Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Satu Perkawinan, Seribu Pasangan

Skenario merger bank-bank pemerintah diubah. Kredit macet terlalu besar, operasional bank memburuk. Bank Mandiri cuma akan berumur enam bulan?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barangkali inilah semangat zaman modern: berganti-ganti pasangan kawin. Jangan keburu curiga. Ini bukan cerita soal perkawinan antarmanusia, tapi kisah perkawinan bank-bank pemerintah. Sejak muncul rencana merger bank BUMN Maret 1998, hingga pekan lalu sudah ada empat kali perubahan pasangan.

Terakhir, menurut sumber di Departemen Keuangan, pemerintah akan melebur dua bank terlebih dulu: Bappindo dengan Bank Exim. Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Dagang Negara (BDN), yang semula juga ikut dilebur, untuk sementara ditinggalkan tetap sebagai bujangan?entah sampai kapan. Nasib BBD dan BDN masih akan dirapatkan. Ada juga kemungkinan kedua bank itu disehatkan sendiri-sendiri, untuk kemudian ditawarkan ke investor.

Perubahan pasangan di Bank Mandiri?begitu nama hasil merger bank-bank milik negara ini?memang bukan hal baru. Perbincangan soal ini mungkin juga tak ada gunanya untuk Anda, para pembaca. Tapi ada satu soal penting. Perubahan pasangan itu dilakukan karena masalah yang muncul dari perkawinan empat bank itu terlalu berbelit. Salah satunya lantaran kondisi bank-bank itu jauh lebih parah daripada yang dibayangkan semula. Kredit macet di bank-bank pemerintah ini membengkak luar biasa besar.

Ceritanya berawal Rabu, 10 Februari malam. Ketika itu keempat peserta Bank Mandiri menyerahkan daftar kredit bermasalah ke Departemen Keuangan. Ternyata, hasilnya sungguh mengejutkan. Jangan kaget, hingga akhir Desember lalu, tingkat kredit bermasalah di empat bank BUMN itu di atas 90 persen dari total kredit.

Dari jumlah itu, sepertiganya macet total (tak membayar bunga lebih dari sembilan bulan). Total jenderal, dana pencadangan kredit macet yang harus disediakan untuk keempat bank ini sudah mencapai Rp 50 triliun (lihat tabel).

Itu baru posisi Desember. Akhir Maret nanti, dana pencadangan yang diperlukan bakal membengkak dahsyat. Soalnya, menurut seorang direktur bank pemerintah, hari-hari ini hampir tak ada kredit yang bisa membayar bunga. Efisiensi rasio (perbandingan antara penghasilan bunga dan target yang ditetapkan) di bank-bank milik negara itu cuma 10 persen. Dengan kata lain, dari bunga kredit 35 persen, yang bisa ditarik tak lebih dari 3,5 persen.

Karena itu bisa dipastikan kredit macet bakal makin meledak. Kredit yang Desember lalu statusnya masih kurang lancar (menunggak bunga tiga bulan), Maret nanti akan menjadi kredit yang diragukan (menunggak enam bulan bunga). Adapun yang diragukan bakal masuk ke jajaran kredit macet (menunggak bunga sembilan bulan). Di atas kertas, Maret nanti, dana pencadangan yang harus disediakan untuk empat peserta Bank Mandiri akan melambung hampir menjadi Rp 75 triliun. Padahal, biaya rekapitalisasi yang direncanakan untuk keempat bank ini tak lebih dari Rp 70 triliun.

Kesimpulannya: rencana merger keempat bank ini harus dirombak. Entah bagaimana pertimbangannya, Bapindo dan Bank Exim dikawinkan lebih dulu. BBD dan BDN harus menunggu kemudian.

Tapi mengapa kredit macet di bank-bank BUMN sampai di luar perhitungan? Banyak cerita menarik, walaupun belum semuanya bisa dikonfirmasi. Menurut seorang direktur bank pemerintah, banyak di antara kredit itu yang diberikan sebagai upeti kepada ''bos" sekadar untuk mempertahankan kedudukan. Karena itu, gampang dimengerti jika banyak kredit yang diberikan begitu saja tanpa agunan yang cukup, bahkan untuk sebuah proyek yang tidak pernah ada.

Mau contoh? Banyak. Seorang pengusaha beken tiba-tiba mengajukan permohonan kredit puluhan miliar untuk membangun pabrik tapioka raksasa di daerah Sumatra. Untuk melobi bank, pengusaha ini mengajak anak pejabat yang paling berkuasa saat itu. Sebagai agunan, selain proyek itu juga diserahkan sebuah rumah pribadi di kawasan Menteng, Jakarta.

Bagaimana sikap bank? Gampang ditebak, hanya dalam tempo empat hari (normalnya proses kredit miliaran seperti ini berlangsung empat bulan), bank mencairkan kredit yang diminta. Melihat tongkrongan peminta kredit, keberadaan proyek dan agunan tampaknya tak perlu dicek lebih teliti.

Nah, kini, kredit itu macet tak terbayar. Ketika agunan mau ditarik, apa yang terjadi? Rumah Menteng itu sudah ditinggali seorang mantan menteri yang cukup punya pengaruh. Bank tampaknya ngeper untuk mengusir mantan pejabat tinggi ini. Proyeknya? Nuwun sewu, belum dibangun.

Itu baru satu contoh. Patgulipat yang lebih hebat juga ada. Ceritanya berawal dari 1995, ketika seorang pengusaha muda datang ke Bapindo. Ia minta persetujuan mengambil alih perusahaan peternakan sapi di Salatiga, Jawa Tengah, yang sedang menunggak utang ke Bapindo. Bank pemerintah ini minta sang pengusaha mengajukan rencana usaha. ''Gampang," sang pengusaha menyanggupi.

Tak lama kemudian ia datang dengan segebok usulan. Seiring dengan penyelamatan peternakan sapi itu, juga akan dibangun proyek baru pemotongan hewan di daerah Subang, Jawa Barat. Alasannya, pemerintah akan segera menutup rumah pemotongan hewan di Cakung, Jakarta Timur, (lantaran mengganggu permukiman) dan memindahkannya ke luar kota. Informasi ''dalam" ini dapat dia kuping. Kesempatan pun disambar. Tak lupa ia juga menggandeng anak dan cucu seorang pejabat tinggi.

Untungnya, Bapindo ketika itu cukup punya nyali untuk menolak. Alasannya, bank yang pernah kepeleset perkara Eddy Tansil ini sudah pernah memberi kredit semacam ini empat kali, dan semuanya macet. Dengan berat hati, sang pengusaha pun mundur teratur.

Tapi jangan keburu senang. Tiga tahun kemudian, Desember 1998, ia datang lagi untuk proyek yang sama tapi dengan posisi yang berbeda. Kali ini Bapindo diminta menebus kredit yang sudah dicairkan perusahaan itu dari Bank Pacific, yang bulan sebelumnya dilikuidasi.

Rupanya, ketika ditolak Bapindo, proyek rumah pemotongan hewan Subang itu didanai Bank Pacific. Ketika Pacific dilikuidasi, kredit itu harus segera dibayar. Sang anak pejabat tak bisa bayar, Bapindo ''ditodong". Apa boleh buat. Kredit macet itu kemudian ditebus dengan nilai kredit yang jauh lebih besar. Soalnya, menurut seorang pejabat keuangan, ''Sang anak pejabat juga ingin dapat lebihan uang tunai dari kredit baru itu."

Dengan alur cerita yang mirip sama, Bapindo juga ''terperosok" dalam pemberian kredit untuk Hotel Bali Cliff. Semula kredit pembangunan hotel berbintang lima ini ditolak Bapindo. Tapi Desember lalu, persis seperti kasus rumah pemotongan hewan Subang, pemilik proyek meminta bank BUMN itu menebus kredit yang macet di Bank Pacific. Rupanya, setelah ditolak Bapindo, proyek ini sempat beredar ke beberapa bank. Semula didanai Bank Duta, kemudian diambil alih Bank Bumi Daya, dan akhirnya dibeli Bank Pacific sebelum harus ditebus Bapindo.

Masih kurang? Ada banyak lagi. Di antaranya, kredit untuk kilang swasta di Jawa Tengah, yang kreditnya sudah cair tapi proyeknya ''ditunda". Kemudian ada juga kredit untuk proyek pembangunan pabrik sirup markisa Ujungpandang milik seorang menteri. Kredit untuk sebuah gudang pendingin, pergudangan udang beku di Sulawesi, dan masih banyak lagi.

Dalam program rekapitalisasi kelak, kredit-kredit macam ini memang akan dibersihkan. Caranya, kredit macet dihapuskan dari buku Bank Mandiri (di-write-off), diganti obligasi pemerintah. Kredit macet itu sendiri kemudian dioper untuk dikelola oleh Assets Management Unit (AMU). Sebagai ganti, AMU akan membeli aset macet ini dengan nilai 50 persen dari jumlah kredit. Tapi, karena jumlah kredit busuk ini terlalu besar, dana yang harus disediakan AMU terlalu banyak. Ini akan menyulitkan anggaran pemerintah.

Kondisi bank BUMN tambah runyam karena kredit macet bukan satu-satunya masalah. Masih ada lagi: bank-bank ini terus beroperasi dengan merugi. Seperti sudah disebut tadi, penghasilan bunga bank-bank ini cuma 10 persen dari semestinya. Padahal, mereka harus terus membayar bunga simpanan masyarakat dan menggaji pegawai. Akibatnya, bank-bank in i harus terus memangsa simpanan nasabah (giran dan deposan) untuk membiayai ongkos operasinya.

Mau disuntik modal berapa pun, jika situasi ini tak berubah, bank-bank itu tetap saja akan mati. Seorang bankir pemerintah bahkan yakin, mau diotak-atik bagaimanapun, jika situasi makro ekonomi tetap seperti ini, Bank Mandiri tak akan bertahan. ''Paling banter umurnya cuma enam bulan," katanya.

Jadi? Agaknya masalah bank BUMN bukan cuma pada skenario kawin-mengawinkan, pasang-memasangkan. Lebih dari itu: perlu sikap tegas untuk menyeret para peminjam utang yang sudah sembarangan menyelewengkan uang masyarakat.

Dwi Setyo, Bina Bektiati


Dana Pencadangan Peserta Bank Mandiri
PencadangananJatah Rekapitalisasi
Bank Bumi Daya
Bapindo
Bank Dagang Negara
Bank Exim
Rp 15 triliun
Rp 12 triliun
Rp 12 triliun
Rp 11 triliun
Rp 26 triliun
Rp 10 triliun
Rp 17,5 triliun
Rp 20 triliun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus