Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Laporan bank dunia 1984

Bank dunia memberikan laporan agar permintaan utang indonesia diluluskan iggi. jumlah pinjaman komersial akan lebih kecil. tingkat pertumbuhan 5% setahun, apabila mengurangi impor barang modal.(eb)

12 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG IGGI dipen Haag masih sebulan lagi. Tapi Bank Dunia dalam laporan tahunan 1984 merekomendasikan agar permintaan utang yang US$ 2,4 milyar diluluskan oleh IGGI. Laporan 26 April lalu, yang beredar secara terbatas menilai jumlah pinjaman,yang hanya naik US$ 160juta dibandingkan komitmen tahun lalu, dibutuhkan Indonesia untuk mengimbangi beban pinjaman komersial yang makin berat persyaratannya. Bank Dunia memproyeksikan seluruh utang luar negeri Indonesia untuk 1983/1984 - 1986/1987, akan berjumlah US$ 18,3 milyar. Sekitar 15,6 milyar dari jumlah itu akan datang dari pinjaman resmi berjangka menengah dan panjang. Diperkirakan,US$ 9 milyar dari US$ 15,6 milyar akan menggunakan komitmen pinjaman yang belum dipergunakan dari tahun-tahun sebelumnya.Sehingga, yang masih harus ditutup dalam tiga tahun ini US$ 6.6 milyar. Tapi, untuk menggerakkan penggunaan dana US$ 6,6 milyar itu, Indonesia perlu meminjam sekitar US$ 4,5 milyar setiap tahun. Itu sebabnya Bank Dunia merekomendasikan agar "tingkat komitmen IGGI kepada Indonesia untuk 1984-1985 paling sedikit US$ 2,4 milyar." Tentang jumlah pinjaman komersial Bank Dunia menaksir untuk tahun ini akan lebih kecil dari tahun anggaran lalu, yang mencapai US$ 2 milyar. Dan dalam tiga tahun ini sampai 1986-1987, menurut Bank Dunia, setiap tahun pemerintah membutuhkan utang komersial sebesar US$ I milyar.Pada ]990 jumlah utang komersial itu akan mencapai US$ 7,1 milyar (Lihat: Grafik). Banyak hal yang menggembirakan dikemukakan dalam laporan setebal 255 halaman itu: ekspor yang mulai cerah, defisit neraca berjalan yang lebih rendah dari perkiraan pemerintah selama tiga tahun mendatang sampai 1986-1987, produksi minyak (termasuk kondensat) yang naik 6%, juga LNG yang meningkat produksinya dengan selesainya tambahan dua rain di Bontang. Alhasil, Bank Dunia optimistis bahwa tingkat pertumbuhan yang rata-rata 5%, setahun selama Pelita IV akan bisa tercapai. Tapi untuk mencapainya, Bank Dunia juga mengemukakan berbagai persyaratan yang perlu dilakukan, antara lain:Tingkat pertumbuhan yang diproyeksikan akan bisa tercapai kalau pemerintah berhasil mengurangi impor barang-barang modal (import-intensity of investment) dari tingkat sekarang. Ekspor non minyak dan LNG selama 1986 - 1990 memang diperkirakan akan naik rata-rata 6% setahun. Tapi ekspor total selama periode itu hanya akan meningkat 4,4% - sekalipun dalam 1984 dan 19X5 tingkatnya diperkirakan akan naik dengan 5,6% setahun. Hal itu disebabkan harga patokan minyak yang masih bertahan pada US$ 29 pcr barel hingga akhir 1985.Setelah itu, diduga akan terjadi kenaikan sekitar 2% setahun. Pembatasan impor perlu diteruskan dalam dua tahun ini agar defisit neraca berjalan bisa makin ditekan. Dengan kata lain, impor barang-barang perlu dibatasi hingga tak lebih dari US$ 19,3 milyar dalam 1984-1985,dan US$ 20,7 milyar dalam 1985- 1986. Itu terutama ditujukan pada impor barang mo dal, yang dalam tiga tahun ini nilainya setiap tahun perlu ditekan hingga kurang lebih sama dengan impor selama 1983-1984. Berarti, selama itu tak terjadi pertumbuhan impor. Proyek-proyek yang membutuhkan impor barang-barang yang padat modal perlu diteliti secara saksama, terutama dalam kaitan penggunaan dana dari hasil ekspor dan utang komersial. Sektor energi (power), industri, dan pertambangan - yang paling padat modal dan impor - oleh pemerintah ditetapkan sebagai sektor yang mendapat prioritas melebihi Pelita III. Bank Dunia menilai itu bisa merupakan suatu dilema, karena ketiga sektor itu bisa menggerogoti barang- barang modal yang jumlahnya terbatas untuk sektor umum. Kalau itu sampai terjadi, investasi di sektor lain, seperti pertanian pendidikan, kesehatan dan KB, perumahan dan pembangunan daerah, akan bisa berkurang. Selama 1980-an, angkatan kerja diperkirakan akan bertambah dengan 2,7% setahun, dibandingkan 2,2% selama 1970-an. Dan setiap tahun, selama Repelita IV, paling sedikit ada 1,8 juta manusia yang butuh pekerjaan suatu jumlah yang sulit untuk ditampung dengan pertumbuhan yang 5%. Pengurangan subsidi perlu dilanjutkan untuk membatasi pengeluaran pemerintah. Sekalipun harga BBM naik sekitar 35% Januari lalu, pemerintah masih memberikan subsidi sebesar Rp 1,1 trilyun dalam 1984-1985. Kalau harga BBM rata-rata naik 5% setahun sepanjang 1985 -1990, dan biaya produksi di sektor itu bisa diperbaiki, jumlah subsidi, yang pada tahun 1983-1984 mencapai 1,3% dari GDP, akan bisa dihapuskan pada tahun 1990. Subsidi pupuk juga bisa ditiadakan pada tahun anggaran 1988-1989. Masih diragukan apakah subsidi pupuk dibutuhkan untuk meningkatkan produksi beras dan hasil pertanian lainnya. Subsidi yang terus-menerus untuk perusahaan negara juga tak bisa dilakukan pemerintah, mengingat terbatasnya dana. Perlu diteliti lebih dulu apakah subsidi yang diberikan itu akan menambah laba dan penghasilan yang ditahan. Juga, kapasitas dari perusahaan negara yang diberi subsidi itu dalam menambah pembiayaan dari utang, dalam bentuk pinjaman komersial baik dari bank maupun obligasi. Sehubungan dengan hal di atas, Bank Dunia melihat ada dua sumber untuk bisa meningkatkan surplus: melalui pengurangan harga akibat peningkatan efisiensi, dan penelitian yang berhati-hati dalam beleid harga perusahaan negara. Misalnya di bidang penyulingan minyak bumi, di bidang transportasi, dan pengelolaan pelabuhan yang bisa mengurangi keterlambatan dan biaya. Sekalipun devisa asing semakin ketat,Bank Dunia beranggapan, Indonesia tak perlu melanjutkan penentuan tarif yang tinggi dan pembatasan barang impor. "Beleid demikian bertentangan dengan tujuan untuk merangsang efisiensi di sektor industri dan pertumbuhan ekspor non minyak, terutamaindustri barang jadi," kata laporan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus