Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Kairo, dan terutama di Kairo, masa lalu terasa begitu berarti. Masa kini seakan-akan hanya seperti sisanya yang salah, yang murung.
Masa lalu itu seperti hadir, dekat, bila di bawah panas bulan Juni yang meletihkan, kita berteduh di Taman El Urman, di sisi kebun binatang di wilayah Al Jîzah. Masa lalu—tapi bukan 120 ribu artefak yang umurnya mencapai 5.000 tahun di Museum Mesir, empat kilometer ke timur di seberang Nil. Bukan pula 80 ribu benda di Museum Seni Islam. Masa lalu yang saya maksud justru bagian dari abad ke-20—bagian dari modernitas yang dengan gaduh dan ruwet tiba di kota ini.
Artinya hanya beberapa dekade yang silam. Artinya mungkin hanya 500 meter di sebelah barat tempat kita duduk: Universitas Kairo, yang dipindahkan ke wilayah ini sejak 1924. Atau agak lebih ke utara, sebuah museum seni rupa modern. Atau di sebelah timur, di sepanjang Nil, apartemen mewah, kantor-kantor kedutaan, dan jalan raya "Gamal Abd al-Nasr".
"Nasr", atau Nasser, adalah inti dari masa lalu itu. Tokoh ini telah jadi sebuah institusi, seperti universitas, museum seni rupa, dan infrastruktur di tepi Nil itu. Dan seperti mereka, ia menjangkau masa depan.
Sejak para anggota "Perwira Merdeka" memakzulkan Raja Faruk I pada tahun 1952, dari Kairolah sebuah Dunia Arab yang baru terbit. Bukan dunia yang diwakili seorang raja buncit yang berfoya-foya di Riviera, tapi oleh seorang kolonel berumur 34 tahun yang hidup di rumah sederhana tapi mampu mencemaskan para penguasa di London dan Washington.
Dalam arti itulah Nasser sebuah suara modern. Ia tak saja meruntuhkan monarki dan feodalisme (ia membatasi pemilikan tanah), tapi juga, seperti para pemimpin Asia Afrika masa itu, mencoba "kemajuan" dengan jalan sosialisme. Dan seperti mereka, ia menolak berpihak ke Barat dalam Perang Dingin. Ia juga seorang pemimpin Arab. Ia harus memulihkan luka sejarah yang paling dalam: kegagalan mencegah berdirinya Republik Israel di tanah orang Arab di Palestina pada tahun 1948.
Kita segera tahu apa reaksi Barat. Pada tahun 1956 Inggris dan Amerika mencabut bantuan mereka bagi pembangunan Bendungan Aswan. Maka Nasser pun menasionalisasi Terusan Suez yang dikuasai Inggris sejak 1932. Inggris menghukumnya dengan, bersama Prancis dan Israel, menyerbu Mesir. Usaha itu gagal. Amerika menghentikan agresi ini, dan Nasser jadi pahlawan Dunia Arab. Sebuah dunia yang tak henti-hentinya mencari pahlawan….
Tapi Nasser gagal untuk itu. Bahkan di bawah kepemimpinannya sebuah luka baru yang lebih dalam tertoreh.
Pada 5 Juni 1967, hari Senin pukul 8.45 pagi, ratusan pesawat tempur Israel mendadak menyerang ratusan MiG-21 dan Tupolev-16 Mesir di pangkalan Sinai sampai dengan Luxor. Dalam waktu kurang dari empat jam, 80 persen angkatan udara Mesir hancur. Sebuah perang yang berlangsung hanya enam hari berakhir dengan kemenangan besar Israel.
Kenapa itu bisa terjadi? Ada yang menjawab, Nasserisme adalah modernitas yang dicangkokkan, karena kapasitas memperoleh MiG-21 tak sama dengan kapasitas menciptakan pesawat tempur. Untuk memperoleh teknologi, sebuah negeri hanya perlu punya kemampuan diplomasi dan uang. Untuk menciptakan, ia perlu sesuatu yang lebih kompleks, sebuah "kebudayaan" yang ditandai oleh organisasi, persisi, dan efisiensi. Israel tahu, di Mesir itu tak ada. Serangan udara dilakukan pukul 8.45 pagi karena di saat itu, pucuk komando Mesir biasanya terjebak dalam lalu lintas.
Ada yang juga mengatakan, kegagalan Nasser bermula pada kelemahan dasar nasionalisme Arab yang dibawakannya. Nasionalisme ini memuja persatuan, sementara "Dunia Arab" adalah sejumlah kontradiksi. Kultus kepada persatuan itu pada gilirannya menciptakan regimentasi, dengan kontrol aparat keamanan atau teror totalitarianisme. Tapi seperti kemudian tampak dalam kekalahan Saddam dalam dua Perang Teluk, sebuah bangsa yang dikungkung bukanlah sebuah sumber ketahanan nasional.
Kini kita tak tahu di mana kekuatan nasional itu di Kairo, kecuali dalam kalimat koran Al Arabi, suara kaum "Nasseris". Masa kini murung dan salah rasanya. Sebagaimana pada bulan Juni 1967 Mesir dipermalukan, pada bulan Juni 2003 ia diabaikan. Mubarak tak berperan dalam perundingan antara Palestina dan Israel di Aqaba.
Namun masa lalu tak pernah akan tersisih di Kairo. Masa lalu itu, yang hadir dekat di sisi kita, kadang disebut "Palestina". Kata ini menandai kehidupan Arab yang disingkirkan dan dihina, tapi juga menandai kenangan tentang nasionalisme yang penuh semangat dan belum selesai. Di tengah-tengah itu, orang harus memilih modernitas yang mencemaskan atau, seperti kaum Islamis, meninggalkan modernitas itu, ketika melihat nasionalisme dan sosialisme tak menghasilkan apa-apa. "Palestina" telah jadi kata ganti bagi frustrasi.
Tapi di Kairo frustrasi bisa membentuk militansi. Sebenarnya ada yang menghubungkan cita-cita Nasser dengan Mohammad Atta, insinyur Mesir yang menabrakkan pesawat ke World Trade Center itu. Atta menunjukkan bahwa dengan organisasi, persisi, dan efisiensi tinggi, seorang Arab bisa memukul lawan secara spektakuler. Ia seorang modern. Bahkan Islamnya juga mengandung élan modern, ketika menjadikan iman dan hidup sebagai instrumen penakluk dunia.
Atta adalah contoh betapa ampuhnya seorang modern, dan betapa bisa mengerikannya modernitas itu.
Tapi bisakah orang bebas dari ambivalensi ini? Di Kairo, terutama di Kairo, yang lama begitu dekat dan berharga, tapi yang baru memaksa merebut tempat. Di sisi timur, menghubungkan kota lama dengan kota baru, ada dua bidang tanah kuburan yang disebut Kota Orang Mati. Tapi di sanalah 500 ribu orang beroleh ruang hidup, hingga pemerintah akhirnya menyediakan listrik buat mereka. Di waktu malam, "kota" ini tampak murung tapi berharap, sebuah lanskap yang simbolik.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo