Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergerus Program Diet

Bank Permata dan BNI menawarkan program pensiun dini. Lahan kerja di industri perbankan kian sempit. Ribuan pekerja bakal tergusur.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR hebat yang mengepung Jakarta tak cukup seksi untuk menjadi topik obrolan makan siang para karyawan Bank Permata sepanjang pekan lalu. Isu ini kalah hot ketimbang tawaran pensiun sukarela kepada karyawan, dengan imbalan yang menggiurkan.

Untuk karyawan bergaji Rp 2 juta dengan masa kerja 20 tahun, misalnya, dijanjikan bakal mendapatkan pesangon 47 kali gaji. Tak mengherankan bila sambutan karyawan pun gegap-gempita. Sejak dibuka pada 31 Januari sampai Kamis pekan lalu, ratusan orang kabarnya sudah mendaftar untuk ikut ambil bagian dalam paket ini.

Berapa banyak jumlah karyawan yang bakal dipangkas, belum diketahui pasti. Yang jelas, hasil penelitian lembaga konsultan sumber daya manusia menyebutkan, bank ini kelebihan 1.200 orang dari total 6.700 karyawan. Itu sebabnya, manajemen memutuskan bahwa program pensiun dini perlu dilakukan.

Direktur Pelaksana Bank Permata, Mahdi Syahbuddin, membenarkan ada-nya program pensiun sukarela tersebut. Namun dia enggan menyebut siapa saja yang menjadi target program ini. "Nanti juga diumumkan," katanya mengelak. Dan yang pasti, tawarannya sama-sama menguntungkan karyawan maupun perusahaan.

Permata sesungguhnya bukanlah satu-satunya bank yang menawarkan program pensiun dini. Tahun lalu, tak sedikit bank yang memberlakukan program "diet" ini untuk mengurangi jumlah karyawannya yang terlalu gemuk. Bila ditotal, ada ribuan karyawan bank yang memanfaatkan program pensiun dengan tawaran paket menarik, seperti di Bank Mandiri, Bank BNI, Bank Internasional Indonesia, Bank Danamon, dan Bank Lippo.

Jumlah itu memang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan karyawan yang berhenti bekerja akibat gelombang pemutusan hubungan kerja saat krisis ekonomi berkecamuk pada 1997-1998. Akibat krisis itu, secara bertahap sekitar 109 bank lenyap, baik karena dimerger, dibekukan, maupun dilikuidasi. Buntutnya, puluhan ribu karyawan kehilangan pekerjaan.

Tahun ini, jumlah bank tinggal 131. Meski begitu, tak berarti masa-masa pengurangan karyawan telah berlalu. Bank Permata termasuk yang paling awal memberikan sinyal program pengurangan jumlah karyawan. Namun, rencananya, program serupa juga bakal diterapkan BNI tahun ini.

Menurut Direktur Utama BNI Sigit Pramono, pihaknya akan menawarkan program pensiun sukarela dengan target tak jauh beda dari tahun lalu, yakni 300-500 karyawan. Pertimbangannya, ada kelebihan karyawan di sejumlah divisi, seperti kredit korporasi.

Faktor lainnya, BNI kini menerapkan sentralisasi sistem yang menekankan penggunaan teknologi informasi, sehingga peran tenaga manusia berkurang. Belum lagi soal perubahan orientasi bisnis yang mengarah ke sektor retail dan usaha kecil menengah, sehingga mengurangi tenaga di sektor korporasi. "Karena itu, kami tawari mereka untuk mengikuti program pensiun sukarela," ujarnya.

Di luar Bank Permata dan BNI, beberapa bankir menyebutkan program serupa bakal diterapkan di sejumlah bank lain. Hanya caranya bisa berbeda-beda. Ada yang ditawarkan secara terbuka, tetapi ada pula yang dilakukan diam-diam.

Semua itu dimaksudkan untuk membuat bank semakin efisien. Sebab, bila mengacu pada rasio efisiensi yang biasa dikenal dengan sebutan BOPO, yakni perbandingan biaya operasional dengan pendapatan operasional, bank-bank di Indonesia cenderung tidak efisien. Umumnya bank di sini memiliki BOPO di atas 80 persen, sedangkan di Malaysia hanya 60-70 persen.

Sebut saja rasio efisiensi Bank Mandiri. Bank terbesar di Indonesia ini rasionya mencapai 91,6 persen, sedangkan Permata 91,5 persen dan BII 89,5 persen. Bahkan Bank Bumiputera mencapai 99 persen. Ini berarti hampir semua pendapatan operasionalnya dipakai untuk biaya operasional.

Upaya menekan BOPO memang tidak harus selalu dilakukan dengan cara mengurangi karyawan. Bisa juga lewat peningkatan produktivitas mereka. Dengan begitu, pendapatannya pun akan naik.

Belum lagi persaingan yang semakin ketat. Apalagi teknologi informasi di bisnis perbankan berkembang pesat. Sekarang nasabah tidak sekadar memanfaatkan anjungan tunai mandiri (ATM) untuk bertransaksi dengan bank. "Tetapi juga bisa lewat call center, telephone banking, atau Internet banking," ujar analis perbankan Fauzi Ichsan. "Itu berpengaruh mengurangi peran manusia dalam bertransaksi."

Ketatnya persaingan juga mendorong bank nasional mulai menerapkan sentralisasi sistem ini. BII, BNI, dan Permata sudah melakukannya. Struktur organisasi dan komposisi karyawan jadinya berubah. Tak seperti sebelumnya, karyawan lebih banyak di "dapur" (back office) menangani administrasi pembukuan, analisis kredit, dan kliring. "Kini peran mereka digantikan oleh teknologi informasi," kata Sigit, yang juga Ketua Perhimpunan Bank Umum Swasta Nasional.

Karena itulah, mau tak mau, karyawan back office harus beralih peran, berjuang di garis depan sebagai penjual. Akibatnya, komposisi karyawan back office dan front office yang semula 70 banding 30 sedikit demi sedikit akan berubah. Untuk perubahan peran ini, sejumlah bank memang telah melatih mereka. Namun, menurut seorang bankir, tidak semua karyawan cocok berjualan, sehingga mereka lebih memilih pensiun dini.

Konsolidasi perbankan juga jadi faktor penting yang berdampak pada pengurangan karyawan. Sesuai dengan kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia, setiap bank wajib memiliki modal minimal Rp 80 miliar pada akhir tahun ini dan Rp 100 miliar pada 2010. Bila tidak bisa memenuhi, bank tersebut harus dijual ke investor atau dimerger.

Pejabat bank sentral pernah mengemukakan, pada 2010 jumlah bank yang akan mampu bertahan hanya tinggal 80-an. Itu berarti dalam tiga tahun mendatang gelombang merger dan akuisisi masih akan mewarnai bisnis perbankan di Indonesia. Dalam dua tahun ini saja, tak sedikit bank kecil yang dicaplok bank-bank asing. Menurut pejabat Bank Indonesia, sejumlah bank kecil pun sudah menjajaki kemung-kinan untuk merger.

Seperti di belahan dunia lainnya, Fauzi mengingatkan, dampak dari merger dan akuisisi bank adalah meningkatnya modal dan nilai aset bank. Namun konsekuensi lain yang tak bisa dihindari adalah rasionalisasi jumlah karyawan. Misalkan saja ada dua bank, masing-masing memiliki modal Rp 100 miliar dan 1.000 karyawan. Bila kedua bank itu digabung, apakah bank hasil merger perlu 2.000 karyawan? "Jawabnya tentu tidak perlu sebanyak itu," kata Fauzi.

Kendati begitu, Sigit menyatakan, peluang kerja di sektor perbankan tetap masih akan terbuka lebar, khususnya di bank yang sedang tumbuh pesat. Sebut saja Bank Sinar Mas, yang kini membutuhkan ratusan pegawai. Artinya, kata Sigit, pengurangan atau penambahan karyawan merupakan hal yang alamiah di perbankan. "Jadi, tidak perlu terlalu resah," ujarnya.

Heri Susanto, Bagja Hidayat

Rasio Efisiensi 10 Bank Papan Atas 2006

BankAset (Rp triliun)BOPO* (%)
Mandiri242,691,6
BCA.163,369,1
BNI156,784,4
BRI140,573,8
Danamon74,981,3
BII45,789,5
Niaga42,783,8
Permata36,491,5
BTN 31,486,6
Bukopin26,385,7

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus