Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Langkah Raksasa Baja

Tiga dekade lalu Lakshmi Mittal, yang dijuluki raja baja dunia, membuka usaha di Indonesia. Kini keluarganya berniat kembali ke sini untuk berinvestasi.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga jam. Hanya tiga jam Jusuf Kalla mampir ke Dolvi Complex, kawasan industri ternama di Mumbai. Tapi, kunjungan singkat ini bakal membuahkan faedah yang panjang. Di hadapan Wakil Presiden Indonesia itu, Vinod Mittal—pemilik Dolvi—menyatakan niat menanam modal senilai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun di Indonesia. ”Dana itu untuk investasi awal selama lima tahun,” kata Vinod dalam pertemuan dengan Kalla pada Kamis dua pekan lalu.

Vinod memang menyimpan rencana besar. Direktur Pelaksana Ispat Industries Limited itu ingin membangun pabrik baja terpadu di Indonesia, dilengkapi dermaga, dengan kapasitas produksi 2 juta per tahun. Luas lahan yang diperlukan 3.000 acre atau sekitar 1.214 hektare.

Untuk menunjukkan kesungguhan, Vinod bersama sejumlah petinggi Ispat Industries akan bolak-balik ke Indonesia selama Februari-April. Mereka akan mencari lokasi yang pas untuk kawasan terpadu. Di antaranya Kalimantan. Pulau itu dibidik karena kaya akan bijih besi dan batu bara untuk memasok listrik. Ispat Industries menargetkan seluruh rencana bisa terealisasi pada Juni 2007.

Rencana Vinod itu, kata Kalla, sejalan dengan niat pemerintah menetapkan Kalimantan Selatan menjadi pusat baja Indonesia, dari hulu hingga hilir. Daerah yang ditawarkan kepada investor antara lain Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.

Di kawasan itu pula PT Krakatau Steel berikhtiar membangun pabrik pengolahan bijih besi berkapasitas 300 ribu ton per tahun. Rencana itu tersendat karena belum ada investor yang memenuhi syarat. Hingga datang kabar dari Ispat Industries. ”Jadi masuknya Ispat ke Indonesia itu terkait dengan rencana Krakatau Steel,” kata Daenulhay, Direktur Utama Krakatau Steel. Pabrik pengolah bijih besi itu akan menjadi bagian dari pabrik baja terpadu yang bakal dibangun di sana kelak.

Selama ini, untuk memenuhi kebu-tuhan bahan baku, Krakatau Steel harus mengimpor bijih besi yang sudah diolah. Biayanya US$ 500-520 per ton. Ini membuat produk baja domestik sulit bersaing. Tak mengherankan bila pada 2005 laba Krakatau Steel hanya Rp 236 miliar—anjlok 42 persen dari tahun sebelumnya.

Itu sebabnya Menteri Perindustrian Fahmi Idris berharap rencana investasi Vinod Mittal dapat menambal kebutuhan baja domestik yang mencapai 6 juta ton per tahun. Selama ini, impor dilakukan karena pasokan baja lokal hanya 3 juta ton per tahun— 2,5 juta ton dipasok oleh Krakatau Steel.

Kiprah keluarga Mittal di Indonesia bukan hal baru. Tiga dekade silam, tepatnya pada 1976, Lakshmi Mittal diminta oleh ayahnya, Mohan Lal Mittal, untuk melebarkan sayap perusahaan keluarga. Dipilihlah Sidoarjo sebagai ladang investasi. Di atas lahan 16,5 hektare, Lakshmi, ketika itu berusia 26 tahun, mengubah area sawah menjadi pabrik baja bernama PT Ispat Indo. Kapasitas produksinya saat itu cuma 65 ribu ton per tahun.

Setelah 13 tahun merintis bisnis, Lakshmi meninggalkan Indonesia. Ia terbang ke Trinidad dan Tobago untuk mengakuisisi perusahaan baja dan besi milik pemerintah setempat. Ekspansi Lakshmi berlanjut dengan membeli perusahaan baja di Meksiko, Kanada, Jerman, dan Irlandia.

Pada 1994, bisnis keluarga Mittal terbagi dua. Semua unit usaha keluarga Mittal di luar India diambil alih dan dikendalikan oleh Lakshmi. Dia bergerak di bawah bendera Ispat International, yang belakangan berubah nama menjadi Mittal Steel. Adapun Pramod Kumara Mittal dan Vinod K. Mittal, dua adik laki-laki Lakshmi, mengendalikan perusahaan keluarga mereka di India.

Sejak itu, langkah Lakshmi tak terbendung. Perusahaannya menyebar di 17 negara. Majalah Forbes mendapuknya sebagai orang terkaya ketiga di dunia pada 2006 dengan pundi-pundi berisi US$ 25 miliar atau sekitar Rp 225 triliun. Kekayaannya kian tebal setelah Mittal Steel bergabung dengan Arcelor, raksasa baja asal Luksemburg, menjadi Arcelor-Mittal. Kapasitas produksinya menembus 130 juta ton per tahun (52 kali kapasitas produksi Krakatau Steel).

Sukses Lakshmi menitis ke adik-adiknya. Meski belum sebesar Lakshmi, lewat Global Steel Holdings, induk Ispat Industries, bisnis Vinod dan Pramod merambah hingga Afrika dan Eropa Timur. Kapasitas produksinya 14 juta ton per tahun. Perolehan ini semakin mengukuhkan dominasi keluarga Mittal di pasar baja dunia.

Kini keluarga Mittal berniat kembali ke Indonesia untuk melebarkan sayap.

Yandhrie Arvian, Y. Tommy Aryanto (Mumbai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus