Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lembaran yang Raib

Hasil audit BPK tentang Yayasan Karyawan BI tak kunjung dipublikasikan. Salah satunya menyangkut korupsi proyek pengadaan mesin kliring yang diduga melibatkan petinggi BI.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH dokumen disodorkan diam-diam oleh seorang pejabat Bank Indonesia yang minta namanya dirahasiakan. Berkas itu tipis saja, hanya 10 lembar. Tapi isinya sangat mengagetkan. Itu ternyata hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang isi perut Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKK-BI) yang entah kenapa lama "disembunyikan". Dirampungkan sejak semester II tahun 2001, satu setengah tahun lamanya dokumen mahapenting itu terus diperam di laci petinggi BPK. Rupanya, raibnya lembaran audit itu terkait dengan sebuah nota dinas BPK bertanggal 4 Februari 2002. Diteken Seno, auditor utama BPK, memo itu menyatakan, "Kami mengajukan permohonan agar materi yang berasal dari Sub-Auditoriat II.B mengenai YKK-BI yang dalam konsep bernomor halaman 5 s.d. 15 ditunda pemuatannya untuk Hapsem (Hasil Pemeriksaan Semester) yang berikutnya." Alasannya, sebagaimana ditulis di situ, "Berdasarkan permintaan Pimpinan Badan." Namun kini sudah dua semester berselang, dokumen penting itu tak juga kunjung diumumkan ke publik. Dalam berkas hasil audit BPK terakhir yang dirilis akhir bulan lalu—yang kembali hanya memberikan opini "wajar dengan pengecualian" terhadap laporan keuangan BI tahun 2002—hasil audit terhadap YKK-BI itu belum juga muncul. Ada apa gerangan? Ditanya soal ini, Ketua BPK Satrio B. Joedono malah cuma terkaget-kaget. Ia mengaku sama sekali tak tahu-menahu ihwal penundaan itu. Kejelasan baru didapat ketika sejurus kemudian Satrio langsung menelepon salah satu wakilnya yang langsung menangani pemeriksaan YKK-BI, Bambang Wahyudi, pembina utama BPK. Setelah menutup telepon, Satrio menjelaskan, "Hasil audit sedang dilengkapi. Nanti keluar di Hasil Pemeriksaan Agustus 2003." Tapi keanehan tak berhenti sampai di situ. Menurut sumber TEMPO di bank sentral, surat perintah audit juga ternyata dikeluarkan tanpa setahu Billy—begitu Satrio biasa disapa. Surat tugas yang dikeluarkan Juni 2001 diteken oleh Bambang Wahyudi. Uniknya, oleh Bambang perintah itu ditembuskan ke mana-mana, kecuali ke Billy sebagai bosnya. Padahal ketentuan menggariskan, instruksi semacam ini haruslah dilakukan atas setahu Ketua BPK. Toh, Satrio menganggap hal itu wajar-wajar saja. "Kami kan melakukan pendelegasian tugas," katanya diplomatis. Ketika soal ini dikonfirmasi, Bambang mengakui ihwal penundaan rilis hasil audit YKK-BI itu. Menurut dia, itu semata karena alasan teknis. Bambang membantah pihaknya telah mencoba mempetieskan laporan penting itu. Ia berjanji hasil audit akan diterbitkan apa adanya sesuai dengan temuan di lapangan. Janji Bambang jelas perlu dicermati. Soalnya, membaca isinya, audit BPK itu rupanya telah tanpa ampun membedah seluruh isi perut YKK-BI berikut segala kotorannya. Berbagai kesimpulannya bahkan seperti menjadi konfirmasi bagi sebuah rahasia umum: bahwa di yayasan yang didirikan atas nama kesejahteraan karyawan BI itu, para "penyamun" bank sentral telah sedemikian merajalela. Dan karena itu fungsi asli yayasan, seperti menyediakan tunjangan hari tua atau pinjaman karyawan, nyaris jadi sampiran saja. Dari pemeriksaan yang digelarnya, BPK mengungkapkan betapa pihak yayasan lebih banyak melayani kepentingan para petingginya, ketimbang kemaslahatan pegawai. YKK-BI diketahui telah melakukan investasi secara amat ekspansif, dan hampir tanpa kendali, antara lain melalui penyertaan modal atau mendirikan berbagai perusahaan baru. Per awal 2001, Yayasan tercatat memiliki saham di 22 perusahaan dengan nilai Rp 533 miliar (lihat Dari Kebun Kentang sampai Padang Golf). Celakanya, banyak di antaranya lalu menyimpang dan membobol brankas bank sentral sendiri. Kasus paling menonjol yang dapat dipergoki auditor BPK adalah penyertaan modal BI di PT Mekar Prana Indah pada pertengahan 1997. Besarnya hampir mencapai setengah dari total nilai investasi Yayasan, yakni Rp 227 miliar. Menurut sumber TEMPO, dana itu disuntikkan dalam kaitan proyek pengadaan Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), yang kemudian harus disewa BI dari PT Mekar Prana. Jumlah itu jelas luar biasa, dan diduga telah digelembungkan. Jika dihitung dengan kurs saat itu, sekitar Rp 2.500 per dolar AS, berarti injeksi itu setara dengan US$ 91 juta. "Mana ada mesin kliring seharga hampir US$ 100 juta!" kata seorang pejabat BI sambil geleng-geleng kepala. Pernah mengurusi proyek serupa, ia menceritakan pengalamannya. Pada 1995, mesin yang sama ditawarkan oleh sebuah perusahaan Singapura dengan harga hanya US$ 2,1 juta. Kalaupun dinilai dengan kurs setelah krisis, nilainya sekarang paling naik menjadi US$ 3 juta saja. Ketika hal tersebut dikonfirmasi ke Direktur YKK-BI, Dudung Sjariffudin, dengan cepat ia menjawab, "Ooo, kalau soal mesin kliring itu bukan Yayasan, tapi PT Mekar Prana." Ia lalu buru-buru menutup telepon genggamnya seraya berjanji akan menyediakan waktu untuk wawancara pada Kamis siang pekan lalu. Tapi, sampai berita ini diturunkan, Dudung tak pernah bisa dikontak lagi. Penjelasan dari Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran BI, Bramudija Hadinoto, pun seperti menggarisbawahi hasil audit BPK. Menurut dia, ketika itu pihaknya sudah pernah melakukan penaksiran harga mesin kliring. Hasilnya, angka yang didapat adalah US$ 14,3 juta, S$ 7,1 juta, dan Rp 839 juta. Jadi, kalau dihitung dengan kurs saat itu (sebelum krisis), kira-kira jumlahnya hanyalah Rp 50,5 miliar. Lantas buat apa Yayasan melakukan penyertaan modal sampai Rp 227 miliar? Audit BPK menyatakan kala itu kondisi kas Yayasan lagi kembang-kempis. Sejak 1997, BI sampai harus menyediakan uang muka bagi pembayaran tunjangan hari tua karyawan—yang seharusnya penuh menjadi tanggungan Yayasan. Per Mei 1999, pinjaman dari BI total jenderal telah mencapai Rp 143 miliar. Disimpulkan tim audit BI, "Ternyata YKK-BI tidak mampu melunasi (pinjaman tunjangan hari tua dari BI), karena dana yang ada digunakan untuk mendanai PT Mekar Prana Indah untuk membeli mesin kliring yang akan disewakan ke BI." Pertanyaannya, kenapa BI harus mempercayakan proyek mahal tersebut ke perusahaan yang tak punya cukup duit. Ronald Waas, Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi BI, menjelaskan bahwa pada awalnya bank sentral berencana memiliki sendiri mesin kliring. Jadi, tidak melalui Yayasan. Untuk itu sempat dibuka tender terbatas. Lalu masuklah penawaran dari NV Soedarpo, PT Multipolar, dan PT Multidata. Singkat cerita, karena speknya dinilai paling cocok, Soedarpo terpilih sebagai pemenang. Yang aneh, menjelang transaksi final, perusahaan ini malah memisahkan divisi teknologinya menjadi satu perusahaan sendiri, yang lalu diberi nama PT Praweda Ciptasarana Informatika. "Padahal kontrak kami dengan Soedarpo, bukan Praweda," kata Ronald. Bingung mengambil putusan, masalah ini lalu dibawa ke rapat direksi BI. Hasilnya, menurut Ronald, hasil tender dibatalkan. Lantas diputuskan BI akan menyewa saja mesin kliring dari anak perusahaan YKK-BI, PT Mekar Prana Indah. Akhirnya, pada Oktober 1997 kontrak diteken, masih dengan harga wajar: US$ 12,9 juta, S$ 6,5 juta, plus Rp 762 juta. Artinya, hanya terpaut sedikit di bawah taksiran harga BI. Tanda tanya belum pupus. Sejatinya, PT Mekar Prana adalah perusahaan properti yang dikenal sebagai pengelola kompleks perkantoran dan Hotel Bidakara, Jakarta. Karena itu penunjukannya dalam proyek yang tak ada urusannya dengan semen dan beton ini membuat banyak orang terheran-heran. Apalagi, setelah sebuah "keajaiban" terjadi. PT Mekar Prana lalu membeli mesin kliring dari PT Praweda, yang tendernya telah dibatalkan BI sebelumnya. "Itu kan akal-akalan Aulia Pohan," bisik seorang pejabat BI. Aulia Pohan? Untuk kesekian kalinya, nama Deputi Gubernur BI ini kembali dikait-kaitkan dengan masalah korupsi di bank sentral. Kali ini, oleh sejumlah sumber TEMPO, ia disebut-sebut punya kedekatan khusus dengan PT Praweda, dan bermain di balik layar untuk memuluskan proyek buncah uang itu. Saat dikonfirmasi, Aulia tegas-tegas menolak tuduhan itu. Ia menyilakan TEMPO mengecek akta PT Praweda. Memang, nama Aulia tak jelas-jelas tercantum di sana. Dia mengaku tak punya urusan apa pun dengan mesin kliring. Sebagai Kepala Urusan Penelitian dan Pengembangan Intern (UPPI), kata Aulia, ia hanya ditugasi membuat cetak biru sistem pembayaran. Cuma, yang menarik, menurut dokumen kontrak yang diperoleh mingguan ini, perjanjian pengadaan mesin kliring bersama PT Mekar Prana itu justru diteken UPPI, sebagai pihak yang bertindak mewakili BI. Dalam jawaban tertulisnya, manajemen Praweda pun menampik kabar keterlibatan Aulia di perusahaan mereka. "Kami hanya berhubungan dengan tim pengadaan yang ada di urusan logistik," demikian keterangan mereka. Perihal harga, Direktur Praweda Ekky Rambitan juga tak bersedia mengungkap rinciannya. Namun ia mengatakan mesin kliring yang dijualnya ke PT Mekar Prana tidak lebih dari US$ 5 juta. Artinya, kalau dipakai kurs Rp 12 ribu, harganya ketika itu maksimal "hanya" Rp 60 miliar. Pembayarannya pun dicicil selama setahun. BI sendiri menyewa mesin itu dari PT Mekar Prana selama lima tahun dengan total biaya Rp 157,6 miliar. Berakhir Maret lalu, kontrak itu tak akan diperpanjang. Menurut Direktur Informasi dan Teknologi BI, Bambang Sindhu, tahun depan bank sentral akan membeli mesin kliring sendiri. Untuk itu, duit sebesar Rp 70 miliar sudah disiapkan. Mendengar hal itu, giliran Ketua BPK Billy Joedono terbingung-bingung lagi. Ia mempertanyakan kenapa keputusan membeli itu baru diputuskan sekarang. Mohamad Iskak, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran BI, yang dikenal merupakan salah satu orang kepercayaan Aulia Pohan, menjelaskan hal itu terpaksa dilakukan karena sebelumnya ada ketentuan dari Sekretariat Negara yang melarang instansi pemerintah membeli barang dari luar negeri yang tak memiliki kandungan lokal. Mendengar dalih itu, Billy mengernyitkan keningnya. Penjelasan itu tak masuk di nalarnya. "Kalau begitu, mana ada lift, pesawat, atau kereta api?" katanya. Yang benar, menurut dia, mengimpor barang boleh-boleh saja. Tapi harus melalui pintu Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan. Apalagi kalau ternyata harga barang yang sama bisa lebih murah kalau dibeli langsung dari luar negeri. Dahi Billy kian berkerut-kerut mendengar bunyi penjelasan Erwin Rianto dari Biro Gubernur BI, bahwa pengadaan mesin kliring itu sengaja dilakukan melalui yayasan supaya menguntungkan karyawan dan menutup kemungkinan hanya ada satu pihak yang meraup keuntungan. "Itu alasan yang terlalu dibuat-buat," kata Billy, kali ini dengan nada tegas. Febrina Siahaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus