Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Meski ditentang publik dan pengusaha, pemerintah menyatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan cara menaikkan penerimaan negara.
Ada beberapa paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk meredam dampak kenaikan tarif PPN.
Pengusaha mengatakan insentif belum cukup mengimbangi dampak kenaikan PPN.
PEMERINTAH resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Meski kebijakan ini banyak ditentang karena menekan daya beli masyarakat yang sedang melemah, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan hal itu merupakan langkah strategis guna meningkatkan penerimaan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Golkar tersebut mengatakan kenaikan PPN merupakan bagian dari upaya reformasi perpajakan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penerapan tarif PPN 12 persen akan mencakup barang dan jasa dalam kategori mewah. Antara lain, beras dan daging premium, jasa pendidikan internasional, layanan kesehatan VIP, serta listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500-6.600 volt-ampere.
Adapun kebutuhan pokok penting yang rinciannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 dibebaskan dari kenaikan PPN. Di antaranya beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, dan pemakaian air.
Airlangga memastikan kenaikan tarif PPN ini akan dibarengi dengan pemberian sejumlah stimulus ekonomi berupa insentif tambahan. "Pemerintah akan menyediakan beberapa insentif, khususnya bagi rumah tangga berpendapatan rendah, untuk menjaga daya beli,” ujarnya dalam konferensi pers paket stimulus ekonomi untuk kesejahteraan, di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin, 16 Desember 2024.
Ada beberapa paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk meredam dampak kenaikan tarif PPN. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan insentif perpajakan pada 2025 akan lebih besar dibanding insentif yang sama pada 2020 ketika terjadi pandemi Covid-19. Ia memproyeksikan total insentif perpajakan mencapai Rp 445,5 triliun atau 1,83 persen dari rasio produk domestik bruto (PDB). Sedangkan alokasi anggaran untuk membebaskan PPN bagi barang dan jasa strategis diproyeksikan sebesar Rp 265,6 triliun.
Warga Rusun Tanah Tinggi, Jakarta, mengecek meteran listrik, 2020. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut ini beberapa insentif yang diberikan pemerintah pada 2025 bagi masyarakat ataupun dunia usaha.
- PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen untuk barang kebutuhan pokok dan barang penting, seperti minyak goreng Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. PPN yang dikenakan untuk tiga jenis barang tersebut tetap 11 persen.
- Bantuan pangan atau beras sebanyak 10 kilogram per bulan akan diberikan kepada masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta penerima bantuan pangan. Bantuan tersebut akan diberikan selama dua bulan, yakni pada Januari-Februari 2025.
- Diskon biaya listrik sebesar 50 persen selama Januari-Februari 2025 bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.
- PPN DTP juga diberikan untuk kendaraan listrik berbasis baterai dan hibrida. Pemerintah akan menanggung beban PPN sebesar 2 persen sehingga tarif yang dikenakan untuk mobil listrik pada tahun depan sebesar 10 persen. Stimulus ini menyasar kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dalam keadaan terurai lengkap atau mobil listrik yang dirakit di Indonesia dan sudah memenuhi standar tingkat komponen dalam negeri.
- Sektor properti mendapat fasilitas PPN DTP hingga maksimal Rp 2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga jual maksimal Rp 5 miliar. Pemerintah memberi diskon PPN 100 persen pada periode Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk periode Juli-Desember 2025.
- Pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya dengan gaji sampai dengan Rp 10 juta per bulan.
- Optimalisasi jaminan kehilangan pekerjaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan tidak hanya manfaat tunai, tapi juga manfaat pelatihan dan akses informasi pekerjaan.
- Insentif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah di antaranya berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen hingga 2025 bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang telah memanfaatkan selama tujuh tahun dan berakhir pada 2024. Untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.
- Pemerintah juga menyiapkan pembiayaan industri padat karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga 5 persen.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah sudah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan PPN. Menurut dia, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menaikkan PPN, melihat harga komoditas yang mulai turun sejak 2023. "Kami melihat jumlah peningkatan pekerja, pekerja formal, dan juga setoran PPh (pajak penghasilan) 21 mengalami kenaikan double digit serta inflasi yang terus terjaga rendah,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Meski pemerintah telah memberi janji berbagai insentif, kekhawatiran soal dampak negatif dari kenaikan PPN masih menguat. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani mengatakan rencana pemberian insentif belum cukup untuk sepenuhnya mengimbangi dampak kebijakan PPN 12 persen, ditambah kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen. "Kenaikan biaya operasional akibat kebijakan-kebijakan ini memberikan tekanan besar bagi perusahaan," ujarnya kepada Tempo, Rabu, 18 Desember 2024.
Menurut Shinta, investor cenderung sensitif terhadap perubahan regulasi pajak. Tekanan ini berisiko menurunkan daya saing produk Indonesia sehingga berpotensi menciptakan dampak lanjutan, seperti pengurangan tenaga kerja atau penurunan aktivitas produksi.
Shinta menekankan kenaikan PPN dapat meningkatkan komponen biaya di semua rantai pasok dan makin menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Jumlah masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah di Indonesia pada 2024 sebanyak 66,35 persen dari total penduduk Indonesia. Nilai konsumsi pengeluaran kedua kelompok tersebut mencakup 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat. Karena itu, daya beli kelas menengah sangat krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.
Menurut Shinta, kenaikan PPN juga berisiko mempengaruhi penjualan sektor retail serta sektor-sektor lain, seperti manufaktur, logistik, dan agrobisnis, yang sangat bergantung pada stabilitas konsumsi masyarakat.
Karena itu, ia menyarankan insentif langsung kepada kelas menengah ke bawah, seperti subsidi konsumsi atau bantuan tunai, agar lebih efektif meningkatkan daya beli. Ia mengingatkan kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi domestik sangat signifikan, tapi sering kali terabaikan dalam pemberian bantuan pemerintah. Imbasnya, dalam kurun waktu 2019-2024, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah kelas menengah turun sebanyak 9,5 juta orang.
Sebelum kenaikan PPN menjadi 12 persen resmi ditetapkan, kalangan pengusaha retail gencar menyuarakan permintaan kepada pemerintah untuk menunda kebijakan ini. Pelaksana tugas Wakil Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Fetty Kwartati mengatakan kenaikan PPN akan makin menekan sektor retail, yang saat ini pertumbuhannya sudah menurun.
Apabila pemerintah aktif memperbaiki dan meningkatkan efisiensi, seperti dalam rantai pasok, menurut Fetty, dampak negatif kenaikan PPN mungkin bisa diminimalkan. "Tapi situasinya tetap sulit walaupun ada stimulus tersebut sehingga pengusaha sebetulnya berharap ditunda."
Ketua Umum Asosiasi Pusat Belanja Indonesia Alphonzus Widjaja mengimbuhkan, kenaikan PPN tetap akan dapat berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat karena harga barang dan produk naik. Akibatnya, kemampuan masyarakat untuk berbelanja berkurang. Sepanjang 2024 saja, ia memproyeksikan nilai transaksi masyarakat sudah turun 20-30 persen. "Kenaikan UMP yang bertujuan meningkatkan daya beli juga akan sia-sia jika diiringi dengan kenaikan PPN," ucapnya.
Ia menilai kenaikan PPN juga akan menghambat pertumbuhan perdagangan dan berdampak negatif pada target pertumbuhan ekonomi, yang sebanyak 57 persen didorong oleh konsumsi rumah tangga.
Sejumlah ekonom juga ragu akan dampak pemberian stimulus terhadap peningkatan daya beli masyarakat pada tahun depan. Ekonom Bright Institute, Andri Perdana, misalnya, menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen sebenarnya berpotensi membebani lebih banyak jenis barang dan jasa yang sebelumnya bebas atau tidak dikenai PPN.
Ia menjelaskan, barang-barang pokok yang disebutkan dibebaskan dari PPN, seperti beras dan angkutan umum, selama ini memang sudah dikategorikan sebagai barang yang tak terbebani PPN menurut Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Sementara itu, produk yang dianggap premium, seperti beras premium, ikan salmon, listrik di atas 3.500 VA, rumah sakit VIP, ataupun jasa pendidikan, yang semua PPN-nya 0 persen kini menjadi 12 persen.
Pemerintah menyatakan akan memberikan subsidi berupa pajak DTP untuk beberapa barang tertentu, seperti tepung terigu, Minyakita, dan gula industri. Namun ini hanya bersifat sementara dan terbatas pada tiga jenis barang, tanpa jaminan durasi pemberian subsidi tersebut.
Pasar Induk Beras Cipinang di Jakarta, 4 Desember 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpandangan kenaikan PPN menjadi 12 persen berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan. Hal itu, menurut dia, akan menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
Meski pemerintah menyatakan kenaikan tarif hanya dikenakan pada barang mewah, Bhima menuturkan, kenaikan tarif PPN masih berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat, termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor. "Pengecualian barang pangan telah diatur sejak UU Nomor 42 Tahun 2009 sebelum lahirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021. Maka, klaim pemerintah lebih terkesan sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik," tuturnya.
Menurut Bhima, kenaikan PPN akan memperburuk daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Berdasarkan analisis Celios, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan. Sedangkan kelompok kelas menengah akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan.
Dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif. Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di kisaran 5 persen. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen sejak 2023, justru terjadi pelambatan dari 4,9 persen menjadi 4,8 persen pada 2023.
Bhima menilai paket kebijakan ekonomi berupa insentif dan bantuan sosial cenderung berorientasi jangka pendek dan hanya mengulang kebijakan lama. Seperti PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik, dan PPh final UMKM 0,5 persen yang sudah ada sebelumnya. Bentuk bantuan juga bersifat temporer, seperti diskon listrik dan bantuan beras. Sedangkan efek negatif kenaikan tarif PPN 12 persen berdampak jangka panjang. Insentif untuk mobil listrik juga lebih pro-kelompok ekonomi atas.
Secara penerimaan negara, Celios pun memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar. Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk fast-moving consumer goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.
Karena itu, Bhima menyarankan pemerintah mempertimbangkan alternatif lain, seperti memperluas basis pajak, memberlakukan pajak kekayaan, dan menutup celah penghindaran pajak. Ia yakin langkah-langkah tersebut lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat, terutama di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih rentan.
Adapun Bank Indonesia yakin kenaikan PPN tahun depan berdampak minim pada kenaikan inflasi. PPN 12 persen juga disebut tak berpengaruh signifikan terhadap PDB. Berdasarkan hitungannya, Deputi Gubernur BI Aida Suwandi Budiman mengatakan kenaikan PPN hanya mengakibatkan penambahan inflasi sekitar 0,2 persen. “Apakah ini besar? Jawabannya tidak,” ujarnya.
Untuk mengetahui bagaimana dampak PPN 12 persen bagi inflasi, ia menjelaskan, langkah pertama adalah mengidentifikasi lebih dulu barang-barang apa saja yang dikenai PPN tersebut.
Berikutnya adalah menghitung bobot barang-barang tersebut dalam indeks harga konsumen (IHK) menggunakan survei biaya hidup 2022. Ternyata diketahui jumlahnya 52,7 persen terhadap bobot IHK tersebut.
Saat pajak pertambahan nilai naik, harga barang otomatis akan ikut naik. Asumsi yang digunakan BI berdasarkan rata-rata historis, sekitar 50 persen kenaikan akan langsung diteruskan ke harga jual. “Hitungan ini mengakibatkan penambahan inflasi sekitar 0,2 persen,” ujar Aida.
Adapun dampak PPN terhadap PDB sebesar 0,02-0,03 persen. Namun Aida mengatakan dampak kenaikan PPN terhadap inflasi dan pertumbuhan PDB masih perlu dikaji lagi. Sebab, ada faktor lain yang juga mempengaruhi, seperti harga komoditas global.
Pemerintah juga yakin penerapan PPN 12 persen tak berdampak signifikan terhadap inflasi. Pelaksana tugas Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan mengatakan dampaknya hanya 0,3 persen. “Kan, minim, relatif kecil,” ujarnya. ●
Oyuk Ivani S. dan Ilona Estherina Piri berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo