawan kemajuan dan pembebasan manusia". Kolonialisme dilawan seperti halnya Naziisme harus ditentang: dengan argumen yang sama. Pandangan seperti itu tentu dipengaruhi oleh sosialisme, yang lebih mengasumsikan persamaan manusia ketimbang nasionalisme, dan ini pas bagi seorang rohaniawan Katolik yang dekat dengan para jelata. Namun buat Romo Mangun bukan itu saja yang penting. Tulisannya dalam buku Mengenang Sjahrir menjelaskan: Sjahrir menarik hatinya karena orang ini "kalah atau gugur". Apa arti kalah atau menang dalam pengertian historis? Itu pertanyaan Romo Mangun. Sebenarnya besar sekali artinya. Memang, setelah ratusan tahun kita tahu bahwa yang kemarin disalibkan ternyata kemudian diikuti, yang kemarin dihujat kemudian dipuja. Tapi bagaimanapun juga kekalahan dalam suatu tahap waktu bisa berarti kesengsaraan sejumlah besar manusia yang konkret. Di Indonesia hal ini kita saksikan ketika PKI dihancurkan—dan kita tak bisa meringankan hal itu. Namun barangkali yang menyebabkan sosok Sjahrir terasa dekat pada Romo Mangun ialah ambivalensi Sjahrir terhadap permainan kalah dan menang itu sendiri, yang dalam politik berarti "tak berkuasa" dan "berkuasa". Sahabat lamanya, Sal Tas, seorang sosialis Belanda, melihat sesuatu pada diri cendekiawan asal Sumatra Barat ini: "Di lubuk hatinya", tulis Sal Tas dalam kenang-kenangannya, "Sjahrir tak menyukai politik." Sjahrir, menurut Sal Tas, terlibat di dalam politik karena rasa kewajiban, bukan karena minat. Di masa muda hal itu tak nampak benar. Tapi kian tua, ketika taruhan kian besar, juga rasa cemas, ketika vitalitasnya mulai disedot oleh introspeksi, Sjahrir mulai melawan hasrat politik dari batinnya. Bersama itu, tumbuh "nostalgianya terhadap dunia anak". Masa silam sebelum pamrih: bagi Sjahrir itu berarti bermain riang dengan bocah-bocah di pantai Banda. Bagi Romo Mangun itu ditandai oleh sebuah benda yang kini tampak bersahaja: jip Willys. Mungkin kemerdekaan di momen tanpa-pamrih itu tak bisa ditukar dengan kemenangan di kemudian hari, meskipun kemenangan itu juga membawa piala itu: kemerdekaan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus